Senin, 26 Agustus 2013

Manfaat Kulit Pisang



Pisang adalah tumbuhan yang bisa dimanfaatkan seluruhnya untuk kita. Mulai dari batang, daun, hingga buahnya yang berguna untuk mereduksi risiko kanker, bahkan kulitnya.

Jadi, kalau makan pisang jangan buang kulitnya. Ternyata banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari kulit pisang. Kulit pisang dikenal memiliki sifat antijamur dan antibiotik. Kulit pisang sarat akan vitamin, mineral, dan serat. Lengkapnya, inilah 10 manfaat kulit pisang seperti dikutip dari apakabardunia.com

1. Obat Alami untuk Psoriasis
Psoriasis dialami oleh banyak orang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai obat alami untuk menyingkirkan psoriasis.
Gosokkan bagian dalam kulit pisang di area yang terkena psoriasis.
Awalnya area tersebut akan menjadi merah, namun dengan penggunaan secara terus-menerus akan terlihat perbedaan hasilnya.

2. Mengobati Jerawat
Kulit pisang juga bisa dimanfaatkan untuk kondisi kulit lainnya yaitu sebagai obat jerawat.
Gosokkan bagian dalam kulit pisang pada jerawat. Setelah penggunaan rutin, jerawat tidak akan lagi terlihat.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, disarankan mengoleskan kulit pisang pada jerawat di malam hari.

3. Mengobati Kutil
Manfaat lain dari kulit pisang adalah mengobati kutil. Gosok bagian dalam kulit pisang pada kutil setiap malam, efeknya akan terlihat pada hari ke 7-10.
Sebagai alternatif, kulit pisang bisa dilekatkan pada kutil selama semalaman. Lihat hasilnya dalam 15 hari.

4. Mempercantik Kulit
Untuk kulit kenyal yang indah, gosokkan bagian dalam kulit pisang pada wajah sebelum tidur.
Biarkan semalaman, cuci keesokan harinya dengan air hangat.

5. Mengatasi Iritasi & Gatal
Alergi, iritasi kulit, dan memar kulit juga dapat diobati dengan kulit pisang.
Jika kulit gatal, tempelkan bagian dalam kulit pisang pada area yang terkena gatal dan biarkan semalaman.
Bahan kimia dalam kulit pisang akan membantu menyingkirkan rasa gatal.

6. Mengobati Luka
Luka karena cedera, terutama pada lutut dapat disembuhkan dengan kulit pisang.
Gosok lutut dengan bagian dalam kulit pisang dan lihat efek penyembuhannya.

7. Memutihkan Gigi
Beberapa orang mengklaim bahwa menggosokkan bagian dalam kulit pisang pada gigi secara teratur bisa membantu memutihkan gigi.
Kulit pisang harus digosok pada gigi dengan gerakan melingkar.
Jika kulit pisang digunakan setiap hari, efek pemutihan gigi akan terlihat dalam waktu sekitar dua minggu.

8. Mengatasi Gigitan Nyamuk
Bila terkena gigitan nyamuk, kulit menjadi teriritasi dan gatal.
Kulit pisang bisa digunakan untuk mengurangi pembengkakan, gatal, serta iritasi yang disebabkan oleh gigitan nyamauk.

9. Mengkilapkan Aksesoris Perak & Kulit
Kulit pisang ternyata bisa membuat aksesoris yang terbuat dari perak dan kulit kembali mengkilap.
Sebelum digunakan, disarankan untuk melakukan pengujian dengan menempelkan sedikit kulit pisang di tempat yang tidak mudah terlihat pada aksesoris tersebut.

10. Pupuk Kompos
Kulit pisang bisa juga digunakan sebagai pupuk kompos untuk tanaman.
Kadar kalium dan fosfor yang tinggi pada kulit pisang terbukti sangat membantu saat digunakan sebagai pupuk kompos.

Dan manfaat terakhir adalah buat mlesetin orang kaya di kartun-kartun dan film :p

sumber: http://terseru.wordpress.com

Minggu, 25 Agustus 2013

Khitbah dalam pandangan Islam


Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)

Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.

Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).

I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49). 

Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR.Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.

Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah, Allah Swt, berfirman :

Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai
(QS.An-Nisa [4]:3)

Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’

Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:

‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.”
(HR.Bukhari)

Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.

Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.

II. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:

a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).

Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)

b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)

c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya
(HR.Ibnu Abbas)

Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.

Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.

d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)

e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.

Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.

Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.

Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’
(HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar
(QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)

III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).

Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia (HR.Muslim dan Abu Hurayrah)

Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)

*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)

Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.

Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:

Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)

Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)

Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.

IV. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.

Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.

Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena

hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah saw bersabda:
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)

Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)

Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang. Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.

Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR.Muslim)

Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya. Wallahu’alam bi shawab.


sumber: http://aisasholikha.wordpress.com

Tata Cara Pernikahan dalam Islam (bag 1)


bagian 1 khitbah

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”
Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang
Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]
Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7]

Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ (وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ) خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya.

sumber:  http://tasgrosironline.wordpress.com

Sabtu, 10 Agustus 2013

Puasa Sekolah Pembersihan Diri

taushiyah abi di bulam romadlon


بسم الله الرحمن الرحيم
مَدْرَسَةُ الصَّوْمِ التَّهْذِيْبِيَّةُ
لِلصَّوْمِ حِكَمٌ عَدِيْدَةٌ يَعْتَبِرُ وَيَتَهَذَّبُ بِهَا الْمُسْلِمُ الْوَاعِى,
 وَمِنْ ذَلِكَ:
1.  الصَّوْمُ يُرَبِّيْ فِيْهِ وَيُنَمِّيْهِ مَلَكَةَ التَّقْوَى وَيُعَوِّدُهُ عَلَى الْحُضُوْعِ وَالطَّاعَةِ الَّتِى هِيَ الضَّمَّانُ لاِسْتِقَامَةِ أَمْرِهِ, وَيَتَّقِى بِهِ الْمَعَاصِيَ لِأَنَّهُ يَكْسِرُ الشَّهْوَةَ الَّتِى هِيَ مَبْدَؤُهَا. وَعَلَى هَذَا الْمَعْنَي اي الإِتِّقَاءِ يَكُوْنُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَهْلِ التَّقْوَى إِذَا عَمِلَ مَا يَأْتِي:
أ‌-                 الْإِبْتِعَادُ عَنِ الْمَعَاصِي الْمَنْهِيِّ عَنْهَا
ب‌-          النَّدَمُ عَلَى ارْتِكَابِ أَيَّةِ مَعْصِيَةٍ
ج-   التَّأَسُّفُ عَلَى عَدَمِ فِعْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ وَإِنْ كَانَ تَطَوُّعًا
د-    عَدَمُ الْإِصْرَارِ عَلَى ارْتِكَابِ مَعْصِيَةٍ صَغِيْرَةٍ
ه-    التَّقَلُّلُ عَنْ مَعْصِيَةٍ وَقَعَ فِيْهَا حَتَّي يَتَخَلَّصَ مِنْهَا
وَإِلَى ذَلِكَ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: (...لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ) البقرة:183.
2.  الصَّوْمُ اتِّصَافٌ بِصِفَةِ اللهِ تَعَالَى
دَعَا اللهُ تَعَالَى عِبَادَهُ إِلَى اْلإِتِّصَافِ بِأَوْصَافِهِ وَتَعَبَّدَهُمْ بِهَا عَلَى قَدْرِ طَاقَتِهِمْ وَوُسْعِهِمْ, وَالصَّوْمُ مِنْ أَوْصَافِهِ وَأَنَّهُ الَّذِى يُطْعِمُ وَلاَ يَطْعَمُ
وَالصَّوْمُ يُعَوِّدُ الْإِنْسَانَ عَلَى حُبِّ الْخَيْرِ وَالْإِحْسَانِ وَيُقَوِّيْ فِيْهِ عَاطِفَةَ الرَّحْمَةِ فَيَجْعَلُهُ رَقِيْقَ الْقَلْبِ طَيِّبَ النَّفْسِ حَسَّاسَ الذَّوْقِ . قَالَ السَّيِّدُ أَحْمَدُ بْنُ إِدْرِيْسَ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ فىِ كِتَابِهِ  ((الْعِقْدُ النَّفِيْسُ)) ص 58:
"الْمُؤْمِنُ كُلَّمَا اتَّصَفَ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ اللهِ قَرُبَ مِنْهُ إِلاَّ سُوْرَةَ اْلِإخْلاَصِ فَلاَ يُشَارِكُهُ فِى صِفَاتِهِ فِيْهَا أَحَدٌ فَإِنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لـَمْ يُوْلَدْ لَكِنَّهُ يَلِدُ وَعِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لـَمْ يَلِدْ لَكِنَّهُ يُوْلَدُ وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ لاَإِلهَ إِلاَّ هُوَ آمَنَّا بِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ .إهـ" وَلِأَجْلِ ذَلِكَ يُؤَهِّلُهُ تَعَالَى بِصِيَامِهِ عَلَى لِقَائِهِ تَعَالَى مَعَ الْفَرَحِ التَّامِّ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [...لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ] رواه البخارى:1904. [...الصِّيَامُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ...] رواه البخارى:1894.
3.  الصَّوْمُ تَحَرُّرٌ مِنَ الْعُبُوْدِيَّةِ لِلشَّهَوَاتِ
حِيْنَ جَعَلَ اللهُ تَعَالَى اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِى الْأَرْضِ كَانَ مِنْ حَقِّهِ أَنْ يَكُوْنَ مَالِكًا لِلْأَشْيَاءِ لاَ أَنْ تَكُوْنَ مَالِكَةً لَهُ وَلِذلِكَ إِذَا اسْتَغْرَقَ الْإِنْسَانُ فِى شَهَوَاتِهِ فَقَدْ قَلَبَ الْحِكْمَةَ وَصَيَّرَ الْفَاعِلَ مَفْعُوْلاً وَالْأَعْلَى أَسْفَلَ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: [[قَالَ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِيْكُمْ إِلـهاً وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِيْنَ]] الأعراف:140. [[أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَـهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ]]الجاثية:23.
وَقَدْ عَلَّمَنَا اللهُ تَعَالَى أَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يُغْنِي فِى قَطْعِ ذَلِكَ كُلِّهِ إِذَا صَامَهُ الصَّائِمُوْنَ كَمَا يَنْبَغِى أَنْ يُصَامَ وَلِذَلِكَ قِيْلَ فىِ الْحَدِيْثِ : (إِذَا سَلِمَتِ الْجُمْعَةُ سَلِمَتِ الْأَيَّامُ وَإِذَا سَلِمَ رَمَضَانُ سَلِمَتِ السَّنَةُ كُلُّهَا)  رواه الدارقطني عن عائشة (انظر: فيض القدير:685).أَللَّهُمَّ سَلِّمْنَا لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لَنَا وَتَسَلَّمْهُ مِنَّا مُتَقَبَّلاً. آمِيْن.
=والله يتولى الجميع برعايته=



Puasa memiliki banyak hikmah yang bisa digunakan oleh seorang muslim terbina sebagai sarana mengambil pelajaran dan usaha membersihkan diri. Di antara hikmah-hikmah itu adalah:
1.    Puasa mendidik dan mengembangkan naluri bertaqwa pada pribadi seorang muslim serta membiasakannya berada dalam ketundukan dan kepatuhan yang merupakan jaminan tegaknya segala urusan. Dengan puasa seorang muslim melindungi diri dari kemaksiatan-kemaksiatan karena puasa meredam syahwat yang menjadi sumber kemakasiatan.
Berdasarkan makna melindungi ini maka manusia akan menjadi ahli taqwa jika melaksanakan hal berikut:

a.    Menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan (larangan-larangan)
b.    Menyesal karena telah melakukan kemaksiatan, apapun bentuknya
c.    Merasa sedih karena tidak menjalankan perintah meskipun hanya perintah sunnah
d.    Tidak terus menerus melakukan dosa kecil
e.    Meminimalkan kemaksiatan di mana ia terlanjur jatuh ke dalamnya sampai akhirnya secara total bisa terlepas darinya
Hal-hal tersebut adalah isyarat (yang bisa difahami) dari firman Allah; “...agar kalian bertaqwa”   
2.    Puasa sebagai upaya menumbuhkan sifat ketuhanan.
Allah Menyeru para hambaNya supaya bersifat dengan sifat-sifatNya dan menuntut mereka supaya melakukan penghambaan kepadaNya dengan sifat-sifatNya sesuai dengan kekuatan dan kemampuan mereka. Sementara puasa adalah termasuk di antara sifat-sifatNya,  dan sesungguhnya Dia Memberi makan (tetapi) Dia tidak makan.
Puasa (juga) melatih manusia agar mencintai kebaikan dan berbuat baik kepada sesama. Puasa menguatkan perasaan kasih sayang dalam diri manusia sehingga menjadikannya berhati lembut, berjiwa baik dan memiliki ketajaman rasa (dzauq). As Sayyid Ahmad bin Idris, Qaddasallahu sirrahu dalam al Iqdun Nafis hal 58 mengatakan:


“Seorang mukmin setiap kali bersifat dengan salah satu sifat-sifat Allah maka berada dekat dariNya kecuali surat al Ikhlash maka dalam sifat-sifatNya di sini tidak boleh seorangpun bersekutu denganNya karena sesungguhnya Nabi Adam alaihissalam meski tidak dilahirkan tetapi beliau melahirkan. Nabi Isa alaihissalam meski tidak melahirkan tetapi beliau dilahirkan. Sedangkan Allah subhaanahu wata’alaa tidak melahirkan serta tidak (pula) dilahirkan dan tidak ada seorangpun menyamaiNya. Tidak ada Tuhan selain Dia. Kita beriman denganNya, kitab-kitab dan utusan-utusanNya.”
Dan karena itu semua Allah ta’ala dengan berpuasa Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk bisa bertemu denganNya disertai rasa bahagia sempurna seperti disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallami: “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang dirasakannya; saat berbuka ia berbahagia dan saat bertemu Tuhannya ia berbahagia dengan puasanya”  “...Puasa itu milikKu dan Aku akan membalasnya (sesuai dengan ketentuanKu)...”

3.    Puasa adalah langkah membebaskan diri dari penghambaan kepada syahwat-syahwat.
Ketika Allah ta’ala telah Menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi maka semestinya ia berhak memiliki segala sesuatu, bukan (sebaliknya) segala sesuatu (justru) memilikinya (memperbudaknya). Karena itulah apabila manusia tenggelam dalam syahwat-syahwatnya maka sungguh ia telah membalikkan hikmah (penciptaan) dan menjadikan pelaku sebagai obyek serta yang tinggi menjadi rendah sebagaimana Allah berfirman:
“...Musa menjawab,”Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat...”
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” 

Dan sungguh Allah ta’ala telah Mengajarkan kepada kita sesungguhnya puasa ramadhan sudah cukup untuk bisa memutuskan semua hal tersebut apabila orang-orang yang berpuasa menjalani puasa sebagaimana semestinya yang karena itulah dikatakan dalam hadits: “Jika hari jum’at selamat maka hari-hari (seluruhnya) selamat. Dan jika ramadhan selamat maka seluruh tahun selamat” 
“Ya Allah, serahkanlah kami kepada ramadhan. Serahkanlah ramadhan kepada kami  dan terimalah ramadhan dari kami dengan sepenuh penerimaan!”



Puasa dan Menjadi Penguasa

Khutbah idul fitri dari ma'had

Khutbah Pertama
أَللهُ أَكْبَرُ . أَللهُ أَكْبَرُ . َأللهُ أَكْبَرُ .
 أَللهُ أَكْبَرُ . أَللهُ أَكْبَرُ . َأللهُ أَكْبَرُ .
 أَللهُ أَكْبَرُ . أَللهُ أَكْبَرُ . َأللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد .
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ . نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ . فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْن . قَالَ اللهُ تعَالَى : [[أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَـهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ]]
Ma’asyiral muslimin, jama’ah shalat Idul Fithri, hafizhakumullah
Pagi hari ini kita bergembira merayakan hari raya Idul Fithri tahun 1434 H. Idul Fithri artinya pagi ini kita kembali diperbolehkan sarapan pagi dan bahkan diharamkan berpuasa.                                       Kita berharap semoga kegembiraan ini selaras dengan kenyataan, meski bukan kepastian, bahwa puasa kita diterima oleh Allah azza wajalla, kita mendapatkan ampunan dariNya, dan kelak pada saatnya kita berhak memasuki surga dari pintu Rayyan serta bergembira dengan pahala yang diberikan oleh Allah Sang Maha Pemurah, sehingga nyatalah janji yang disampaikan oleh baginda Rasulullah Muhammad Saw:
...لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
 “...bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang dirasakannya; saat berbuka (saat Idul Fithri) ia berbahagia dan saat bertemu Tuhannya ia berbahagia dengan (pahala) puasanya”(HR Bukhari no: 1904)
Ma’asyiral muslimin, jama’ah shalat Idul Fithri, hafizhakumullah
Kita perlu terus mengingat bahwa berpuasa ramadhan khususnya, dan umumnya berpuasa sunnah seperti enam hari pada bulan Syawwal, tidak terbatas pada  masalah pahala dan kegembiraan hati saat telah berhasil menjalankannya. Akan tetapi ada sekian banyak hikmah dan tujuan yang di antaranya adalah bahwa puasa melatih kita menjadi manusia yang sehat secara fisik dan memiliki mental yang kuat sehingga tidak dipermainkan oleh hawa nafsu dan keinginan-keinginan yang tidak pernah berujung. Pada saat satu keinginan tercapai, maka justru muncul berbagai macam keinginan.
Hal seperti inilah yang menjadi sebab kita bangsa manusia diperbudak oleh dunia. Kita yang semestinya diciptakan oleh Allah sebagai Khalifah di muka bumi seharusnya mengendalikan segala yang ada dalam kehidupan ini. Bukan malah sebaliknya, segala yang ada yang berupa harta benda, pangkat dan jabatan itu justru mempermainkan, menyita sebagian besar atau bahkan menghabiskan waktu dan usia kita.  
Dengan berpuasa dari makanan dan minuman serta segala yang diharamkan Allah, kita dilatih memiliki hati yang bersih, mental yang kuat dan jiwa yang tangguh sehingga bisa mengendalikan diri yang akhirnya memiliki kemampuan menundukkan semua yang ada; baik harta benda, ilmu pengetahuan, pangkat dan jabatan  untuk kemudian dijadikan sebagai sarana meraih pahala sebanyak-banyaknya di sisi Allah Swt. Tuhan kita hanyalah Allah, kita hanya mengabdi kepadaNya, bukan mengabdi kepada segala sesuatu selain Allah, apapun bentuknya.
قَالَ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِيْكُمْ إِلـهاً وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِيْنَ
 “...Musa menyatakan,”Patutkah aku mencari Tuhan untuk kalian selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat...” (QS al A’raaf:140)
Allahu Akbar3x, ma’asyiral muslimin hafizhakumullah
Langkah nyata bahwa kita menjadi khalifah di bumi, tidak mempertuhankan dan diperbudak oleh segala yang ada di bumi adalah:
a.       Sebagai orang yang berilmu maka kita berusaha menghias diri kita dengan sifat tawadhu’,  sadar betul bahwa ilmu kita sangatlah sedikit, masih terlalu banyak orang yang jauh lebih pandai dan luas ilmunya daripada kita. Kita berusaha menyebarluaskan ilmu dengan berbagai macam cara yang disipakan oleh Allah  semata hanya berharap pahala dari Allah azza wajalla.
b.      Sebagai seorang pejabat atau pemegang kebijakan maka kita memanfaatkan betul untuk menyebarluaskan keadilan, menghukum orang yang zhalim dan membela pihak yang dizhalimi, memberantas kemaksiatan, serta merintis budaya dan tradisi kebaikan. Bukan malah memanfaatkan jabatan dan kekuasaan sebagai jalan mendapatkan keuntungan dan kepuasan pribadi. Kekuasaan dan jabatan adalah kesempatan emas melaksanakan bimbingan Rasulullah Saw:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا
“Tolonglah saudaramu baik saat ia berbuat zhalim atau saat dizhalimi!”
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolong orang ini karena ia terzhalimi, lalu bagaimana saya menolongnya saat ia berbuat zhalim!?” Rasulullah Saw bersabda: “Kamu memegang kedua tangannya (agar tidak berbuat zhalim)!” (HR Bukhari no:2444 dari Anas ra)                                 
c.       Sebagai orang yang diberikan keluasan harta benda kita harus:
Pertama: Mengeluarkan zakat sesuai hitungan nishabnya.Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
“Barang siapa mengeluarkan zakat hartanya maka sungguh telah hilang darinya keburukan harta tersebut” (HR Thabarani. Ibnu Khuzaimah)
 Beliau juga bersabda:
حَصِّنُوْا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوُوْا مَرْضَاكُمْ باِلصَّدَقَةِ وَاسْتَقْبِلُوْا أَمْوَاجَ الْبَلاَءِ بِالدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ
“Jagalah harta benda kalian (dari kehancuran) dengan (mengeluarkan) zakat, obatilah orang sakit kalian dengan sedekah dan sambutlah badai bencana dengan do’a dan tadharru’”(HR Abu Dawud dalam al Maraasil)
Kedua; Menggunakan harta benda kita untuk kepentingan perjuangan menghidupkan dan mengembangkan agama Allah, membantu orang lemah secara ekonomi, orang yang sedang ditimpa kesulitan, menyantuni janda miskin, anak-anak yatim, menyambung sanak kerabat dan lain sebagainya.
[Seorang lelaki kaya raya pernah mendatangi Rasulullah Saw. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang saya lakukan, bagaimanakah caranya membelanjakan harta benda ini!?” Rasulullah Saw bersabda: “Kamu mengelaurkan zakatnya…, kamu pergunakan menyambung sanak kerabat, kamu mengerti hak orang miskin, hak tetangga dan hak orang yang meminta-minta” (HR Ahmad)
Semua hal ini perlu dilakukan karena Rasulullah Saw menyatakan:
إِنَّ فِى الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Selain zakat, sesungguh dalam harta benda ada hak (yang harus dikeluarkan)” (HR Turmudzi/lihat Faidhul Qadir no:2333)
Allahu Akbar3x, ma’asyiral muslimin hafizhakumullah
Sebagai orang berilmu, berkuasa atau berharta, apabila  bisa menggunakan semua anugerah dan Allah ini demi menolong, membantu kesulitan orang lain dan untuk menyenangkan orang lain maka insya Allah kita termasuk orang-orang yang mendapatkan jaminan pertolongan dari Allah: “Allah selalu menolong seorang hamba selama hamba mau menolong saudaranya” (Muttafaq alaih)
Juga jaminan keamanan dari segala siksaan sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ للهِ خَلْقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ فىِ حَوَائِجِهِمْ أُولَئِكَ اْلآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ
“Sesungguhnya Allah Memiliki makhluk yang Dia Menciptakan mereka untuk kepentingan hajat manusia; apabila membutuhkan maka manusia meminta bantuan kepada mereka. Merekalah orang-orang yang aman sentosa dari azab Allah” (HR Thabarani)
Sebaliknya orang-orang yang diberikan oleh Allah keluasan ilmu, kekuasaan dan  harta benda ketika mereka merasa enggan memberikan bimbingan, merasa bosan memberikan pelayanan, ogah dimintai partisipasi dan bantuan  maka mereka berada dalam bahaya dicabutnya nikmat tersebut dari tangan mereka. Rasulullah Saw memberikan peringatan:
إِنَّ للهِ عِنْدَ أَقْوَامٍ نِعَمًا أَقَرَّهَا عِنْدَهُمْ مَا كَانُوْا فِى حَوَائِجِ الْمُسْلِمِيْنَ مَالـَمْ يَمَلُّوْهُمْ فَإِذَا مَلُّوْهُمْ نَقَلَهَا إِلَى غَيْرِهِمْ
“Sesungguhnya Allah memiliki sekian banyak nikmat yang diletakkan olehNya pada suatu kaum selama mereka berada (dan mau membantu) kebutuhan kaum muslimin, selama mereka tidak merasa bosan. (akan tetapi jika kemudian) mereka merasa bosan, niscaya Allah akan Memindahkan nikmat-nikmat tersebut kepada orang selain mereka” (HR Thabarani)
Allahu Akbar3x, ma’asyiral muslimin hafizhakumullah
Puasa sebagai amal yang juga mengajarkan dan melatih keikhlasan, maka upaya pengabdian dan  mendarma baktikan ilmu pengetahuan, jabatan dan kekayaan kepada sesama manusia, juga semestinya dilandasi oleh hati yang tulus tanpa pamrih, tidak berharap ada balasan, dan juga bukan karena membalas jasa kebaikan orang lain. Semua harus dilakukan semata-mata mencari keridhoan Allah. Dengan demikian, kita akan mendapatkan pahala yang sangat memuaskan dari Allah Swt sebagaimana puasa yang secara khusus Allah sendiri yang akan memberikan pahalaNya, sehingga kita pun berbahagia karenanya. Allah berfirman:
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِى يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى. وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزَى .إِلاَّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى. وَلَسَوْفَ يَرْضَى
“Dan kelak orang yang paling bertaqwa akan dijauhkan darinya (neraka); yaitu orang yang Memberikan hartanya untuk membersihkannya, padahal tak ada seorang pun yang memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, (tetapi ia memberikan itu semua) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi, dan kelak ia akan benar-benar mendapatkan kepuasan”  (QS Al Lail:17-21)
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ صِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَصَالِحَ أَعْمَالِنَا . أَللَّهُمَّ سَلِّمْنَا لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لَنَا وَتَسَلَّمْهُ مِنَّا مُتَقَبَّلاً  أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ .


Khutbah Kedua
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر . الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر . الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا. الحمد لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا ان هدانا الله. اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم. اما بعد : معاشر المسلمين، اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون. قال الله تبارك وتعالى: قد افلح من تزكى وذكر اسم ربه فصلى. وقال عز من قائل: ان الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين وارحمنا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِميْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
"Ya Allah, berikanlah ampunan kepada muslimin dan muslimat, mu'minin dan mu'minat; yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
أَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَـنَا مِنْ خَشْيَتِك مَا تَحُوْلُ بَيْنَـنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُـنَا بِهِ جَنَّـتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْـنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا وَمَتِّعْـنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا أَبَدًا مَا أَحْيَيْتَـنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَـتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, berikanlah bagian dari rasa takut kepadaMu, batas yang menghalangi antara kami dan maksiat-maksiat kepadaMu. Dan berikanlah dari ketaatan kepadaMu, sesuatu yang membawa kami sampai di surgamu. Dan berikanlah dari keyakinan, sesuatu yang bisa membuat kami merasa ringan dalam menghadapi musibah-musibah dunia.
Biarkanlah kami merasa nyaman menikmati pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama-lamanya, selama Engkau memberikan kehidupan kepada kami. Jadikanlah semuanya langgeng hingga detik kematian kami.
Jadikanlah tindakan menuntut balas kami hanya kepada orang-orang yang telah berbuat kezhaliman kepada kami. Berikanlah pertolongan agar kami bisa mengalahkan orang-orang yang memusuhi.Jangan biarkan bencana menimpa agama kami. Jangan jadikan dunia sebagai prioritas keinginan dan puncak pencapaian ilmu kami. Dan jangan karena dosa-dosa kami lantas Engkau menguasakan kami kepada para pemimpin yang tidak memiliki belas kasihan kepada kami.
أَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّـنَا مِنَ الظُّلمَاتِ إِلَى النُّـوْرِ وَجَنِّبْـنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ . أَللَّهُمَّ بَارِكْ لَـنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا  وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَاجْعَلْـنَا شَاكِرِيْنَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِيْنَ بِهَا عَلَيْكَ قَابِلِيْهَا وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا .أَللَّهُمَّ زِدْنَا وَلاَ تَنْقُصْنَا  وَأَكْرِمْنَا وَلاَ تُهِنَّا   وَأَعْطِنَا وَلاَ تَحْرِمْنَا   وَآثِرْنَا وَلاَ تُوْثِرْ عَلَيْنَا   وَأَرْضِنَا وَارْضَ عَنَّا
Ya Allah, damaikanlah semua pihak yang berseteru di antara kami. Pertautkanlah  hati sesama kami. Tunjukkan kami jalan yang benar. Selamatkan kami dari kegelapan menuju cahaya. Jauhkanlah kami dari segala jenis keburukan; yang menampak jelas maupun yang terselubung. Ya Allah, berikanlah berkah dalam pendengaran, penglihatan, hati, isteri-isteri dan anak keturunan kami. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami orang-orang yang menerima, bersyukur dan memuji atas nikmatMu. Sempurnakanlah semua nikmat itu untuk kami
Ya Allah, berikanlah tambahan kepada kami, jangan pernah mengurangi. Muliakanlah kami, jangan menghinakan kami. Teruslah Engkau memberi dan jangan pernah menghentikan pemberian itu dari kami. Jadikan kami sebagai orang yang terpilih, jangan jadikan kami sebagai orang yang tersisih. Jadikanlah hati kami ridho atas segala keputusanMu dan ridhoilah kami semua.
أَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ صِحَّةً فِى إِيْمَانٍ وَإِيْمَانًا فِى حُسْنِ خُلُقٍ وَنَجَاحًا يَتْبَعُهُ فَلاَحٌ وَرَحْمَةً مِنْكَ وَعَافِيَةً وَمَغْفِرَةً مِنْكَ وَرِضْوَانًا
Ya Allah, sungguh kami senantiasa memohon kepadaMu sehat dalam Iman dan keimanan yang mengaplikasikan akhlak mulia. Kami memohon kepadaMu kesuksesan yang berbuah keberuntungan, kasih sayang, permaafan, ampunan dan keridhoan dariMu.
ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار.عباد الله ! ان الله يأمركم بالعدل والاحسان وايتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر، ولذكر الله أكبر .
sumber: http://www.nurulharomain.org