Nidhomul Ijtima’iy fil Islam
(tata aturan dalam bermasyarakat)
Bab
Hubungan Pria dan Wanita
Fakta bahwa wanita dapat
membangkitkan naluri seksual pria, tidak berarti naluri tersebut pasti muncul
setiap kali seorang pria bertemu dengan wanita. Demikian pula sebaliknya. Akan
tetapi, fakta itu menunjukkan pada dasarnya keberadaan setiap pria atau wanita
dapat
membangkitkan naluri tersebut
pada lawan jenisnya, sehingga pada saat naluri itu terbangkitkan akan terjadi
interaksi seksual di antara keduanya. Namun demikian, bisa juga naluri ini tidak
muncul ketika kedua lawan jenis itu berinteraksi, misalnya ketika melakukan
jual-beli, pada saat melaksanakan operasi bedah pasien, atau pada proses
belajarmengajar,
dan lain sebagainya. Hanya
saja, pada keadaan-keadaan semacam ini atau keadaan lainnya, tetap ada potensi
bangkitnya naluri seksual di antara masing-masing lawan jenis. Meskipun adanya
potensi tersebut tidak berarti akan membangkitkan naluri seksual secara pasti. Sebab,
bangkitnya naluri seksual terjadi ketika ada perubahan pandangan pada diri
kedua lawan jenis itu; dari pandangan untuk melestarikan keturunan menjadi
pandangan yang bersifat seksual semata, yakni hubungan biologis antara dua
lawan jenis. Karena itu,
fakta bahwa wanita dapat
membangkitkan naluri seksual pria atau sebaliknya tidak dapat dijadikan alasan
untuk memisahkan pria dan wanita secara total. Dengan kata lain, tidak benar
anggapan bahwa adanya potensi yang dapat membangkitkan naluri seksual merupakan
penghalang bagi bertemunya pria dan wanita dalam kehidupan umum dan terciptanya
sebuah kerjasama. Bahkan, fakta telah menunjukkan bahwa, dalam kehidupan umum,
pertemuan pria dan wanita adalah suatu hal yang pasti terjadi dan masing-masing
harus bekerjasama. Sebab, kerjasama merupakan kebutuhan yang amat diperlukan
dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun
demikian, kerjasama seperti di atas tidak mungkin
tercipta kecuali dengan suatu
sistem yang mengatur hubungan yang bersifat seksual antara kedua lawan jenis
itu dan mengatur hubungan pria dan wanita. Sistem ini harus bertolak dari pandangan
bahwa hubungan pria dan wanita semata-mata untuk melestarikan keturunan.
Dengan sistem semacam inilah
pria dan wanita masing-masing dapat berinteraksi dalam kehidupan umum dan
menciptakan sebuah kerjasama tanpa keharaman sedikit pun.
Satu-satunya sistem yang dapat
menjamin ketenteraman hidup dan mampu mengatur hubungan antara pria dan wanita
dengan pengaturan yang alamiah hanyalah sistem pergaulan pria wanita dalam Islam.
Sistem pergaulan pria-wanita dalam Islamlah yang menjadikan aspek ruhani sebagai
asas dan hukum-hukum syariah sebagai tolokukur
dengan hukum-hukum yang mampu
menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. Sistem interaksi Islam memandang
manusia, baik pria maupun wanita, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri,
perasaan, kecenderungan, dan akal. Sistem ini membolehkan manusia
bersenang-senang menikmati
kehidupan dan tidak melarang manusia untuk memperoleh bagian kenikmatan hidup
secara optimal, tetapi dengan tetap memelihara komunitas dan masyarakat. Sistem
ini pun mendorong kukuhnya manusia dalam menempuh jalan untuk
memperoleh ketentraman
hidupnya. Sistem pergaulan Islam sajalah satu-satunya sistem pergaulan yang
sahih, kalaupun memang memang ada sistem pergaulan lain.
Sistem pergaulan pria-wanita
dalam Islam menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-mata
untuk melestarikan keturunan umat manusia. Sistem ini mengatur hubungan lawan
jenis antara pria dan wanita dengan peraturan yang rinci, dengan menjaga
naluri ini agar hanya
disalurkan dengan cara yang alami. Dengan itu, akan tercapailah tujuan dari
penciptaan naluri tersebut pada manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Sistem ini, pada saat yang sama, mengatur berbagai pergaulan antara pria dan
wanita, serta menjadikan hubungan lawan jenis yang bersifat seksual sebagai
bagian dari sistem interaksi di antara keduanya. Sistem ini, selain menjamin adanya
kerjasama —yaitu kerjasama yang membawa kebaikan bagi individu, komunitas dalam
masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri—antara pria dan wanita tatkala mereka
saling berinteraksi, juga
menjamin terwujudnya
nilai-nilai akhlak yang luhur. Di samping itu, sistem ini pun menjadikan tujuan
tertinggi yaitu keridhaan Allah SWT sebagai pengendali hubungan itu sehingga
kesucian dan ketakwaanlah yang dijadikan penentu bagi metode interaksi antara
pria dan wanita dalam kehidupan Islam; sementara, teknik atau sarana yang
digunakan
dalam kehidupan tidak boleh
bertentangan dengan metode ini, apa pun alasannya.
Islam telah membatasi hubungan
lawan jenis atau hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dengan
perkawinan dan pemilikan hamba sahaya. Sebaliknya, Islam telah menetapkan bahwa
setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut adalah sebuah dosa
besar yang layak diganjar dengan hukuman yang paling keras. Di luar hubungan
lawan jenis, yakni interaksi-interaksi lain yang merupakan manifestasi dari
gharîzah an-naw‘ (naluri melestarikan jenis manusia) —seperti hubungan antara
bapak, ibu, anak, saudara, paman, atau bibi— Islam telah membolehkannya sebagai
hubungan silaturahim antar mahram. Islam juga membolehkan wanita atau pria
melakukan aktivitas
perdagangan, per tanian,
industri, dan lain-lain; di samping membolehkan mereka menghadiri kajian
keilmuan, melakukan shalat berjamaah, mengemban dakwah, dan sebagainya. Islam
telah menjadikan kerjasama antara pria dan wanita dalam berbagai aspek
kehidupan serta interaksi antar sesama manusia sebagai perkara yang pasti di
dalam seluruh muamalat. Sebab, semuanya adalah hamba Allah SWT, dan semuanya
saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan dan
pengabdian kepada-Nya. Ayat-ayat al-Quran telah menyeru manusia kepada Islam
tanpa membedakan apakah dia seorang pria ataukah wanita. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah,’Hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (TQS al-A‘râf [7]: 158)
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 1)
Ada juga sejumlah ayat yang
khusus ditujukan hanya kepada kaum Mukmin, baik pria atau pun wanita, agar
mereka menerapkan hukum-hukum Islam, sebagaimana ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu.” (TQS al-Anfâl [8]: 24)
Di samping itu, ada juga
ayat-ayat yang bersifat umum yang ditujukan kepada pria maupun wanita, seperti
ayat-ayat berikut ini:
“Diwajibkan atas kamu
berpuasa.” (TQS al-Baqarah [2]: 183)
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat.” (TQS al-Baqarah [2]: 110)
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka.” (TQS at-Taubah [9]: 103)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin...” (TQS at-Taubah [9]:
60)
“Dan orang-orang yang menimbun
emas dan perak...” (TQS at-Taubah [9]: 34)
“Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian..”. (TQS
at-Taubah [9]: 29)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu jadikan bapabapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan.” (TQS at-Taubah [9]: 23)
Masih ada sejumlah ayat lain
yang semuanya bersifat umum, yakni berkaitan dengan pria maupun wanita.
Pelaksanaan berbagai taklif dari nash-nash tadi dimungkinkan adanya ijtimâ‘
(pertemuan dan interaksi) antara pria dan wanita, bahkan dalam pelaksanaan
aktivitas yang bersifat individual sekalipun seperti shalat. Semua itu
menunjukkan bahwa, Islam membolehkan adanya interaksi antara pria dan wanita untuk
melaksanakan berbagai taklif hukum dan segala aktivitas yang harus mereka
lakukan.
Meskipun demikian, Islam sangat
berhati-hati menjaga masalah ini. Karena itulah, Islam melarang segala sesuatu
yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak
disyariatkan. Islam melarang siapa pun, baik wanita maupun prianya, keluar dari
sistem Islam yang khas dalam mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam
persoalan ini demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat ‘iffah
(menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban. Islam pun menetapkan setiap
metode, cara, maupun sarana yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji
sebagai sesuatu yang juga wajib
dilaksanakan; sebagaimana
kaidah ushul menyatakan: Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib pula. Lebih
dari itu, Islam telah menetapkan hukum-hukum Islam tertentu yang berkenaan
dengan hal ini. Hukum-hukum tersebut banyak sekali jumlahnya. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam telah
memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan
pandangan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah
kepada wanita yang beriman,
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” (TQS
an-Nûr [24]: 30-31)
Kedua, Islam memerintahkan
kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang
menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya
mengulurkan pakaian hingga menutup tubuh mereka. Allah
SWT berfirman:
“Dan janganlah merka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...” (TQS an-Nûr [24]: 31)
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min,
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzâb
[33]: 59)
Ayat di atas bermakna,
hendaklah mereka tidak menampakkan tempat melekatnya perhiasan mereka, kecuali
yang boleh tampak, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Khimâr maknanya adalah
penutup kepala, sedangkan jayb (bentuk tunggal dari kata juyûb) adalah kerah baju
(thauq al-qamish), yaitu lubang baju pada leher dan dada. Dengan
ungkapan lain, ayat di atas
mengatakan, hendaklah mereka mengulurkan penutup kepala (kerudung) ke atas
leher dan dada mereka. Sementara itu, kalimat al-idnâ’u min al-jilbâb maknanya
adalah mengulurkan kain baju kurung hingga ke bawah (irkhâ’).
Ketiga, Islam melarang seorang
wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama
perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya. Rasulullah
SAW bersabda:
“Tidak halal seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari
semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.” (HR Muslim).
Keempat, Islam melarang pria
dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai
mahram-nya. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang
pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.” (HR
Bukhari).
Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah SAW berkhutbah sebagai berikut:
“Janganlah sekali-kali seorang
pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang
mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali
disertai mahram-nya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata,
‘Wahai Rasulullah SAW,
sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku sudah
ditugaskan ke peperangan anu dan anu.” Rasulullah SAW menjawab, ‘Pergilah engkau
dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu.” (HR Muslim)
Kelima, Islam melarang wanita
untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak
atas istrinya. Maka tidak dibenarkan seorang istri keluar dari rumah suaminya
kecuali atas izinn suaminya. Jika seorang istri keluar tanpa seizin suaminya,
maka
perbuatannya termasuk ke dalam
kemaksiatan, dan dia dianggap telah berbuat nusyûz (pembangkangan) sehingga
tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
Ibn Baththah telah menuturkan
sebuah riwayat dalam kitab Ahkâm an-Nisâ’ yang bersumber dari penuturan Anas
RA. Disebutkan bahwa, ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang
istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit. Wanita
itu lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan menjenguk
ayahnya. Rasulullah SAW kemudian menjawab:
“Hendaklah engkau bertakwa
kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.” Tidak lama
kemudian, ayah wanita itu meninggal. Wanita itu pun kembali meminta izin kepada
Rasulullah SAW agar dibolehkan melayat jenazah ayahnya. Mendengar permintaan
itu, beliau kembali bersabda:
“Hendaklah engkau bertakwa
kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.” Allah SWT kemudian
menurunkan wahyu kepada Nabi SAW:
“Sungguh, Aku telah mengampuni
wanita itu karena ketaatan dirinya kepada suaminya.”
Keenam, Islam sangat menjaga
agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria;
begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. Artinya, Islam
telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita,
sedangkan seorang pria
hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria. Islam juga telah menetapkan bahwa,
shaf (barisan) shalat kaum wanita berada di bagian belakang shaf shalat kaum
pria. Islam juga mendorong wanita agar tidak berdesak-desakan dengan pria di
jalan dan di pasar.
Islam pun menetapkan bahwa
kehidupan para wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahram
mereka. Maka seorang wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum
seperti jual-beli dan sebagainya, dengan syarat begitu ia selesai melakukan
aktivitasnya hendaknya ia segera kembali hidup bersama kaum wanita atau
mahram-mahram-nya.
Ketujuh, Islam sangat menjaga
agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam
urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi
antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau
keluar bersama untuk
berdarmawisata. Sebab, kerjasama antar keduanya bertujuan agar wanita
mendapatkan apa yang menjadi hakhaknya dan kemaslahatannya, di samping agar
mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. Dengan hukum-hukum
ini, Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita, sehingga tidak menjadi
interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat
seksual. Artinya,
interaksi mereka tetap dalam
koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan melakukan
berbagai macam aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan hubungan-hubungan
yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun
wanita, ketika masing-masing saling
bertemu dan berinterkasi. Islam
pun mampu memberikan solusi terhadap hubungan-hubungan yang muncul dari
interaksi antara pria dan wanita, seperti: nafkah, hak dan kewajiban anak,
pernikahan, dan lain-lain. Solusinya adalah dengan membatasi interaksi yang
terjadi— sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut—serta dengan
menjauhkan pria dan wanita dari
interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat
seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar