Jumat, 28 Juni 2013

Pandangan Islam terhadap Relativisme Beragama*

Oleh Kholili Hasib, MA, Peneliti InPAS Surabaya

Doktrin relativisme kini telah menjadi tantangan nyata dalam kehidupan beragama manusia modern. Statemen umum yang dilontarkan biasanya adalah kalimat “Pemikiran manusia itu relative, yang absolut hanya Tuhan”. Paham yang meyakini bahwa kebenaran itu relatif tergantung subjek ini, telah memasuki kepada bidang filsafat, akidah dan bahkan  metodologi studi keilmuan. Dalam bidang filsafat, doktrin relativisme menyentuh pembahasan epistemologi — sumber-sumber ilmu. Ia juga mendobrak dinding-dinding akidah. Sebab, mengajarkan bahwa keyakinan tiap-tiap agama dan kepercayaan itu relatif, tidak ada satu agama atau keyakinan yang absolut benar. Karena telah menyentuh bidang epistemologi, maka selanjutnya relativisme juga mempengaruhi metodologi studi keilmuan. Produk paling nyata adalah penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur’an dan teks-teks keislaman lainnya. Sikap ‘netral agama’ dalam studi perbandingan agama juga merupakan pengaruh dari relativisme.

Fenomena Relativisme dalam Beragama
Baik di tingkat mahasiswa, dosen ataupun masyarakat biasa kita sering mendengar kata-kata atau tulisan yang berbunyi; “kebenaran itu relatif”, “kebenarana itu tidak memihak”. “Pemikiran manusia itu relative yang absolute hanya Tuhan”, “manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolute”, “agama itu mutlak sedang pemikiran keagamaan itu relatif”, dan lain sebagainya.
Seperti ditulis oleh seorang dosen di IAIN Bandung, “Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relative, dan sudah pasti kebenarannya bernilai relatif”.[1] Tulisan ini menggiring kepada pemahaman anti-otoritas.
Penafian otoritas keagamaan merupakan salah satu implikasi dari paham relativisme. Tampak dari keterangannya bahwa manusia dengan akalnya tidaklah mampu mencapai kepada kebenaran mutlak. Akibat berikutnya adalah, ulama’ adalah manusia, maka para ulama’ kita -termasuk Sahabat- pendapatnya tidak bisa menjadi pegangan hukum.
Nurcholish Madjid dalam bukunya “Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” mengatakan: “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi belaka. Jadi, absolutism, lebih-lebih lagi, seharusnya tidak terjadi di kalangan kaum Muslim. Apalagi Islam selalu dilukiskan sebagai jalan, sebagaimana dipahami dari istilah-istilah yang digunakan dalam Kitab Suci. Kesemua itu mengandung makna ‘jalan’ dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju kepada perkenan Allah dengan segala sifat-Nya”[2].
Paham seperti tersebut di atas merasuk ke dalam studi Islam. Sehingga menjadi semacam framework dalam mengkaji agama Islam. Dalam buku-buku Studi Islam –di perguruan Tinggi Islam – diajarkan penggunaan istilah “Islam Historis” dan “Islam Normatif”. Islam Normatif adalah Islam sebagai wahyu dan Islam Historis adalah Islam sebagai produk sejarah.
Pembagian ini bersifat dikotomik. Sebagai wahyu, Islam merupakan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw kepada dunia dan akhirat. Sedangkan Islam Historis merupakan agama Islam sebagai produk sejarah yang dipahami manusia, dipraktikkan kaum Muslmin di seluruh penjuru dunia, hingga saat ini[3].
Bentuk Islam yang historis ini diyakini sebagai pemahaman yang relatif. Jika begitu, pemahaman para tabiin dan para ulama setelahnya adalah relatif. Jika relative, tidak bisa dijadikan pegangan. Islam, dari zaman Rasulullah saw tetaplah Islam. Memiliki komponen ushul dan furu’. Yang tetap dalam Islam adalah ushul. Adapun furu’ menyangkat kepada dalil-dali dzanniyat, dimana para ulama berbeda. Dimana perbedaan tersebut tidak sampai kepada hal-hal yang prinsip. Islam yang dipraktikkan manusia bisa saja bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri. Misalnya seorang mengaku Muslim mempraktikkan menyembah berhala. Ini bukan “Islam Historis”. Yang tepat, pemahaman tersebut Bukan Islam.
Kekeliruan berikutnya, meletakkan Islam yang bersifat final, sebagai bagian dari sejarah. Islam bukanlah agama budaya, hasil kreasi manusia. Ia agama wahyu yang sempurna sejak awal. Dari pemahaman seperti inilah lahir statemen bahwa pemikiran dan penafsiran terhadap keagamaan itu relative ketika dijelmakan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Statemen tersebut belumlah jelas. Apakah yang dimaksud penafsiran dalam hal ini? Perbedaan penafsiran tidak selalu bermasalah asalkan tidak kontradiktif dengan pilar-pilar ushuliyah. Salah satu contoh sederhana tentang status Umar bin Khattab RA. Beliau merupakan Khalifah kedua, seorang Sahabat Nabi saw, seorang ayah, seorang lelaki. Perbedaan kita ketika menyebut Umar – seperti kita sebut seorang Sahabat, yang lain menulis Khalifah dan yang lain menulis sebagai seorang lelaki – tidak menjadikan eksistensi Umar menjadi relative.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan logika relativisme ini. Ia menulis, “Pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute, mempunyai banyak kerancuannya. Pertama, jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui kebenaran absolute tentu tidak benar, sebab hitungan matematis 2×2=4 adalah absolute. Nabi Muhammad saw pernah hidup dan membawa risalah Islam kemudian wafat adalah pengetahuan absolute.
Kedua, jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolute seperti yang dimaksud Tuhan, ini berarti ia tidak percaya kepada kenabian Muhammad saw, manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah. Mustahil Allah menurunkan wahyu yang tidak bisa difahami oleh Rasul-Nya sendiri.
Ketiga, seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu. Jika dia tidak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka pengetahuannya itu absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa relative dan bisa absolute.
Keempat, pernyataan bahwa “kebenaran itu relative” sebenarnya juga kontradiktif (self-contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relative alias belum tentu benar. Karena pernyataan “kebenaran itu relative” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan lain yang berbunyi “kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative”, dan pernyataan ini juga dapat dianggap benar.
Kelima, dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa pemikiran manusia itu relative dan yang absolute hanya Tuhan dapat diterima dalam perspektif ontologis dan tidak dapat dibawa ke dalam ranah epistemologis. Benar, secara ontologis Tuhan itu absolute dan manusia itu relative. Namun secara epistemologis kebenaran dari Tuhan yang absolute itu telah diturunkan kepada manusia melalui Nabi dalam bentuk wahyu. Kebenaran wahyu yang absolute itu difahami oleh Nabi dan disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah Nabi itu dapat memahami yang absolute[4].

Relativisme dan Problem Keimanan
Paham relativisme tidak hanya menjadi tren manusia modern, namun juga telah lama ditemukan akarnya dalam peradaban kuno, khususnya di Yunani. Para ulama’ salaf seperti al-Taftazani, al-Ghazali dan al-Baghdadi telah membahasnya. Ulama’ kontemporer yang mengkajinya di antaranya Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam istilah para ulama salaf kelompok yang menganut tren paham ini disebut sufasta’iyyah (sopist). Dari kaum sopist inilah akar pemikiran relativis berkembang.
Kaum Sopist dibagi menjadi tiga. Pertama, kelompok al-la adriyah (agnostik) yaitu orang yang selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan.  Kedua, al-‘indiyah yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif, bergantung kepada pendapat masing-masing. Ketiga, kelompok al-inadiyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapny sebagai fantasi dan khayalan semata-mata.[5]
Mereka ini disebut golongan anti–Ilmu. Ilmu tidak ada kaitan dengan agama dan amal. Seperti tersebut dalam definisinya, Relativisme adalah bahwa apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relative tergantung kepada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Paham ini yang kemudian melahirkan paham-paham liberal lainnya, seperti pluralisme, feminisme dan sekularisme.
Mereka kaum la adriyah kontemporer cenderung menyempitkan ruang lingkup agama pada permasalahan iman saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan karenanya bersifat pribadi. Artinya tidak seorangpun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan para ulama berpendapat bahwa din (agama) adalah gabungan antara iman dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal sholeh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman.
Penjelasan ini dapat dibaca dalam firman Allah swt: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah” (QS. Al-Hujarat: 15).
Syed Naquib al-Attas mengatakan definisi ilmu bahwa ilmu dalam Islam itu menghasilkan amal, dan semua dikendalikan oleh kepercayaan. Ia mengatakan: “al-Ilm husul ma’na al-Syai’ fi al-Nafs wa wusul al-Nafs ila ma’na al-Syai’i[6]. seorang mu’min yang percaya kepada Allah tidak berbeda dengan yang diamalkannya. Kepercayaan dan pengamalan itu karena ia memiliki pengetahuan yang benar yang merasuk ke dalam hatinya. Karena itulah Imam Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai berikut, ”al-Ilmu ma’rifatu al-Syai’ ‘ala ma huwa bihi[7].
Orang yang mengetahui hakikat sesuatu pasti akan memahami konsekuensi dari sesuatu itu. Orang yang mengamalkan shalat lima waktu secara rutin dengan benar adalah orang yang mengetahui apa itu shalat. Bahwa shalat lima waktu itu kewajiban tiap individu Muslim, jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan paham akan siksa yang menimpa jika meninggalkannya. Inilah pengetahuan yang menurut al-Attas merasuk ke dalam hati.
Dalam kaitan ini, paham relativisme menolak otoritas keagamaan. Setiap orang dengan perbedaan intelektual dan kapabilitasnya, berhak memberikan pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis dan masing-masing berhak sebebas-bebasnya memaknai keduanya, dan masing-masing tidak berhak mengklaim dirinya lebih benar dari lainnya.
Dalam ayat al-Qur’an dijelaskan: “Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermain-main dalam keraguan” (QS. Al-Dukhan: 7-9).
Ayat terakhir yang berbunyi “Bal hum fi syaqqin yal’abun”. Merupakan tepat untuk menggambarkan kaum relativis. Mereka meragukan terhadap kebenaran agama. Meragukan terhadap kepastian iman yang final. Keragu-raguan selamanya tidak akan menunjukkan kepada pengetahuan pasti, terlebih di dalam masalah keagamaan yang sifatnya fundamental.
Imam al-Ghazali menyebut golongan yang menolak ilmu dengan kejahilan tingkat tinggi yang susah untuk menyembuhkannya. Ia mengatakan bahwa kejahilan paling besar adalah rojulun la yadri, wa la yadri annahu la yadri (orang yang bodoh, tapi tidak tahu bahasannya dia itu tidak tahu). Terhadap golongan ini, Imam al-Ghazali memberi saran agar seorang Muslim tidak mendekatinya. Atau tinggalkanlah[8].
Dalam Islam, ilmu berkaitan dengan iman. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dasar bagi semua keutamaan amal. Keutamaan amal dalam Islam ditandai dengan keharusan menguasai ilmu dalam setiap amalan ibadah yang akan dikerjakan. Dengan demikian, posisi ilmu berkaitan dengan akidah[9].
Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan: “Mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah akan mendatangkan banyak manfaat. Kata perintah dalam ayat “fa’lam annahu la’ila illa Allah” objek pertamanya adalah Rasulullah saw, padahal beliau sudah mengetahui makna kalimat tauhid. Lalu apa makna kata perintah tersebut? Ada dua hal: Pertama, hendaklah tetap teguh dan konsisten dengan apa yang telah engkau (Rasulullah saw) ketahui, Kedua, objeknya adalah orang-orang yang bersama Rasulullah saw yaitu semua umatnya. Allah menyuruh Rasulullah saw tetap istiqamah dalam mengamalkan apa yang telah menjadi pengetahuan Rasulullah saw dan tetap memohon ampunan untuk umatnya. Sehingga ada dua sifat yang telah dicapai, yaitu istiqamah dan tidak larut dalam kesedihan terhadap kondisi umatnya”[10].
Jadi, manusia sangat mungkin mengetahui hakikat sesuatu yakni melalui wahyu. Setelah manusia mendapat pengetahuan melalui wahyu tersebut, manusia diperintah konsisten dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah itu, dengan mengamalkan apa yang menjadi pengetahuannya. Di sini penting diketahui, ilmu, iman dan amal itu harus menyatu.

Otoritas Islam dan Kesesatan Agama
Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah dan paham ‘Sepilis’ (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) adalah haram. Kelompok liberalis mengecam dengan berargumen, “Siapapun tidak berhak menyatakan sesuatu sesat atau tidak terhadap suatu kelompok”, “Kalau MUI sekarang mengatakan Ahmadiyah sesat, berarti MUI telah melampaui kewenangan Tuhan”, “Siapapun tidak tahu mana sesat dan mana yang tidak”.
Pernyataan protes tersebut terus diutarakan untuk menyerang otoritas ulama. Inilah ciri kaum berpaham relativisme. Dalam timbangan akidah Islam, pernyataan di atas meruntuhkan konsep-konsep Islam yang telah mapan.
Allah menurunkan wahyu, melalui Nabi Muhammad saw dengan misi untuk menjelaskan kepada manusia agar memahami mana perkara yang benar dan mana perkara yang sesat. Otoritas tertinggi dalam Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis. Maka setiap Muslim berkewajiban mengikuti ketentuan yang tertera dalam kedua sumber hukum tersebut agar tidak tersesat.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat tentang kesesatan (dhalalah). Al-Qur’an turun untuk memberi petunjuk kepada manusia. Agar manusia bisa membedakan mana yang dhalal dan mana yang haq. Allah swt berfirman:
4`tBurõ8ÎŽô³ç«!$$Î/ôs)sù¨@|ÊKx»n=|Ê#´Ïèt/ÇÊÊÏÈ
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”[11]
Al-Qur’an merupakan pembimbing manusia. Di sini, al-Qur’an memberi pengarahan bahwa kebenaran itu jelas dan kesesatan itu pun juga jelas. Nabi Muhammad saw, para Sahabat, tabi’n dan para ulama setelahnya tidak pernah memberi penjelasan bahwa kebenaran dan kesesatan itu tidak ada. Hanya kaum Liberal yang mengajarkan relativisme.
Al-Qur’an secara lugas memberi pelabelan dhalalah tanpa mengaburkan. Allah swt berfirman:
¨bÎ)z`ƒÏ%©!$#(#rãxÿx.(#r|¹ur`tãÈ@Î6y«!$#ôs%(#q=|ÊKx»n=|Ê#´Ïèt/ÇÊÏÐÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah tersesat sejauh-jauhnya”[12].
Jadi, apa yang difatwakan oleh para ulama’ tentang kesesatan Ahmadiyah, ‘Sepilis’, dan Syiah itu memiliki dasar otoritas yang diakui dalam Islam. Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan furqan (pembeda antara haq dan bathil).
Untuk memahami al-Qur’an, tidak diperkenankan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ilmu untuk mentafsirkan. Rasulullah saw bersabda:
من قال في القرآن برأيه فليـتبوأ مقعده من النار[13]
“Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an berdasarkan rasionya saja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka” (QS. Al-Tirmizi).
Islam memiliki konsep otoritas, tidak seperti paham liberalisme yang mencoba menghapus otoritas, sebagaimana paham relativisme. Dalam al-Qur’an Allah memberintahukan:
4(#þqè=t«ó¡sùŸ@÷dr&̍ø.Ïe%!$#bÎ)óOçGYä.ŸwtbqçHs>÷ès?ÇÍÌÈ  
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”[14].
Imam al-Qurtubi menjelaskan, bahwa yang dimaksud ”ahl al-Dzikri” dalam ayat tersebut adalah manusia yang memiliki ilmu. Ibnu Abbas mengatakan “ahlul Dzikri” adalah orang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, yakni pengetahuan-pengetahuan dari Rasulullah saw tentang hukum-hukum[15].
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah tanpa ada sikap keragu-raguan menyatakan perbedaan antara Islam dan pemikiran yang menyimpang. Mengutip pendapat Qadhi Iyadh beliau menulis: “Sesungguhnya setiap pernyataan yang secara jelas menafikan ketuhanan Allah, atau ke-Esa-anNya atau beribadah selain kepada-Nya maka dia kufur”[16]. Ketika menjelaskan tentang orang yang menolak kenabian Nabi Muhammad saw, atau salah satu Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Kyai Hasim mengatakan bahwa keyakinan itu “kafir bila raybi” (kufur tanpa keraguan)[17].
Adapun perbedaan yang berada dalam manhaj ikhtilaf furuiyyah dapat ditoleransi dan tidak dapat dikategorikan dalam kajian relativisme. Sebab, relativisme ini mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, semua sama, tidak salah tidak benar. Sedangkan perbedaan ulama dalam soal furuiyyah dalam kaitannya dengan dalil dzanniyat masih memiliki otoritas, bersatu di dalam kebenaran pokok-pokok Islam (ushuliyah). Jadi paham relativisme membongkar segala perbedaan, baik ushul maupun furu’, bahkan ushul dan furu’ dinafikan.
Kelihatannya doktrin relativisme itu bijak namun sebenarnya bertabrakan dengan ilmu. Ernest Gellner mengatakan bahwa relativisme itu mengarahkan kepada penyelidikan yang buruk, mengkhawatirkan dan mengkaburkan. Ia berkesimpulan bahwa relativisme itu tidak bermanfaat[18].

Kesimpulan
Doktrin mengenai relativisme telah menjalar dalam bidang-bidang vital dan elementer dalam kehidupan manusia, terutama dalam pemikiran keagamaan. Paham ini terlihat inkonsisten dan kontradiktif ketika diamalkan. Pernyataan bahwa “kebenaran itu tidak memihak”, berarti pernyataan itu mengandung keyakinan bahwa kebenaran ada di semua pihak. Rancunya jika di satu pihak ada yang menyatakan Tuhan itu ada, dan di pihak lain ada yang menyatakan Tuhan itu tidak ada, maka kebenaran ada pada keduanya, karena kebenaran tidak boleh memihak. Tentu ini secara logis kontradiktif. Karena itu dalam pandangan Islam, relativisme selalu berkontradiksi dengan konsep keimanan. []


*Disampaikan dalam Kajian Counter-Faith JMMI – ITS Surabaya pada Jumat 15 Februari 2013
[1] Adian Husaini,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Depok: Gema Insani, 2009), hal. 155
[2] Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal xi
[3] Amin Abdullah,Metodologi Studi Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, )
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), (Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 91-93
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No. 5 2005, hal. 53-54
[6] Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 14
[7] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hal. 33 juz I
[8] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 2005), hal. 78
[9] Herny Shalahuddin, Bahaya Relativisme terhadap Keimanan, www.insistsnet.com – Jurnal Islamia, No. 5 th I 2005 hal. 52
[10] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib
[11] Al-Qur’an surat al-Nisa’: 116
[12] Al-Qur’an surat al-Nisa’: 167
[13] Sunan al-Tirmidzi Juz 5 hadis No. 2951
[14] Al-Qur’an surat al-Nahl ayat 43
[15] Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an, juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1999), hal. 98
[16] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, (Jombang: Maktabah al-Turast al-Islami, tt), hal. 13
[17] Ibid
[18] Ernest Gellner,Menolak Postmodernisme, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 73


sumber: http://inpasonline.com/new/pandangan-islam-terhadap-relativisme-beragama