Sabtu, 31 Mei 2014

Madza fi Sya’ban: Do’a di Bulan Sya’ban

  seri 13

sya'ban

Malan Nishfu Sya’ban, atau bahkan keseluruhan Sya’ban adalah momen agung dan tempat mulia untuk bersegera menuju kebaikan dengan segala macamnya, berlomba – lomba dalam mengambil sebab – sebabnya dari seluruh pintunya. Sya’ban merupakan masa utama penuh berkah – dan begitu pula setiap masa utama yang lain yang juga penuh berkah – yang seyogyanya seorang muslim memperbanyak amalan kebaikan di dalamnya.

Do’a adalah salah satu pintu terbesar untuk keluar dari kesusahan. Ia adalah kunci kebutuhan, tempat berhibur mereka yang tertimpa kesedihan, tempat mengungsi mereka yang sedang dalam kondisi memprihatinkan dan ia merupakan tempat bernafas mereka yang terhimpit aneka ragam kebutuhan. Karena itulah Allah ta’aalaa memerintahkan: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batasQS al A’raf : 55.Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”QS Ghafir / al Mu’min: 60.


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberikan kabar gembira seseorang yang mendapat ilham / petunjuk untuk berdo’a sebagai termasuk orang – orang  yang mendapat belas kasihNa:
مَنْ فُتِحَ لَهُ مِنْكُمْ بَابُ الدُّعَاءِ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَمَا سُئِلَ اللهُ شَيْئًا – يَعْنِي أَحَبَّ إِلَيْهِ – مِنْ أَنْ يُسْأَلَ الْعَافِيَةَ
Barang siapa yang pintu do’a terbuka untuknya berarti terbukalah pintu rahmat baginya. Dan Allah tidak dimintai sesuatu – yang lebih Dia sukai – daripada ia dimintai Afiyah” (HR Turmudzi – Hakim)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga memberikan kabar gembira bahwa orang yang berdo’a mendapat penjagaan Allah dan memperoleh pengamanan khusus di mana hal itu laksana sebuah senjata baginya untuk memerangi musuh – musuh demi membela diri. Beliau bersabda:
الدُّعَاءُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ
Do’a adalah senjata orang beriman, tiang agama dan cahaya langit dan bumi”(HR Hakim, ia berkata: Hadits ini sanadnya shahih)

 لاَ تَعْجِـزُوْا فِى الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَنْ يَهْلِكَ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ
Jangan merasa lemah dalam berdo’a karena sesungguhnya seseorang tidak akan pernah hancur jika bersama do’a” (HR Ibnu Hibban)

 أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يُنْجِيْكُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَيُدِرُّ لَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ؟ تَدْعُوْنَ الله فِى لَيْلِكُمْ وَنَهَارِكُمْ فَإِنَّ الدَُعَاءَ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ
Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang menyelamatkan kalian dari musuh, dan melancarkan rizki kalian? Kalian berdo’alah kepada Allah pada siang dan malam kalian karena sesungguhnya do’a adalah senjata orang beriman”(HR Abu Ya’la)

Beliau shallallahu alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada orang yang berdo’a bahwa do’anya dikabulkan, penghadapannya kepada Allah diterima. Beliau bersabda:
إِنَّ الله حَيِّيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
Sesungguhnya Allah Dzat Maha Pemalu Maha Pemurah. Dia malu jika seseorang mengangkat tangan kepadaNya untuk mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong dan rugi keduanya”(HR Abu Dawud Turmudzi Ibnu Majah Ibnu Hibban Hakim)

إِنَّ اللهَ رَحِيْمٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ ثُمَّ لاَ يَضَعُ فِيْهِمَا خَيْرًا
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih Maha Pemurah, Dia malu kepada hambaNya yang mengangkat kedua tangan kepadaNya kemudian Dia tidak meletakkan kebaikan di kedua tangan itu”(HR Hakim)

Rasululllah shallallahu alaihi wasallam juga menjelaskan cara mendapatkan pengkabulan tersebut dan bahwa pengkabulan itu seluruhnya baik bagi orang yang berdo’a yang akan didapatkannya secara langsung atau dalam rentang waktu. Jadi seluruh kondisi orang yang berdo’a itu baik; ia mengerti atau tidak mengerti. Beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ بِدَعْـوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ الله إِحْـدَى ثَلاَثٍ : إِمَّا أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ بِدَعْـوَتِهِ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِـرَهَا لَهُ فِى الْلآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّـوْءِ مِثْلِهَا , قَالُوْا : إِذًا نُكْثِرُ , قَالَ : ألله أَكْثَرُ
Tiada seorang muslim yang berdo’a yang di dalamnya tidak ada dosa dan tidak ada pemutusan kerabat kecuali Allah memberinya salah satu tiga; 1)segera memberikan permintaannya, 2) menyimpan untuknya di akhirat, dan 3) ada kalanya memalingkan keburukan darinya yang sepadan do’a itu” para sahabat bertanya: “Kalau begitu kami memperbanyak” Beliau bersabda: “Allah lebih banyak” (HR Ahmad Bazzar Abu Ya’la dengan sanad jayyid Hakim)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa  do’a bisa menahan serangan bencana yang menggerogoti serta meringankan takdir Allah dengan takdir Allah. Beliau bersabda: Kewaspadaan tidak bisa menyelamatkan dari takdir. Sedang Do’a bermanfaat  dari sesuatu yang telah terjadi dan sesuatu yang belum terjadi. Sungguh bencana pasti akan turun, kemudian disambut oleh Do’a. Mereka kemudian  saling beradu sampai hari kiamat “ (HR Bazzar Thabarani Hakim). Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ
“ Qodho tidak bisa dicegah kecuali oleh do’a dan tidak menambah umur kecuali kebaikan “ (HR Turmudzi) 

Beliau shallallahu alaihi wasallam memberikan bimbingan bahwa jalan menuju pengkabulan do’a adalah terus menerus (Istimrar) dalam meminta dan senantiasa memohon kepada Allah dalam setiap waktu. Beliau bersabda:
مَنْ سَـرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ الله لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الدُّعَاءِ فِى الرَّخَاءِ
“Barang siapa yang senang dikabulkan Allah ketika dalam kesusahan maka hendaknya ia memperbanyak do’a dalam waktu senang”(HR Turmudzi Hakim)

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ فِى الرَّخَاءِ
Tiada sesuatu yang lebih mulian bagi Allah melebihi do’a di waktu senang”(HRTurmudzi Ibnu Majah Ibnu Hibban Hakim)

Hadits – hadits di atas dan lain – lainnya menunjukkan bahwa do’a merupakan salah satu sebab terkuat guna menolak hal yang tidak menyenangkan. Do’a adalah musuh bencana, ia menolak dan mengatasi bencana , menghalangi turunnya bencana dan menghilangkannya, atau meringankan bencana jika terlanjur turun seperti disebutkan dalam hadits terdahulu yang memberikan faedah adanya tiga kondisi terkait posisi do’a dan bencana;

Pertama :
do’a lebih kuat dari bencana. Dalam kondisi ini do’a bisa menolak bencana.


Kedua :                    
do’a lebih lemah dari bencana dan bencana lebih kuat darinya sehingga seorang hamba akhirnya tertimpa bencana tetapi do’a masih bisa meringankan bencana tersebut meski  lemah.


Ketiga :
do’a dan bencana seimbang sehingga satu sama lain saling menolak. 


Kendati demikian terkadang pengaruh do’a terlambat karena ia lemah sebab statusnya sebagai do’a yang tidak disukai Allah karena di dalamnya ada unsur permusuhan, atau sebab kelemahan hati (orang yang berdo’a) dan ketiadaan konsentrasinya menghadap kepada Allah ketika  berdo’a. Dalam keadaan seperti ini do’a laksana busur yang sangat lembek sehingga  anak panah yang meluncur darinya pun lemah, atau karena ada penghalang  bagi  do’a itu untuk dikabulkan yang berupa memakan yang haram, dosa – dosa yang berkarat dalam hati serta kelupaan, syahwat dan kesenangan yang menguasainya sebagaiman dalam Mustadrak Imam Hakim dari Abu Hurairah ra dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
أُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ . وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
                                 “Berdo’alah kalian kepada Alloh seraya meyakini pasti dikabulkan. Dan mengertilah                                        bahwa Alloh tidak menerima do’a dari orang yang hatinya lalai dan lupa “

Jadi do’a adalah obat mujarab penghilang bencana, akan tetapi hati yang melupakan Allah melemahkan kekuatannya seperti halnya makanan haram yang juga menghilangkan dan melemahkan kekuatannya seperti hadits dari Abu Hurairah ra. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Dzat yang bagus tidak menerima kecuali yang bagus dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang – orang beriman dengan apa yang diperintahkanNya kepada para utusan, Dia pun berfirman, “Wahai para utusan, makanlah kalian dari yang bagus dan kerjakanlah yang shaleh karena sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang kalian kerjakan”(al Mu’minun : 51)dan Dia berfirman, “Hai orang – orang yang beriman makanlah dari sesuatu – sesuatu yang bagus yang telah Aku karuniakan kepada kalian”(al Baqarah : 172)” kemudian Dia menyebutkan seseorang yang jauh melakukan perjalanan dengan rambut awut – awutan dan tubuh berlepotan debu yang menjulurkan kedua tangannya ke langit, “Ya Tuhan, ya Tuhan” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dibesarkan dengan makanan haram maka bagaimana mungkin ia dikabulkan?” (HR Muslim)

Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan (dalam Kitabuz Zuhdi. Milik ayahnya):
Bani Isra’il tertimpa bencana. Mereka lalu keluar menuju sebuah tempat. Allah kemudian mewahyukan kepada nabiNya; “Kabarkan bahwa mereka keluar ke tempat rata (Sh’aid) dengan tubuh – tubuh yang najis. Mereka menjulurkan kepadaKu  telapak – telapak tangan yang telah digunakan mengalirkan darah. Dengan telapak – telapak tangan itu pula mereka memenuhi rumah mereka dengan yang haram. Sekarang ketika kemarahanKu menjadi sangat kepada kalian maka kalian tidak bertambah dariKu kecuali semakin jauh”.
Abu Dzar ra berkata: [Cukup do’a bersama kebaikan sebanding dengan garam bersama makanan][1]

Do’a Nishfu Sya’ban

Tidak ada do’a tertentu secara khusus dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait malam Nishfu Sya’ban seperti halnya tidak ada shalat tertentu yang secara khusus dalam malam Nishfu Sya’ban. Yang ada hanyalah dorongan agar malam itu dihidupkan secara mutlak dengan do’a dan ibadah. Karena itu barang siapa membaca, berdo’a, shalat, sedekah atau melakukan amal apa saja yang bisa dilakukannya dari berbagai macam amalan ibadah berarti ia telah menghidupkan malam itu dan insya Allah mendapatkan pahala atas semuanya.

Aisyah ra menceritakan kisah yang cukup panjang:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke bilikku. Beliau kemudian melepas kedua bajunya tetapi belum sempat selesai, Beliau lalu memakainya kembali. Aku pun merasa cemburu dan menyangka Beliau pergi ke bilik salah satu isteri yang lain. Aku lalu keluar mengikutinya dan ternyata Beliau berada di Baqi, Baqi’ al Gharqad guna memohon ampunan bagi para lelaki dan para wanita beriman serta para syuhada’. Aku lalu berkata[2]: “Demi ayah dan ibuku, engkau berada dalam kebutuhan Tuhanmu sedang aku berada dalam kebutuhan dunia” aku lalu berpaling dan kembali ke bilikku dengan suara desahan nafas yang keras. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyusulku dan bertanya, “Kenapa nafasmu seperti ini wahai Aisyah?”  aku menjawab: “Demi ayah dan ibuku, engkau datang kepadaku, melepas kedua baju kemudian tidak lama engkau bangkit dan memakainya kembali. Saya merasa sangat cemburu dan menyangka engkau datang kepada salah seorang isterimu. Sampai akhirnya saya melihat engkau berada di Baqi’ dan melakukan apa yang engkau lakukan” Beliau lalu bersabda: “Wahai Aisyah, apakah engkau khawatir Allah dan RasulNya meninggalkanmu? Jibril alaihissalam datang kepadaku dan mengatakan: “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya Allah memiliki banyak orang yang terbebaskan dari neraka sebanyak bulu kambing suku Kalb, di malam ini Allah tidak melihat orang musyrik, tidak kepada musyahin, tidak kepada orang yang menjutaikan pakaian, tidak kepada orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan tidak kepada orang yang kecanduan arak.”

Beliau kemudian melepas kedua pakaiannya dan lalu bersabda kepadaku, “Wahai Aisyah, apakah kamu memberiku izin untuk ber qiyam pada malam ini?” aku menjawab: “Ia, demi ayah dan ibuku”. Beliau lalu bangkit melakukan shalat dan bersujud lama sampai aku mengira Beliau telah tiada. Aku bangkit dan menaruh tanganku pada kedua telapak kakinya dan ternyata masih bergerak. Aku pun senang dan lalu mendengar dalam sujud itu Beliau mengucapkan:
أَعُوْذُ بِعَفْـوِكَ مِنْ عِقَابِكَ وَأَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Saya memohon perlindungan dengan maafMu dari siksaanMu. Saya berlindung dengan ridhoMu dari kemarahanMu. Saya berlindung denganMu dariMu Maha agung DzatMu. Saya tidak bisa menghitung pujian atasMu seperti Engkau memuji diriMu”

Pagi harinya aku menyebutkan bacaan tersebut di hadapan Beliau, dan Beliau bersabda: “Wahai Aisyah, pelajarilah bacaan tersebut!”  “Ia” jawabku. Beliau bersabda: “Pelajarilah dan ajarkanlah! karena Jibril alaihissalam mengajarkannya kepadaku dan memerintahkan agar aku mengulang – ulangnya dalam sujud ”  (Dalam Targhib disebutkan: Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi)

Dalam riwayat lain disebutkan pula dari Aisyah ra:
Kebetulan malam Nishfu Sya’ban adalah malamku, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada bersamaku. Ketika tengah malam aku kehilangan Beliau. Rasa cemburu sebagai wanita pun menghinggapiku. Akhirnya dengan menutup wajah akupun keluar mencari Beliau di bilik para isterinya. Aku tidak menemukan sehingga akupun kembali ke bilikku dan ternyata aku mendapatkan Beliau shallallahu alaihi wasallam seperti halnya baju yang tercampakkan dan dalam sujud itu Beliau mengucapkan:
سَجَدَ لَكَ خَيَالِي وَسَـوَادِي وَآمَنَ بِكَ فُؤَادِي فَهَذِهِ يَدِي وَمَا جَنَيْتُ بِهَا عَلَى نَفْسِي يَا عَظِيْمُ يُرْجَى لِكُلِّ عَظِيْمٍ يَا عَظِيْمُ اغْفِرْ الذَّنْبَ الْعَظِيْمَ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ
Khayalan dan hatikuku bersujud kepadaMu, hatiku beriman denganMu, maka inilah tangan yang saya pergunakan bertindak jinayah terhadap diriku sendiri. Duhai Dzat Maha Agung yang diharapkan untuk (mengampuni) dosa yang agung. Wahai Dzat Maha Agung, ampunilah dosa yang agung. Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakan serta merobek pendengaran dan matanya”

Beliau lalu bangkit mengangkat kepala dan lalu bersujud lagi dan berucap:
أَعُوْذُ بِعَفْـوِكَ مِنْ عِقَابِكَ وَأَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ أَقُوْلُ كَمَا قَالَ أَخِي دَاوُدُ: أَعْفِرُ وَجْهِي فِى التُّرَابِ لِسَيِّدِي وَحَقَّ لَهُ أَنْ يَسْجُدَ
Saya memohon perlindungan dengan maafMu dari siksaanMu. Saya berlindung dengan ridhoMu dari kemarahanMu. Saya berlindung denganMu dariMu Maha agung DzatMu. Saya tidak bisa menghitung pujian atasMu seperti Engkau memuji diriMu. Saya berkata seperti saudaraku Dawud berkata, “Saya membenamkan wajahku dalam tanah demi Tuhanku dan memang ia berhak untuk bersujud”

Beliau lalu mengangkat kepala dan berdo’a:
أَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي قَلْباً نَقِيًّا مِنَ الشِّرْكِ نَقِيًّا لاَحَافِيًا وَلاَ شَقِيًّا
Ya Allah, karuniakanlah kepadaku hati yang bersih dari syirik bersih tidak cerewet (banyak bertanya) juga bukan celaka”

Setelah itu Beliau masuk dalam selimut bersamaku, sementara desahan nafasku begitu keras sehingga Beliau bertanya, “Ada apa dengan desahan nafas ini wahai Humaira’?” akupun menceritakan kepada Beliau dan Beliau lalu mengusap lututku seraya bersabda: “Celakalah dua lutut ini, apa yang ditemukannya pada malam ini, ini adalah malam Nishfu Sya’ban yang di dalamnya Allah turun ke langit dunia dan memberikan ampunan kepada para hambaNya kecuali orang musyrik dan musyahin” (Kedua hadits di atas adalah dha’if)
Masih dari Aisyah ra. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bangun di malam hari. Beliau pun shalat dan memperpanjang sujud hingga aku menduga Beliau telah tiada. Melihat hal itu aku bangkit dan menggerakkan jari jempolnya dan ternyata bergerak. Aku lalu kembali dan mendengar Beliau shallallahu alaihi wasallam dalam sujud mengucapkan:
 أَعُوْذُ بِعَفْـوِكَ مِنْ عِقَابِكَ وَأَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Saya memohon perlindungan dengan maafMu dari siksaanMu. Saya berlindung dengan ridhoMu dari kemarahanMu. Saya berlindung denganMu dariMu Maha agung DzatMu. Saya tidak bisa menghitung pujian atasMu seperti Engkau memuji diriMu

Ketika Beliau bangun dari sujud dan menyelesaikan shalatnya maka Beliau bersabda: “Wahai Aisyah – atau Ya Humaira’ – apakah kamu menyangka sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam menipumu?” aku menjawab: “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, tetapi saya menyangka engkau telah tiada karena sujudmu yang lama” 

Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kamu malam apakah ini?” aku menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui “ Beliau bersabda: “Ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah azza wajalla melihat kepada para hambaNya pada malam Nishfu Sya’ban dan lalu memberikan ampunan orang-orang yang memberikan ampunan dan mengasihi orang-orang yang memohon kasih sayang sementara Dia mengakhirkan pemilik kedengkian..” (HR Baihaqi dari jalur Ala’ bin Harits dari Aisyah ra) Imam Baihaqi berkata: Ini hadits Mursal Jayyid karena Ala’ tidak pernah mendengar dari Aisyah ra.
Dikatakan: Khoosa bihi , ketika ia mengkhianatinya dan tidak memenuhi haknya. Maksud hadits di atas adalah: “Apakah kamu menyangka aku menipumu dan pergi pada malammu kepada selainmu?”[3].

Do’a Masyhur dan Mujarab

Ada berlaku kebiasaan membaca do’a ini secara tertib bersama dengan surat Yasin. Do’a yang dimaksud adalah:
أَللَّهُمَّ يَاذَالْمَـنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْـرَامِ يَا ذَالطَّوْلِ وَاْلإِنْعَامِ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِئِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأَمْنَ الْخَائِفِيْنَ . أَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْـتَنِي عِنْدَكَ (فِى أُمِّ الْكِتَابِ) شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَـتَّرًا عَلَيَّ فِى الرِّزْقِ فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِيْ وَإِقْتَـارِ رِزْقِي وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِى أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّـقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِى كِتَابِكَ الْمُنْـزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ : (( يَمْحُو الله مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ)) إِلَهِي بِالتَّجَلِّي اْلأَعْظَمِ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ الَّتِي يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْـرٍ حَكِيْمٍ وَيُبْرَمُ أَسْأَلُكَ أَنْ تَكْشِفَ عَـنَّا مِنَ الْبَلاَءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لاَ نَعْلَمُ وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ اْلأَعَـزُّ اْلأَكْرَمُ
Ya Allah Dzat pemilik anugerah dan tidak diberikan anugerah atasNya. Wahai Dzat Maha Agung Maha Mulia. Wahai Dzat pemilik anugerah dan pemberi nikmat. Tiada Tuhan selainMu, Engkau tempay bersandar orang-orang yang mengungsi, tempat mencari selamat orang-orang yang mencari selamat, dan  tempat aman bagi orang-orang yang ketakutan. Jika Engkau telah menulisku di sisiMu (dalam Ummul Kitab) sebagai orang yang celaka atau terhalang, terusir atau disedikitkan rizki maka hapuslah, Ya Allah dengan anugerahMu, kecelakaanku, keterhalanganku, keterusiranku dan sedikitnya rizkiku serta tetapkanlahku di sisiMu dalam Ummul Kitab sebagai orang yang beruntung, diberikan rizki dan diberikan pertolongan menuju kebaikan karena sesungguhnya Engkau berfirman dan firmanMu itu hak dalam kitabMu yang diturunkan atas lisan NabiMu yang terutus, “Allah Menghapus apa yang Dia kehendaki dan Menetapkan dan di sisiNyalah Ummul Kitab”QS Ar Ra’ad : 39. Ya Tuhanku, dengan Tajalli (menampak) A’zham di malam Nishfu Sya’ban yang mulia yang di dalamnya diputuskan segala urusan yang kokoh dan dipastikan, saya memohon kepadaMu agar Engkau menyingkap dariku bencana yang ku ketahui dan yang tidak ku ketahui dan apa yang Engkau lebih mengetahui, sesungguhnya Engkau lebih mulia lebih agung. Washallallahu ala sayyidinaa Muhammad wa alaa aalihii washahbihi wasallam.

Aku (Abuya) berkata: Ungkapan, “Jika Engkau telah menulisku di sisiMu…”  jika ditahqiq dan diteliti maka itulah yang benar karena kebanyakan dalam kitab-kitab yang ada menambahkan kata, “Dalam Ummul Kitab”, ini jelas salah dan mungkin juga kesalahan dari penulis, karena apa yang di Ummul Kitab tidak bisa dihapus atau ditetapkan sebagaimana firmanNya, “Allah Menghapus apa yang Dia kehendaki dan Menetapkan. dan di sisiNyalah Ummul Kitab” masalah ini telah aku konsultasikan kepada para guruku dari para imam ahli hadits dan semuanya membenarkanku.

Beberapa poin dari do’a di atas ada yang warid dari Abdullah bin Mas’ud ra seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, Ibnu Abi Dun’ya dalam Ad Du’a. Ibnu Mas’ud berkata: Seorang hamba tidak berdo’a dengan do’a-do’a ini kecuali Allah meluaskan penghidupannya. Do’a itu ialah:
أَللَّهُمَّ يَاذَالْمَـنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْـرَامِ يَا ذَالطَّوْلِ وَاْلإِنْعَامِ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِئِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأَمْنَ الْخَائِفِيْنَ . أَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْـتَنِي عِنْدَكَ (فِى أُمِّ الْكِتَابِ) شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَـتَّرًا عَلَيَّ فِى الرِّزْقِ فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِيْ وَإِقْتَـارِ رِزْقِي وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِى أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّـقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِى كِتَابِكَ الْمُنْـزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ : (( يَمْحُو الله مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ))
Ya Allah Dzat pemilik anugerah dan tidak diberikan anugerah atasNya. Wahai Dzat Maha Agung Maha Mulia. Wahai Dzat pemilik anugerah dan pemberi nikmat. Tiada Tuhan selainMu, Engkau tempay bersandar orang-orang yang mengungsi, tempat mencari selamat orang-orang yang mencari selamat, dan  tempat aman bagi orang-orang yang ketakutan. Jika Engkau telah menulisku di sisiMu (dalam Ummul Kitab) sebagai orang yang celaka atau terhalang, terusir atau disedikitkan rizki maka hapuslah, Ya Allah dengan anugerahMu, kecelakaanku, keterhalanganku, keterusiranku dan sedikitnya rizkiku serta tetapkanlahku di sisiMu dalam Ummul Kitab sebagai orang yang beruntung, diberikan rizki dan diberikan pertolongan menuju kebaikan karena sesungguhnya Engkau berfirman dan firmanMu itu hak dalam kitabMu yang diturunkan atas lisan NabiMu yang terutus, “Allah Menghapus apa yang Dia kehendaki dan Menetapkan dan di sisiNyalah Ummul Kitab”QS Ar Ra’ad : 39

Do’a-do’a Ma’tsur dari Salaf

Ada pula do’a-do’a yang ma’tsur (dinukil) dari Salaf radhiyallahu anhum) yang memang bukan khusus untuk malam Nishfu Sya’ban, akan tetapi sebagian ahli makrifat menganggap bagus bila do’a tersebut dibaca pada malam ini (Nishfu Sya’ban) bahkan pada setiap malam jika memungkinkan sesuai kadar kemampuan. Di antara do’a-do’a tersebut adalah do’a Lailatul Qodr dan layak dibaca pada malam Nishfu Sya’ban sebagai malam paling utama setelah Lailatul Qodr:
أَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُـوٌّ تُحِبُّ الْعَفْـوَ فَاعْفُ عَنِّي أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْـوَ وَالْعَافِيَةَ وَالْمُعَافَاةَ الدَّائِمَةَ فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Pemurah, Engkau suka memaafkan maka maafkanlah saya. Ya Allah, sesungguhnya saya memohon maaf, afiyah dan keselamatan agama dan  dunia serta akhirat”

Do’a Nabi Adam alaihissalam

Di antara do’a yang utama dibaca adalah yang diriwayatkan oleh segolongan ahli hadits dengan sanad yang tidak bermasalah dari Abu Barzah ra. Ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: [Ketika diturunkan ke bumi, Nabi Adam berthawaf selama seminggu dan shalat di belakang Maqam dua rakaat. Selanjutnya Beliau berdo’a:
أَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سِـرِّيْ وَعَلاَنِيَّتِي فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِي . وَتَعْلَمُ حَاجَتِي فَأَعْطِنِي سُـؤْلِي وَتَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِي ذَنْبِي . أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي وَيَقِيْنًا صَادِقًا حَتَّي أَعْلَمَ أَنَّهُ لاَ يُصِيْبُنِي إِلاَّ مَا كَتَبْتَ لِي وَرَضِّـنِي بِقَضَائِكَ
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui dalam dan luarku maka terimalah alasanku. Engkau mengetahui kebutuhanku maka berikanlah permintaanku. Engkau mengerti apa yang ada dalam diriku maka ampunilah dosaku. Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepadaMu iman yang melekat dengan hatiku, keyakinan yang sungguh-sungguh sehingga saya mengerti bahwa tidak menimpaku kecuali sesuatu yang Engkau tulis untukku dan relakanlah daku akan keputusanMu”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melanjutkan:

فَأَوْحَي اللهُ إِلَيْهِ : يَا آدَمُ إِنَّكَ دَعَوْتَنِي بِدُعَاءٍ فَاسْتَجَبْتُ لَكَ فِيْهِ , وَلَنْ يَدْعُوَنِي بِهِ أَحَدٌ مِنْ ذُرِّيَـتِكَ مِنْ بَعْدِكَ إِلاَّ اسْتَجَبْتُ لَهُ وَغَفَرْتُ لَهُ ذَنْـبَهُ وَفَرَّجْتُ هَمَّهُ وَغَمَّهُ وَاتَّجَرْتُ لَهُ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تَاجِرٍ وَأَتَـتْهُ الدُّنْيَا رَاغِمَةً وَإِنْ كَانَ لاَ يُرِيْدُهَا
 ”Allah lalu mewahyukan kepada Adam; ”Wahai Adam, sesungguhnya kamu telah memohon kepadaKu dengan permohonan maka Aku mengabulkan permohonanmu. Dan tiada seorang dari keturunanmu yang berdo’a dengan do’a itu setelahmu kecuali Aku pasti mengabulkannya, mengampuni dosanya, menghilangkan kesusahannya dan aku berdagang untuknya dari belakang setiap pedagang, dan akan datang kepadanya dunia secara memaksa meski ia tidak menginginkannya”

Do’a al Jailani

Do’a ini dinisbatkan kepada Imam Syekh Abdul Qadir al Jailani dan bagus dibaca pada malam ini:
أَللَّهُمَّ إِذْ أَطْلَعْتَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ عَلَى خَلْقِكَ فَعُـدْ عَلَيْـنَا بِمَنِّكَ وَعِتْقِكَ وَقَـدِّرْ لَـنَا مِنْ فَضْلِكَ وَاسِعَ رِزْقِكَ وَاجْعَلْـنَا مِمَّنْ يَقُوْمُ لَكَ فِيْهَا بَعْضَ حَقِّـكَ . أَللَّهُمَّ مَنْ قَضَيْتَ فِيْهَا بِوَفَاتِهِ فَاقْضِ مَعَ ذَلِكَ لَهُ رَحْمَتَكَ وَمَنْ قَدَّرْتَ طُوْلَ حَيَاتِهِ فَاجْعَلْ لَهُ مَعَ ذَلِكَ نِعْمَتَكَ وَبَلِّغْـنَا مَا تَبْلُغُ الآمَالُ إِلَيْهِ يَا خَيْرَ مَنْ وَقَفَتْ الأَقْـدَامُ بَيْنَ يَدَيْهِ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى الله تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ خَلْقِهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Ya Allah, ketika Engkau menampak kepada hambaMu pada bulan sya’ban maka kembalilah kepadaku dengan anugerah dan pembebasanMu, takdirkan untukku keluasan rizki dari anugerahMu dan jadikanlah kami termasuk orang yang memenuhi sebagian hakMu di malam itu. Ya Allab, barang siapa yang di dalamnya Engkau putuskan kewafatannya maka putuskan pula beserta itu kasih sayangMu untuknya. Barang siapa yang Engkau takdirkan panjang hidupnya maka jadikan untuknya nikmatMu beserta hal itu. Sampaikanlah kami pada segala yang digapai oleh cita-cita duhai sebaik-baik Dzat tempat berpijak telapak-telapak kaki di hadapanNya duhai Tuhan semesta alam dengan kasih sayangMu duhai paling pengasih di antara para pengasih. Washallallahu ta’ala ala sayyidina Muhammad sebaik-baik makhlukNya dan atas keluarga serta sahabat seluruhnya.

Do’a al Haddad

Imam Hasan bin Syaikhul Islam Abdullah bin Alawi al Haddad telah mengumpulkan do’a yang berkah ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
أَللّهُمَّ يَاذَالْمَـنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْـرَامِ يَا ذَالطَّوْلِ وَاْلإِنْعَامِ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِئِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأَمْنَ الْخَائِفِيْنَ . أَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْـتَنِي عِنْدَكَ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مُقَـتَّرًا عَلَيَّ فِى الرِّزْقِ فَامْحُ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَتقْتِيْرَ رِزْقِي وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا وَمُوَفَّـقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِى كِتَابِكَ الْمُنْـزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ : (( يَمْحُو الله مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ)) إِلَهِي بِالتَّجَلِّي اْلأَعْظَمِ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ الَّتِي يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْـرٍ حَكِيْمٍ وَيُبْرَمُ اكْشِفْ عَنيِّ  مِنَ الْبَلاَءِ مَا أَعْلَمُ وَاغْفِرْ لِيْ مَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ .
Ya Allah Dzat pemilik anugerah dan tidak diberikan anugerah atasNya. Wahai Dzat Maha Agung Maha Mulia. Wahai Dzat pemilik anugerah dan pemberi nikmat. Tiada Tuhan selainMu, Engkau tempay bersandar orang-orang yang mengungsi, tempat mencari selamat orang-orang yang mencari selamat, dan  tempat aman bagi orang-orang yang ketakutan. Jika Engkau telah menulisku di sisiMu (dalam Ummul Kitab) sebagai orang yang celaka atau terhalang, atau disedikitkan rizki maka hapuslah, Ya Allah dengan anugerahMu, kecelakaanku, keterhalanganku, dan sedikitnya rizkiku serta tetapkanlahku di sisiMu sebagai orang yang beruntung, diberikan rizki dan diberikan pertolongan menuju kebaikan karena sesungguhnya Engkau berfirman dan firmanMu itu hak dalam kitabMu yang diturunkan atas lisan NabiMu yang terutus, “Allah Menghapus apa yang Dia kehendaki dan Menetapkan dan di sisiNyalah Ummul Kitab”QS Ar Ra’ad : 39. Ya Tuhanku, dengan Tajalli (menampak) A’zham di malam Nishfu Sya’ban yang mulia yang di dalamnya diputuskan segala urusan yang kokoh dan dipastikan, singkaplah dariku bencana yang ku ketahui dan ampunkanlah bagiku apa yang Engkau lebih mengetahui.

أَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ أَعْظَمِ عِبَادِكَ حَظًّا وَنَصِيْبًا فِى كُلِّ شَيْءٍ قَسَمْتَهُ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ مِنْ نُوْرٍ تَهْدِيْ بِهِ أَوْ رَحْمَةٍ تَنْشُرُهَا أَوْ رِزْقٍ تَبْسُطُهُ أَوْ فَضْلٍ تَقْسِمُهُ عَلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيْنَ , يَا ألله لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ . أَللَّهُمَّ هَبْ لِي قَلْبًا نَقِيًّا مِنَ الشِّرْكِ بَرِيًّا لاَ كَافِرًا وَلاَ شَقِيًّا  وَقَلْبًا سَلِيْمًا خَاشِعًا ضَارِعًا . أَللَّهُمَّ امْـَلأْ قَلْبِي بِنُوْرِكَ وَأَنْوَارِ مُشَاهَدَتِكَ وَجَمَالِكَ وَكَمَالِكَ وَمَحَّبتِكَ وَعِصْمَتِكَ وَقُدْرَتِكَ وَعِلْمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى الله تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ .
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dari para hambaMu yang paling banyak mendapatkan jatah dan bagian dalam segala sesuatu yang Engkau bagikan pada malam ini berupa cahaya petunjukMu, rahmat yang Engkau sebarkan, rizki yang Engkau lapangkan, anugerah yang Engkau bagi kepada para hambaMu yang beriman, ya Allah tiada Tuhan selain Engkau. Ya Allah, berikanlah kepadaku hati yang bersih yang berlepas dari syirik, tidak kafir juga tidak celaka, dan hati yang selamat, tunduk dan patuh. Ya Allah, penuhilah hatiku dengan cahayaMu, cahaya-cahaya musyahadahMu, keelokanMu, kesempurnaanMu, kecintaanMu, penjagaanMu, kekuasaanMu dan ilmuMu duhai Dzat paling pengasih di antara para pengasih. Washallallahu ta’aalaa ala sayyidinaa Muhammad wa alaa aalihii washahbihi wasallim.

Do’a tersebut adalah yang paling minimal, dan sempurnanya adalah:
 إِلـهِـيْ تَعَرَّضَ إِلَيْكَ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ الْمُتَعَرِّضُوْنَ وَقَصَدَكَ وَأَمَلَ مَعْرُوْفَكَ وَفَضْلَكَ الطَّالِبُوْنَ وَرَغِبَ إِلَى جُوْدِكَ وَكَرَمِكَ الرَّاغِبُوْنَ وَلَكَ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ نَفَحَاتٌ وَعَطَايَا وَجَوَائِزُ وَمَوَاهِبُ وَهِبَاتٌ تَمُنُّ بِهَا عَلَى مَنْ تَشَاءُ مِنْ عِبَادِكَ وَتَخُصُّ بِهَا مَنْ أَحْبَبْـتَهُ مِنْ خَلْقِكَ وَتَمْنَعُ وَتَحْرُمُ مَنْ لَمْ تَسْبَقْ لَهُ الْعِنَايَةُ مِنْكَ فَأَسْأَلُكَ يَا ألله بِأَحَبِّ اْلأَسْمَاءِ إِلَيْكَ وَأَكْرَمِ اْلأَنْبِيَاءِ عَلَيْكَ أَنْ تَجْعَلَنِي مِمَّنْ سَبَقَتْ لَهُ مِنْكَ الْعِنَايَةُ وَاجْعَلْنِي مِنْ أَوْفَرِ عِبَادِكَ وَأَجْزَلِ خَلْقِكَ حَظًّا وَنَصِيْبًا وَقِسْمًا وَهِبَّةُ وَعَطِيَّةً فِى كُلِّ خَيْرٍ تَقْسِمُهُ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ أَوْ فِيْمَا بَعْدَهَا مِنْ نُوْرٍ تَهْدِي بِهِ أَوْ رَحْمَةٍ تَنْشُرُهَا أَوْ رِزْقٍ تَبْسُطُهُ أَوْ ضُـٍّر تَكْشِفُهُ أَوْ ذَنْبٍ تَغْفِرُهُ أَوْ شِدَّةٍ تَدْفَعُهَا أَوْ فِتْنَةٍ تَصْرِفُهَا أَوْ بَلاَءٍ تَرْفَعُهُ أَوْ مُعَافَاةٍ تَمُنُّ بِهَا أَوْ عَدُوٍّ تَكْفِيْهِ فَاكْفِنِي كُلَّ شَـرٍّ وَوَفِّقْنِي اللَّهُمَّ لِمَكَارِمِ اْلأَخْلاَقِ وَارْزُقْنِي الْعَافِيَةً وَالْبَرَكَةَ وَالسَّعَةَ فِى اْلأَرْزَاقِ وَسَلِّمْنِي مِنَ الرِّجْزِ وَالشِّرْكِ وَالنِّفَاقِ
Tuhanku, di malam ini orang-orang menghadap kepadaMu, para pencari menuju dan berharap beroleh kebaikan dan anugerahMu. Para pecinta berharap mendapat kemurahaanMu. BagiMu pada malam ini ada hembusan-hembusan rahmat, pemberian-pemberian, bonus-bonus, anugerah-anugerah, hadiah-hadiah yang Engkau anugerahkan kepada orang yang Engkau kehendaki dari pada hambaMu, yang Engkau khususkan bagi orang yang Engkau cintai dari makhlukMu dan Engkau cegah dan halangi orang yang tidak tercatat sebagai mendapat perhatianMu. Maka saya memohon kepadaMu ya Allah dengan nama-nama yang paling Engkau cukai dan Nabi paling mulia atasmu agar Engkau menjadikanku termasuk yang mendapat perhatianMu sejak semula. Jadikanlah aku termasuk orang yang paling sempurna dari para hambaMu dan paling banyak dari makhlukMu dalam jatah dan bagian, bonus dan pemberian dalam segala sesuatu yang Engkau bagikan pada malam ini atau malam setelah malam ini yang berupa cahaya petunjukMu, rahmat yang Engkau sebarkan, rizki yang Engkau lapangkan, bahaya yang Engkau singkirkan, dosa yang Engkau ampunkan, bencana yang Engkau tolak, fitnah yang Engkau palingkan, bencana yang Engkau hilangkan atau kesembuhan yang Engkau anugerahkan atau musuh yang Engkau mencukupinya (Engkau membelaku darinya. Pent), maka cukupkanlah diriku dari segala keburukan, berikanlah pertolongan kepadaku ya Allah menuju akhlak mulia, berikanlah afiyah, berkah dan keluasan rizki kepadaku dan selamatkanlah diriku dari dos, syirik dan nifak.”

أَللَّهُمَّ إِنَّ لَكَ نَسَمَاتِ لُطْفٍ إِذَا هَبَّتْ عَلَى مَرِيْضِ غَفْلَةٍ شَفَـتْهُ وَإِنَّ لَكَ نَفَحَاتِ عَطْفٍ إِذَا لاَحَظَتْ غَرِيْقًا فِى بَحْرِ ضَلاَلَةٍ أَنْقَذَتْهُ وَإِنَّ لَكَ سَعَادَاتٍ إِذَا أَخَذَتْ بِيَدِ شَقِيٍّ أَسْعَدَتْهُ وَإِنَّ لَكَ لَطَائِفَ كَرَمٍ إِذَا ضَاقَتِ الْحِيْلَةُ لِمُذْنِبٍ وَسِعَتْهُ وَإِنَّ لَكَ فَضَائِلَ وَنِعَمًا إِذَا تَحَوَّلَتْ إِلَى فَاسِدٍ أَصْلَحَتْهُ وَإِنَّ لَكَ نَظَرَاتِ رَحْمَةٍ إِذَا نَظَرْتَ بِهَا إِلَى غَافِلٍ أَيْقَظَـتْهُ , (فَهَبْ لِي اللَّهُمَّ) مِنْ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ نَسَمَةً تَشْفي مَرَضَ غَفْلَتِي وَانْفُحْنِي مِنْ عَطْفِكَ الْوَفِيِّ نَفْحَةً طَيِّـبَةً تَطْلُقُ بِهَا أَسْـرِيْ مِنْ وِثَاقِ شَهْوَتِي وَالْحَظْنِي وَاحْفَظْنِي بِعَيْنِ عِنَايَتِكَ مُلاَحَظَةً تُنْقِذُنِي بِهَا وَتُنْجِيْنِي بِهَا مِنْ بَحْرِ الضَّلاَلَةِ وَآتِنِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ تُبْدِلُنِي بِهَا سَعَادَةً مِنْ شَقَاوَتِي وَاسْمَعْ دُعَائِي وَعَجِّلْ إِجَابَتِي وَاقْضِ حَاجَتِي وَعَافِنِي وَهَبْ لِيْ مِنْ كَرَمِكَ وَجُوْدِكَ الْوَاسِعِ مَا تَرْزُقُنِي بِهِ اْلإِنَابَةَ إِلَيْكَ مَعَ صِدْقِ اللِّجَاءِ وَقَبُوْلِ الدُّعَاءِ وَأَهِّلْنِيْ لِقَرْعِ بَابِكَ لِلدُّعَاءِ يَا جَـوَّادُ حَتَّي يَتَّصِلَ قَلْبِي بِمَا عِنْدَكَ وَتُبَلِّغُنِي بِهَا إِلَى قَصْدِكَ يَا خَيْرَ مَقْصُوْدٍ وَأَكْرَمَ مَعْبُوْدٍ أَبْتَهِلُ وَأَتَضَرَّعُ إِلَيْكَ فِى طَلَبِ مَعُوْنَتِكَ وَأَتَّخِذُكَ يَاإِلـهِي مَفْـزَعًا وَمَلْجَأً أَرْفَعُ إِلَيْكَ حَاجَتِي وَمَطَالِبِي وَشَكْوَايَ وَأُبْدِيْ إِلَيْكَ ضُـِّري وَأُفَوِّضُ إِلَيْكَ أَمْـرِيْ وَمُنَاجَاتِي وَأَعْتَمِدُ عَلَيْكَ فِى جَمِيْعِ أُمُـوْرِي وَحَالاَتِي .
ya Allah, sesungguhnya Engkau bagimu sepoi-sepoi kelembutan yang jika menerpa orang yang sedang sakit lupa maka akan menyembuhkannya. Sesungguhnya bagiMu hembusan kasih sayang yang jika melirik pada orang tenggelam dalam lautan kesesatan maka pasti akan menyelamatkannya. Sesungguhnya Engkau memiliki keberuntungan-keberuntungan yang jika menggandeng tangan orang yang celaka niscaya akan menjadikannya beruntung. Sesungguhnya bagiMu lembut-lembut kemurahan yang jika daya upaya  pendosa telah lemah niscaya akan memuatnya. Sesungguhnya bagiMu ada anugerah-anugerah dan nikmat-nikmat yang jika beralih kepada orang yang rusak niscaya akan menjadikannya kembali baik. Sesungguhnya bagiMu pandangan-pandangan rahmat yang jika Engkau melihat dengannya kepada orang yang lupa niscaya akan membangunkannya. Maka anugerahkanlah kepadaku Ya Allah, dari kelembutan kasih sayangMu, sepoi-sepoi yang akan menyembuhkan sakit lupaku. Hembuskan, dari kasih sayangMu yang sempurna,  kepadaku hembusan yang baik yang bisa membebaskan diriku dari belenggu syahwatku. Liriklah dan jagalah daku dengan pandangan perhatianMu dengan lirikan yang menyelamatkanku dari laut kesesatan. Berikanlah rahmatMu kepadaku di dunia dan akhirat  yang akan menggantikan kecelakaanku dengan keberuntungan. Dengarkankah do’aku. Segerakanlah pengkabulanku. Penuhilah kebutuhanku. Sehatkanlah daku. Anugerahkanlah kepadaku dari kemurahan dan kedermawananMu yang luas sesuatu yang menjadikanMu memberikan rizki taubat kepadaku-  secara serius- serta penerimaan do’a. Jadikanku layak mengetuk pintuMu untuk berdo’a duhai Dzat Maha Pemurah sehingga hatiku bersambung dengan apa yang ada di sisiMu dan menjadikanku sampai kepada tujuanMu. Duhai sebaik-baik yang Dzat yang dituju, paling mulia di antara sesembahan, saya menghadap dan mengadu kepadaMu dalam mencari pertolonganMu. Ya Tuhanku, saya menjadkanMu tempat mengungsi, melaporkan kebutuhan dan tuntutanku, pengaduanku. Saya haturkan kepadaMu kemalanganku. Saya pasrahkan kepadaMu urusan dan munajatku dan saya bersandar kepadaMu dalam segala urusan dan keadaanku”

أَللَّهُمَّ إِنَّ هَذِهِ اللَّيْلَةَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِكَ فَلاَ تَبْلنِي فِيْها وَلاَ بَعْدَهَا بِسُـوْءٍ وَلاَ مَكْرُوْهٍ وَلاَ تُقَدِّرْ عَلَيَّ فِيْهَا مَعْصِيَةً وَلاَ زَلَّةً تُثْبِتُ عَلَيَّ فِيْهَا ذَنْباً وَلاَ تَبْلِنِي فِيْهَا إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ وَلاَ تُـزَيِّنْ لِي جَـرَاءَةً عَلَى مَحَارِمِكَ وَلاَ تَرْكًا لِطَاعَتِكَ وَلاَ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّكَ وَلاَ شَكًّا فِى رِزْقِكَ فَأَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ نَظْرَةً مِنْ نَظَرَاتِكَ وَرَحْمَةً مِنْ رَحَمَاتِكَ وَعَطِـيَّةً مِنْ عَطَايَاكَ اللَّطِيْفَةِ وَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ وَاكْفِنِي شَـرَّ خَلْقِكَ وَاحْفَظْ عَلَيَّ دِيْنَ اْلإِسْلاَمِ وَانْظُرْ إِلَيْـنَا بِعَيْنِكَ الَّتِي لاَ تَنَامُ وَآتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ – ثَلاَثًا –
Ya Allah, sesungguhnya malam ini adalah makhluk dari makhlukMu maka jangan Engkau mengujiku di dalamnya juga setelahnya dengan keburukan dan yang tidak menyenangkan. Jangan Engkau takdirkan atasku di dalamnya kemaksiatan, juga bukan kesalahan yang menjadikanku berdosa. Jangan Engkau mengujiku di dalamnya kecuali dengan sesuatu yang lebih baik. Jangan hiaskan kepada  diriku kelancangan bermaksiat, meninggalkan ketaatan, meremehkan hakMu, dan ragu dalam rizkiMu. Maka saya memohon kepadaMu Ya Allah, pandangan dari pandangan-pandanganMu, kasih sayang dari kasih sayang-kasih sayangMu, pemberian dari berbagai macam pemberianMu. Berikanlah kepadaku anugerahMu. Cukupkanlah daku akan keburukan makhlukMu. Jagalah agama Islam untukku. Pandanglah daku dengan mataMu yang tidak tidur. Berikanlah daku kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah saya dari siksa neraka”(3X)

إِلـهِي بِالتَّجَلِّي اْلأَعْظَمِ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ الشَّهْرِ اْلأَكْرَمِ الَّتِي يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْـرٍ حَكِيْمٍِ وَيُبْرَمُ اكْشِفْ عَنَّـا مِنَ الْبَلاَءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لاَ نَعْلَمُ , وَاغْفِرْ لَـنَا مَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ  - ثَلاَثًا- ( أَللَّهُمَّ) إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَـرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ مَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُـوْبِ  (أَللَّهُمَّ) إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَمَا لاَ أَعْلَمُ (أَللَّهُمَّ) إِنَّ الْعِلْمَ عِنْدَكَ وَهُوَ عَنَّـا مَحْجُوْبٌ وَلاَ نَعْلَمُ أَمْـرًا أَخْتَارُهُ ِلأَنْفُسِنَا وَقَدْ فَوَّضْـنَا إِلَيْكَ أُمُـوْرَنَا وَرَفَعْـنَا إِلَيْكَ حَاجَتَـنَا وَرَجَـوْنَاكَ لِفَاقَتِـنَا وَفَقْرِنَا فَأَرْشِدْنَا يَا أَلله وَثَبِّـتْـنَا وَوَفِّقْـنَا إِلَى أَحَبِّ اْلأُمُـوْرِ إِلَيْكَ وَأَحْمَدِهَا لَدَيْكَ فَإِنَّكَ تَحْكُمُ بِمَا تَشَاءُ وَتَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِـزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Ya Allah, dengan Tajalli A’zham di malam Nishfu Sya’ban bulan yang mulia yang didalam segala urusan agung diputuskan dan dipastika, hilangkan dariku bencana yang kami mengerti dan kami tidak mengerti. Ampunkanlah daku apa yang Engkau lebih mengerti (3x) Ya Allah sesungguhnya saya memohon yang terbaik dari yang Engkau ketahui. Saya memohon perlindunganMu akan  yang terburuk dari segala yang Engkau ketahui. Saya memohon ampunan dari segala yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepadaMu yang terbaik dari apa yang Engkau ketahui dan apa yang tidak saya ketahui. Ya Allah, sesungguhnya ilmu di sisiMu adalah tertutup dariku dan saya tidak mengetahui urusan yang saya pilih untuk diri kami dan sungguh saya telah memasrahkan urusan kami  kepadaMu. Kami haturkan hajat kami kepadaMu dan kami mengharapkanMu untuk kemiskinan dan kefakiran kami maka tunjukkanlah kami Ya Allah, teguhkanlah dan berilah pertolongan kami menuju hal yang paling tericintai dan paling terpuji  di sisiMu karena sesungguhnya Engkau memutuskan apa yang Engkau kehendaki dan melakukan apa yang Engkau sukai. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada daya tiada upaya kecuali dengan Allah Maha Mulia Maha Agung. Maha suci TuhanMu Tuhan Maha Mulia dari segala sesuatu yang mereka sifatkan. Kesejahteraan atas para utusan. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.washallallahu ta’aalaa alaa sayyidinaa Muhammad wa alaa aalihii washahbihi wasallam.

Bersambung.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-doa-di-bulan-syaban/

Catatan Kaki:
[1] Abwabul Faraj
[2] Berkata dalam hati
[3] At Targhib wa At Tarhib lil Mundziri juz 2 hal 5 2

Jumat, 30 Mei 2014

Madza fi Sya’ban: Malam Nishfu Sya’ban dalam Perhatian Salaf

seri 12

bulan

Ibnu Rajab al Hambali berkata:
[Para tabi’in Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan yang lain sangat mengagungkan malam Nishfu Sya’ban dengan berijtihad beribadah di dalamnya. Dari merekalah orang – orang mengambil keutamaan dan kemuliaan malam ini. Dikatakan bahwa para tabi’in Syam itu mengacu kepada Atsar – atsar Israiliyyah yang mereka terima. Ketika hal tersebut mulai tersebar di penjuru negeri, bermunculan  - lah reaksi antara orang yang menerima, sepakat  dan ikut serta mengagungkannya yang di antara mereka adalah para ahli ibadah tanah Bashrah. Sementara di pihak lain, yaitu ulama Hijaz seperti Atha’ dan Abu Mulaikah serta para ahli fiqih madinah – sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam – mengingkari kenyataan tersebut di mana pengingkaran ini juga diikuti oleh para santri Imam Malik dengan menyatakan bahwa : “Semua itu adalah bid’ah”[1].]


Kita sendiri tidak mengingkari pihak yang berhemat bahwa berkumpul adalah bid’ah karena ini adalah pendapat dan pemikirannya sesuai Ijtihad, berfikir dan penelitiannya. Itu adalah haknya untuk berfikir, merenung dan memutuskan sesuai dengan kehendaknya selama ia dalam usaha menjalankan kebaikan serta berjuang untuk sampai di sana. Kendati begitu, mereka terjatuh dalam bencana besar ketika mereka berusaha menutup kebenaran dari khalayak dan hanya menampakkan dan menyebarkan ide dan pendapat mereka saja sekaligus dalil – dalil dan arah pengambilan dalil (Istinbath) secara mendetail. Dengan langkah tersebut mereka menjadikan banyak orang, termasuk kaum terpelajar, menyangka bahwa dalam masalah ini tidak ada apapun kecuali pendapat ini dan sesungguhnya pendapat lain salah atau dusta. Sungguh langkah inilah yang sebenarnya lebih layak disebut kedustaan dan penipuan.

Aku mengatakan kepada mereka: Bersungguh – sungguhlah seperti kemauan kalian, dukunglah apa yang kalian kehendaki, dan silahkan mengucapkan apa saja,. tetapi setelah kalian menjelaskan perbedaan yang ada dalam suatu masalah dan setelah menyebutkan semua perbedaan apa adanya meski perbedaan itu bertentangan dengan pendapat dan ide kalian. Baru sesudah itu silahkan mendukung dan membantah apa yang kalian suka.

Wahai saudaraku, lihatlah Ibnu Rajab al Hambali. Perhatikanlah amanah Beliau dalam menyampaikan pendapat. Beliau memulai dengan menyebutkan perbedaan/khilaf lalu menyebutkan: [Para ulama Syam berbeda dalam cara menghidupkan malam Nishfu Sya’ban;  

Pertama:Disunnahkan untuk menghidupkannya secara bersama – sama di masjid – masjid. 
Kedua: Berkumpul untuk shalat, mendengar ceramah dan berdo’a  di masjid – masjid pada malam Nishfu Sya’ban hukumnya makruh. Dan tidak dimakruhkan apabila seseorang shalat sendiri di sana.] setelah ini barulah Beliau mengunggulkan dan menshahihkan pendapatnya: [dan inilah yang Insya Allah lebih mendekati kebenaran.]

Allahu Akbar, betapa mulia sifat amanat ini. Semoga teman – teman kita para dai dan para penceramah melihat metode yang maju ini dan yang berdasarkan pada logika jernih ketika mereka membicarakan dan memberi kritikan pada ilmu, para ulama dan ahli ibadah yang telah menjalankan keutamaan – keutamaan tersebut.

Maksud Bid’ah dalam Bab ini
Bid’ah dalam syara’ diucapkan sebagai segala hal yang berlawanan dengan Sunnah yang karena inilah ia adalah sesuatu yang tercela. Memang ketika hanya disebutkan secara mutlak (Bid’ah saja. Pent) maka yang dimaksud adalah seuatu yang tercela.

Bid’ah juga diberikan pengertian sebagai sesuatu yang diperbaruhi setelah masa Nubuwwah dan masih berada dalam koridor dasar yang umum dan secara syara’ dianggap baik yang jika begini halnya berarti sesuatu yang baik dan terpuji.

Dalam Ihya’a  Kitab Aadaabil Akli , Imam Ghazali mengatakan: [Tidak seluruh hal pasca Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dilarang. Hal yang dilarang adalah Bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah yang ada serta menghilangkan urusan syara’ sementara illat yang masih tersisa. Bahkan berbuat bid’ah (Ibtida’) bisa menjadi wajib jika memang kondisi berubah]

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam al Fath berkata: [Kebenarannya ialah jika Bid’ah masih berada di bawah naungan dasar yang dianggap baik oleh syara’ maka ia bid’ah hasanah. Dan bila berada dalam wilayah dasar yang disanggap jelek syara’ berarti ia bid’ah sayyi’ah. Jika tidak keduanya berarti masuk dalam kategori bid’ah yang diperbolehkan. Dan bid’ah terbagi menjadi lima bagian]

Di antara orang yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi lima bagian adalah Imam al Qarafi karena mengikuti gurunya yaitu Imam Izzuddin bin Abdussalam sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam  al I’tisham.

Pengikut pendapat pertama berpendapat bahwa menghidupkan (malam Nishfu Sya’ban) bukanlah bid’ah yang tercela, tetapi bid’ah yang dianggap baik karena termasuk dalam wilayah dasar yang dianggap baik oleh syara’ yakni berdzikir dan berdo’a di mana keduanya disyariatkan baik dengan sendiri atau secara bersama – sama di masjid atau selain masjid dan dalam setiap waktu dan keadaan.

Pengikut pendapat kedua berpendapat bahwa menghidupkan (makan Nishfu Sya’ban) itu adalah bid’ah yang tercela secara syara’ karena di sana ada aktivitas menetapi ibadah tertentu dalam waktu tertentu yang sama sekali tidak ada anjuran atau tekanan syara’.

Imam al Qarafi berkata: [Mengkhususkan hari – hari yang mulia dengan satu jenis ibadah adalah bid’ah yang tidak disukai] Imam Syathibi berkata: [Menetapi puasa hari Nishfu Sya’ban dan berqiyamullail pada malam harinya adalah bid’ah yang tercela]. Dalam al I’tisham terdapat penjelasan detail yang memuaskan tentang topik Bid’ah; pengertiannya dan standarnya dan merupakan topik terpenting yang terkait dengan hukum. Karena itu silahkan merujuknya.

Imam Syihabuddin Ahmad bin Hijazi al Fasyni juga berpendapat tentang kesunahan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan sebagian ibadah baik secara sendiri maupun berjamaah sebagaimana Beliau sebutkan dalam kitab Tuhfatul Ikhwan. Dalam hal ini Beliau mengikuti Hujjatul Islam Imam Ghazali secara mutlak (sendiri dan berjamaah), mengikuti Ibnu Rajab al Hambali dalam keadaan sendiri, dan para imam dari generasi tabiin dan semua orang yang sejalan dengan mereka yang juga berpendapat akan kesunahannya dalam keadaan sendiri atau berjamaah. Dalam kitab tersebut, Imam al Fasyni mengatakan: [Artinya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban hukumnya sunnah karena hadits – hadits yang warid tentangnya. Dan itu bisa dilakukan dengan shalat dengan tanpa menentukan hitungan rakaat secara khusus. Dengan membaca Alqur’an sendiri – sendiri. Dengan berdzikir kepada Allah, berdo’a, bertasbih dan bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam secara berjamaah atau sendiri – sendiri. Dengan membaca hadits – hadits dan mendengarkannya. Dengan mengadakan pengajaran dan majlis tafsir dan hadits. Membahas keutamaan malam ini serta menghadiri majlis – majlis tersebut dan ibadah – ibadah lainnya].

Keutamaan Dzikir Sendiri dan Berjamaah

Adapun berdzikir kepada Allah pada setiap waktu dan keadaan  maka hal itu adalah sebaik – baik dan paling bersihnya amalan di sisi Allah ta’aalaa seperti disebutkan dalam hadits, “Anak Adam tidak pernah beramal apapun yang paling bisa menyelamatkannya dari siksa Allah daripada berdzikir kepada Allah ta’alaa”. Berkumpul untuk berdzikir juga disyariatkan dan dianjurkan seperti ditunjukkan oleh hadits Qudsi: “Aku menurut persangkaan hambaKu akanKu dan Aku bersamanya jika ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika ia menyebutKu dalam perkumpulan maka Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik darinya” dan juga hadits:
          لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ الله تَعَالَى إِلاَّ حَفَّـتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَـتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ الله فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Suatu kaum tidak duduk guna berdzikir kepada Allah ta’ala kecuali malaikat mengepung mereka dan menaungi mereka dengan rahmat, turun ketentraman atas mereka dan Allah menyebut mereka di kalangan orang di sisiNya” HR Muslim.

Dari dua hadits di atas bisa diambil pelajaran tentang keutamaan berkumpul untuk membahas ilmu, mempelajari Alqur’an, membaca tafsir, hadits dan fiqih. Juga keutamaan memberikan anjuran dan peringatan karena kesemua itu adalah berdzikir kepada Allah dan menunjukkan pula bahwa berkumpul karena itu semua memiliki keutamaan yang agung[2].

Pendapat Sebagian Ulama Salaf

Diriwayatkan – tentang keabsahan riwayat ini masih perlu dikaji ulang – bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada wakilnya (Amil) di Bashrah yang isinya: [Perhatikanlah olehmu empat malam dari setahun karena pada malam – malam itu Allah menumpahkan secara penuh rahmatNya. Malam – malam itu adalah; 1) Malam Pertama bulan Rajab, 2) Malam Nishfu Sya’ban, 3) Malam Hari Raya Idul Fitri, 4) Malam Hari Raya Idul Adha].

Imam Syafi’i berkata: [Sampai kepadaku bahwa do’a dikabulkan dalam lima malam;  Malam Jum’at, Malam Dua Hari Raya, Malam Pertama Rajab dan Malam Nishfu Sya’ban].

Diriwayatkan dari Ka’ab. Ia berkata: [Sesungguhnya pada malam Nishfu Sya’ban Allah mengutus Jibril alaihissalam agar datang ke surga guna menyuruh agar surga berhias serta mengatakan: “Sesungguhnya Allah pada malammu ini telah memerdekakan sebanyak bilangan bintang – bintang langit, sebanyak hari – hari dan malam – malam dunia, sebanyak daun pepohonan, seberat timbangan gunung dan sebanyak jumlah pasrir – pasir”]

Diriwayatkan dari Said bin Manshur. Ia berkata: Abu Ma’syar menceritakan dari Abu Hazim dan Muhammad bin Qoes. Keduanya dari Atho’ bin Yasar yang berkata: [Tiada malam setelah Lailatu Qadar yang lebih utama daripada malam Nishfu Sya’ban. Allah tabaarak wata’aalaa turun ke langit dunia dan lalu memberikan ampunan kepada para hambaNya seluruhnya kecuali orang musyrik, musyahin dan pemutus sanak kerabat]

Sikap Ibnu Taimiyyah terkait Malam Nishfu Sya’ban

Syekh Ibnu Taimiyyah berkata:
[Adapun malam Nishfu Sya’ban maka sungguh banyak diriwayatkan hadits dan atsar tentang keutamaannya. Dinukil dari sekelompok Salaf bahwa mereka melakukan shalat pada malam itu. Shalat sendiri telah dilakukan oleh para pendahulunya dan ini memiliki hujjah yang menjadikannya tidak perlu diingkari. Adapun shalat pada malam secara berjamaah maka ini bersandar pada kaidah umum tentang berkumpul melakukan ketaatan dan ibadah di mana hal demikian terbagi menjadi dua macam;
1) Sunnah Ratibah,  ada kalanya wajib dan ada kalanya mustahab / sunnah seperti shalat lima waktu, jum’at, dua hari raya, shalat kusuf, istisqa’ dan tarawih. Hal – hal ini adalah sunnah ratibah yang seyogyanya dijaga dan dilestarikan.
2) bukan Sunnah Ratibah, sebagaimana halnya berkumpul untuk shalat sunnah seperti qiyamullail, berkumpul untuk membaca Alqur’an, berdzikir dan berdo’a. Hal – hal tersebut tidak mengapa dilakukan selama tidak dijadikan kebiasaan yang dirutinkan (Aadah Ratibah) karena Nabi shallallahu alaihi wasallam juga terkadang menjalankan shalat sunnah dengan berjamaah tetapi Beliau sendiri tidak melanggengkannya kecuali yang telah disebutkan di atas.  Jika para sahabat berkumpul maka Beliau shallallahu alaihi wasallam menyuruh salah seorang dari mereka untuk membaca sementara yang lain mendengar secara seksama (Istima’). Umar bin Khatthab pernah berkata kepada Abu Musa, “Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami!” Abu Musa ra lalu membacakan Alqur’an dan lain mendengarkan secara seksama.

Sungguh telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam datang kepada ahli shuffah (penghuni emperan masjid Nabawi.pent) yang di antara mereka ada seorang yang sedang membaca Alqur’an, maka Beliau lalu duduk bersama mereka. telah diriwayatkan pula adanya para malaikat yang berkeliling guna mencari majlis – majlis dzikir. Karena itulah jika ada suatu kaum berkumpul untuk melakukan shalat sunnah malam dengan berjamaah dan tidak menjadikan hal ini sebagai kebiasaan rutin yang menyerupai Sunnah Ratibah maka hal yang demikian tidaklah dimakruhkan. Tetapi bila hal demikian dijadikan sebagai kebiasaan yang berputar mengikuti putaran waktu maka dimakruhkan karena ada unsur merubah syariat dan menyerupakan hal yang tidak disyariatkan dengan sesuatu yang disyariatkan. Jika hal demikian diperbolehkan tentunya juga diperbolehkan shalat lain pada waktu dhuha atau antara zhuhur dan ashar atau tarawih pada bulan Sya’ban, atau adzan dalam shalat Id atau berhaji ke Baitul Maqdis. Ini semua adalah mengganti dan merubah agama Allah. Dan begitu – lah kisahnya dalam Malam Maulid dan sebagainya.

Bid’ah – bid’ah yang makruh adalah segala hal yang tidak disunnahkan dalam syariat yakni membuat syariat yang tidak mendapatkan izin Allah. Maka barang siapa menjadi sesuatu sebagai agama dan qurbah tanpa ada syara’ dari Allah, dialah pelaku bid’ah dan orang sesat yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sabda Beliau, “Setiap bid’ah itu sesat”. Jadi bid’ah adalah lawan syir’ah. 

Syir’ah adalah hal yang diperintahkan Allah dan RasulNya dengan perintah wajib atau sunnah meski belum pernah dilakukan pada masa Beliau sebagaimana berkumpul untuk shalat tarawih mengikuti satu Imam, mengumpulkan Alqur’an dalam sebuah mushaf, memerangi orang murtad dan kaum khawarij dan sebagainya. Apa saja yang tidak disyariatkan Allah dan RasulNya maka itulah bid’ah dan kesesatan seperti mengistimewakan tempat atau masa guna berkumpul untuk suatu amalan ibadah seperti halnya Allah mengkhususkan / mengistimewakan waktu – waktu shalat lima waktu dan hari – hari haji dan hari raya. Seperti halnya Allah mengistimewakan Makkah dan tiga masjid serta seluruh masjid dengan disyariatkannya shalat dan aneka ragam ibadah di dalamnya.

Dari sini menjadi jelas upaya untuk memadukan dalil – dalil syari’at yang berasal dari nash – nash dan ijma’ – ijma’ ulama di mana yang dimaksud bid’ah adalah lawan syir’ah. Bid’ah adalah sesuatu yang tidak disyariatkan dalam agama, maka apabila suatu aktivitas yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ sebagai sesuatu yang dicintai Allah dan RasulNya berarti aktivitas tersebut keluar dari kemungkinan bid’ah dan kiranya masalah ini telah aku jelaskan secara panjang lebar dalam Qaidah Kabirah dari al Qowaid al Kabirah[3].

Atsar – atsar yang warid terkait Malam ini (Nishfu Sya’ban)

Adapun Atsar antara lain:
Warid dari Nauf al Bakkali bahwa Ali ra keluar pada malam Nishfu Sya’ban. Malam itu Beliau sering keluar sambil menengadah seraya berucap, [Sesungguhnya malam ini, tiada seseorang yang memohon kepada Allah kecuali Dia Mengabulkan, pada malam ini tiada orang yang memohon ampunan kecuali Dia Mengampuni selama ia bukan seorang tukang pungutan liar, tukang sihir, penyair, dan peramal atau pemain gendang dan tamborin] Ali ra lalu berdo’a, “Ya Allah Tuhan Dawud, ampunilah orang yang berdo’a kepadaMu di malam ini dan memohon ampunanMu”

Dari Said bin Manshur dalam (Sunannya). Ia berkata: Abu Ma’syar menceritakan kepadaku dari Abu Hazim dan Muhammad bin Qoes. Keduanya dari Atha’ bin Yasar yang berkata: [Tiada malam setelah Lailatul Qadar yang lebih utama daripada Nishfu Sya’ban. Allah tabaaraka wata’aalaa turun ke langit dunia lalu mengampuni para hamba seluruhnya kecuali orang musyrik, musyahin  dan pemutus tali sanak famili]

Dari hadits – hadits dan atsar – atsar tersebut bisa diambil faedah dianjurkannya qiyam pada malam ini dan berijtihad di dalamnya dengan membaca Alqur’an, dzikir dan do’a dalam rangka menyambut hembusan – hembusan (Nafahat) rahmat Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Muhammad bin Maslamah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ ِللهِ فِى أَيَّامِ الدَّهْـرِ نَفَحَاتٍ فَتَعَـرَّضُوْا لَـهَا فَلَعَلَّ أَحَدَكُمْ أَنْ تُصِيْـبَهُ نَفْـحَةٌ فَلاَ يَشْقَى بَعْدَهَا أَبَدًا
Sesungguhnya bagi Allah pada hari – hari setahun ada hembusan – hembusan rahmatNya maka sambutlah itu karena mungkin sekali salah seorang kalian mendapatkan satu hembusan dan setelahnya ia tiada akan pernah celaka” (HR Thabarani)
Betapa bagus ucapan sebagian ulama mulia:
Di Malam Nishfu Sya’ban bangunlah shalat
Karena yang termulia dalam bulan ini adalah malam setengahnya
Betapa banyak anak muda yang melewati malam dengan aman

Padahal lembar kematiannya telah dianyam

Bersegeralah berbuat baik sebelum habis waktunya
Waspadalah kedatangan cepat kematian

Dan bepuasalah pada siang harinya, pebaikilah berharap kepadaNya
Agar ketika susah kamu mendapat kelembutan dariNya

Taujih Nabawi terkait Malam ini

Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar malam Nishfu Sya’ban diperhatikan dan berkah beramal saleh di dalamnya dijarah. Dari Ali ra dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُـوْا لَيْـلَهَا وَصُوْمُوْا يَوْمَهَا فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْـزِلُ فِيْهَا لِغُـرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ : أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ , أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقُهُ , أَلاَ مِنْ مُبْـتَلًى فَأُعَافِـيَهُ أَلاَ كَذَا , أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Ketika malam Nishfu Sya’ban maka ber qiyam –lah di malam harinya, berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah tabaaraka wata’aalaa pada malam itu saat matahari tenggelam turun ke langit dunia dan lalu berfirman: “Ingat, adakah orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya. Ingat, adakah orang yang memohon rizki dan Aku akan memberinya rizki. Ingat, adakah orang yang terkena bencana dan Aku akan menyembuhkannya.” Ingat…ingat… sampai hingga terbitlah fajar” (HR Ibnu Majah dengan sanad yang di antara mereka ada nama Abu Bakar bin Abdillah bin Abi Saburah. Dalam At Taqrib dikatakan: Mereka menuduhnya sebagai pemalsu hadits. Dalam al Khulashah: Sebagian menghukuminya dha’if)

Hadits ini dengan saksi – saksi (hadits – hadits lain) bisa diakui dalam konteks keutamaan – keutamaan amal. Karena itulah hadits ini juga disebutkan oleh para ulama ahli tahqiq dalam kitab – kitab Fadhaa’il seperti Imam al Mundziri dalam At Targhib wa At Tarhiib, Syarafuddin Ad Dimyathi dalam al Matjar Ar Rabih  dan Ibnu Rajab dalam Lathaa’if al Ma’aarif di mana seluruhnya memberikan kesimpulan bahwa masalah ini memiliki dasar yang bisa diterima untuk diamalkan dalam rangka berharap pahala karena anugerah Allah itu luas.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-malam-nishfu-syaban-dalam-perhatian-salaf/

Catatan Kaki :
[1] Latha’iful Ma’arif libni Rajab al Hambali hal 161
[2] Al Kalimat al Hisan fi Fadha’il  Lailah Nishf Sya’ban li Syekh Hasanain Muhammad Ali Makhluf al Adawi hal 9.
[3] Al Fatawi (23 / 132)

Madza fi Sya’ban: Mengamalkan Hadits Dha’if dalam Keutamaan Amal

seri 11

bulanrajab

Kesimpulan Penting terkait hadits – hadits Lailah Nishfi Sya’ban

al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali dalam Latha’if al Ma’arif  mengatakan: [Mayoritas ulama hadits menghukumi dha’if hadits – hadits tersebut. Sementara Ibnu Hibban menyatakan sebagian ada yang shahih dan Beliau mengeluarkan (meriwayatkan) hadits itu dalam kitab Shahihnya] Ibnu Hajar al Haitami dalam Ad Durr al Mandhud berkata: [Para ulama hadits, fiqih dll sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi sepakat terkait kebolehan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan - keutamaan (al Fadha’il), anjuran dan peringaran (at Targhib wat Tarhib) dan bukan dalam hukum. Itu dengan catatan tingkat ke- dha’if – annya tidak parah]


Sementara Imam Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiq al Iid menambahkan satu syarat yang berupa harus berada dalam cakupan wilayah dasar yang shahih (harus berada dalam lingkup wilayah hadits shahih. Pent). Jadi pendapat Abu Bakar bin al Arabi bahwa hadits dha’if secara mutlak tidak bisa diamalkan adalah bukan pada tempatnya. Ada pendapat lagi bahwa hadits dha’if terkait suatu topik secara mutlak boleh diamalkan jika tidak ada hadits lainnya asalkan tidak ditemukan hal yang bertentangan. Pendapat ini dinukil dari Imam Ahmad bin Hambal. Imam Abu Dawud mengatakan: [Isnad Dha’if boleh ditakhrij (diriwayatkan) jika memang tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab (topik tertentu. Pent)]. Ini berarti hadits – hadits yang warid tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan keutamaan menghidupkannya – meskipun dha’if – termasuk boleh diamalkan karena telah memenuhi syarat – syarat.

Sayyidi al Walid al Imam al Habib Alawi bin Abbas al Maliki berkata: Ahli hadits dan yang lain sepakat bahwa hadits dha’if bisa diamalkan dalam  keutamaan amal. Di antara orang yang mengatakan demikian adalah Imam Ahamd bin Hambal, Ibnul Mubarak, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al Ambari dan yang lain. Sungguh telah dinukil ungkapan dari mereka:
إِذَا رَوَيْنَا فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَإِذَا رَوَيْنَا فِى الْفَضَائِلِ تَسَاهَلْـنَا
“Jika meriwayatkan tentang halal haram maka kami berlaku tegas dan jika meriwayatkan keutamaan – keutamaan maka kami memudahkan”

Imam Ramli dalam Fatawinya berkata: [Imam Nawawi telah menceritakan dalam banyak karangannya tentang Ijma’ (konsensus) untuk mengamalkan hadits dha’if dalam kaitannya dengan Fadha’il saja.] Ibnu Abdil Barr berkata: [Untuk mengamalkan hadits dha’if tidak dibutuhkan orang yang bisa dijadikan hujjah] al Hakim berkata: [Aku mendengar Abu Zakariyya al Anbari berkata: Hadits yang warid dan tidak memberitakan tentang penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal dan juga tidak menetapkan hukum dan hanya berkisar dalam wilayah anjuran dan peringatan maka tidak perlu diteliti dan mudah saja diriwayatkan] Ibnu Mahdi, seperti dalam al Madkhal, berkata: [Jika meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang halal haram dan hukum – hukum maka kami berlaku ketat (tegas) dalam meneliti sanad dan mengkritik para perowi. Dan bila meriwayatkan tentang al Fadha’il, pahala dan siksa maka kami mudah saja dalam meneliti sanad dan berlaku murah terkait para perawi]

Imam Ahmad, seperti diriwayatkan al Maimuni, berkata: [Hadits – hadits dha’if mungkin saja diperlakukan mudah selama di dalamnya tidak mengandung hukum].  Imam Ahmad, seperti dalam riwayat Iyasy Ad Duari berkomentar tentang Ibnu Ishaq: [Dia tokoh yang hadits – hadits darinya (tentang peperangan / al Maghazi) bisa ditulis. Dan ketika datang halal dan haram maka kami menghendaki kaum seperti ini] Beliau lalu menggenggam keempat jari – jari kedua tangannya.

Imam Ramli berkata: [Hadits – hadits yang parah tingkat kedha’ifannya jika satu dengan yang lain dikumpulkan maka bisa dijadikan hujjah dalam topik ini]. Sementara madzhab Imam Nasa’i – rahimahullah – hendaknya hadits itu diriwayatkan dari setiap orang yang tidak disepakati untuk ditinggalkan. Maksud ucapan ditinggalkan (Matruk) dalam ungkapan Beliau adalah orang yang hanya menjadi sumber satu – satunya suatu hadits dan orang itu bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau telah dikenal akan kebohongannya dalam berbicara. Sementara di sisi lain tidak ada sama sekali tanda ia memalsukan hadits yang diriwayatkannya. Demikian seperti disebutkan Imam Nasa’i dalam An Niqayah.

Adapun Madzhab Abu Dawud maka hadits dha’if bisa diriwayatkan jika memang tidak ada hadits lain yang terkait topik (Bab) dan bagi Beliau hadits dha’if lebih diunggulkan daripada pendapat. Imam Ibnu Shalah menukil dari al Hafizh bin al Arabi al Maliki bahwa hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak. Ibnul Arabai beralasan bahwa keutamaan – keutamaan hanya bisa diterima dari Syara’ yang karenanya menetapkannya dengan hadits dha’if adalah mengada – adakan ibadah dan membuat syara’ dalam agama tanpa izin Allah azza wajalla.

Aku mengatakan: [Sungguh mengherankan apa yang disampaikan oleh al Hafizh tersebut. Ini karena mengamalkan hadits dha’if hanyalah karena mencari keutamaan dengan tanda yang lemah tanpa akan mengakibatkan kerusakan. Jadi bisa dimungkinkan maksud ungkapan al hafizh tersebut adalah hadits yang sangat dha’if sehingga gugur dari tingkat bisa dijadikan hujjah dan dalil menurut para ahli. Jelaslah dengan ini bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal adalah hal yang disepakati oleh ahli ilmu dan tak ada satupun pihak yang membantahnya] [1]

Bersambung.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-mengamalkan-hadits-dhaif-dalam-keutamaan-amal/

Catatan Kaki:
[1] Fatawi as Sayyid Alawi al Maliki al Hasani hal 245

Madza fi Sya’ban: Nama–nama Malam Nishfu Sya’ban

seri 10

bulansyaban

Sebagian ulama menyebutkan banyak nama dari malam Nishfu Sya’ban – sementara banyak nama secara lazim menunjukkan kemuliaan pemilik nama – . Imam Abul Khair at Thaliqani menyebutkan nama – nama itu hingga 22 nama yang di antaranya:

1. al Lailah al Mubarakah. Malam yang memang penuh berkah, atau karena makna – makna yang ada di dalamnya atau karena malaikat mendekat dan bersanding dengan manusia pada malam itu.

 
2. Lailatul Qismah. Di antara namanya adalah Lailatul Qismah, malam pembagian rizki dan penentuan segala keputusan Allah berupa urusan besarNya sebagaimana diriwayatkan Atha’ bin Yasar: [Pada malam nishfu sya’ban dituliskan untuk malaikat maut nama semua orang yang akan meninggal dunia dari sya’ban (itu) sampai sya’ban berikutnya. Dan sesungguhnya seseorang selalu berbuat zhalim, berbuat fujur, menikahi para wanita dan menanam pohon – pohon sementara namanya telah tertulis dari golongan orang – orang yang hidup beralih kepada golongan orang – orang yang mati. Dan tidak ada malam selain Lailatul Qadar yang lebih utama daripada malam nishfu sya’ban]

Dalam riwayat lain yang juga bersumber dari Atha’:
[Pada malam nishfu sya’ban diberikanlah sebuah lembaran kepada malaikat maut dan dikatakan kepadanya, “Cabutlah (nyawa) orang yang ada di lembaran ini. Dan sesungguhnya seorang hamba sedang menanam pepohonan, menikahi para isteri dan membangun bangunan sementara namanya telah tertulis dalam daftar orang – orang yang meninggal dunia dan malaikat maut tidak menunggu kecuali ia diperintah untuk mencabut nyawanya]

Dalam versi lain diriwayatkan: [Ajal – ajal dipastikan dari sya’ban sampai sya’ban berikutnya sehingga seseorang menikah dan mendapatkan putera sementara namanya telah keluar dalam daftar orang – orang yang meninggal dunia]

Ibnu Abbas ra berkata: [Sesungguhnya Allah membuat keputusan – keputusan seluruhnya pada malam nishfu sya’ban dan menyerahkannya kepada para pemliknya (pelaksana) pada malam Lailatul Qadar] dalam riwayat lain; [...pada malam ke dua puluh tujuh Ramadhan] dua versi ini bisa dipertemukan, bahwa malam ke 27 waktu itu bertepatan dengan Lailatul Qadar[1].

3. Lailatut Takfiir. Disebut dengan Lailatut Takfiir karena malam ini bisa menghapus dosa – dosa setahun sementara Malam Jum’at menghapus dosa – dosa seminggu. Adapun Lailatur Qadar menghapus dosa – dosa seumur hidup. Demikian disebutkan oleh Imam Taqiyyuddin As Subki dalam tafsirnya.

4. Lailatul Ijabah Di antara namanya adalah Lailatul Ijabah seperti diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Beliau berkata: [Ada lima malam di mana di dalamnya do’a tidak ditolak; malam jum’at, malam pertama bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, lailatul qadar dan dua malam hari raya]

5. Lailatul Hayat wa Lailat Idul Malaikat. Nama ini disebutkan oleh Abu Abdillah Thahir bin Muhammad bin Ahmad al Haddadi dalam kitabnya Uyunul Majalis tentang pendapat bahwa malaikat di langit memiliki dua malam hari raya seperti halnya kaum muslimin di bumi memiliki dua hari raya. Hari raya malaikat adalah Lailatul Bara’ah yakni malam nishfu sya’ban dan malam lailatul qadar sementara hari raya kaum beriman adalah Idul Fithri dan Idul Adha. Hari raya malaikat berada di malam hari karena mereka tidaklah tidur yang karena itu siang atau malam sama bagi mereka. Sedang hari raya anak keturunan Adam di siang hari karena malam adalah waktu tidur bagi mereka  guna beristirahat.

6. Lailatus Syafa’ah. Nama ini diberikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Abdillah al Hakim an Naisaburi dan yang lain

7. Lailatul Bara’ah wa Lailatus Shakk Disebut dengan nama ini karena di malam ini kaum beriman mendapat kepastian terbebas serta memperoleh piagam atau sertifikat (Shakk) ampunan. Sebagian ulama ditanya tentang nama Lailatul Bara’ah ini dan Beliau menjawab: [Ketika Amil memungut zakat dan sedekah dan telah menunaikan seluruh hak Baitul Maal maka ia pasti memberikan tulisan dan penegasan bahwa ia telah lepas / bebas dari semua hak atasnya. Pada Lailatul Bara’ah juga diberikan seperti itu. Masing – masing mendapat piagam kebebasan dan dikatakan kepadanya, “Anda telah memenuhi seluruh hak dan telah menunaikan syarat – syarat ubudiyyah maka ambil piagam kebebasanmu dari neraka” dan dikatakan pula kepada seseorang: “Anda meremehkan hak – hak saya dan tidak pernah menunaikan syarat – syarat ubudiyyah maka silahkan ambil kebebasan anda dari al Jabbar”

8. Lailatul Jaizah wa Lailatur Rujhan wa Lailatut Ta’zhiim wa Lailatul Qadr. Nama – nama ini dinukil oleh Imam Taqiyyuddin As Subki dalam tafsir Beliau

9. Lailatul Ghufran Di antara namanya adalah Malam Ampunan dan Kebebasan dari neraka – neraka[2].

Cara Menghidupkan

Para ulama Syam berbeda dalam cara menghidupkan malam Nishfu Sya’ban;

Pertama. Disunnahkan untuk menghidupkannya secara bersama – sama di masjid – masjid. Adalah Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir serta selain keduanya, senantiasa memakai pakaian terbaik mereka. Mereka juga memakai minyak wangi, bercelak dan selanjutnya melakukan Qiyam di masjid pada malam harinya. Apa yang mereka lakukan ini disetujui oleh Ishaq bin Rahuyah. Bahkan terkait Qiyamullail secara berjama’ah di masjid pada malam Nishfu Sya’ban, Ishaq berkata: [Hal tersebut bukanlah Bid’ah] ungkapan ini juga dinukil oleh Harb al Karmani dalam Masa’il –nya

Kedua. Berkumpul untuk shalat, mendengar ceramah dan berdo’a  di masjid – masjid pada malam Nishfu Sya’ban hukumnya makruh. Dan tidak dimakruhkan apabila seseorang shalat sendiri di sana.
Ini adalah pendapat al Auza’i, orang alim, ahli fiqih dan Imam penduduk Syam dan inilah yang Insya Allah lebih mendekati kebenaran.

Bersambung.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-nama-nama-malam-nishfu-syaban/

Catatan Kaki:
[1] Al Kalimat al Hisaan fi Fadhaa’il Lailah Nishfu Sya’ban li Syekh Hasanain Muhammad Ali Makhluf al Adawi hal 46
[2] Tuhfatul Ikhwan fi Qira’atul Mii’ad fi Rajaba wa Sya’bana wa Ramadhana li Syekh Syihabuddin Ahmad Hijazi al Fasyni hal 86 – 87

Madza fi Sya’ban: Malam Nishfu Sya’ban

seri 9

sya'ban

Pada bulan Sya’ban ada malam yang diagungkan dimuliakan dan penuh keberkahan yaitu malam Nishfu Sya’ban  di mana pada malam itu Allah Menampak kepada hambaNya dengan ampunan dan kasih sayang yang merata. Dia Memberikan ampunan kepada para peminta pemohon ampunan dan kasih sayang kepada para peminta kasih sayang. Dia mengabulkan do’a orang – orang yang kesulitan, dan menghilangkan kesusahan orang – orang yang susah. Pada malam itu Allah Memberikan bonus kebebasan dari nereka kepada sekelompok orang serta di dalamnya Allah menulis rizki dan amal perbuatan. Tentang keutamaan malam itu, ada banyak hadits yang warid yang sebagiannya berstatus dha’if atau munqathi’ meski sebagiannya lebih ringan tingkat ke – dha’ifannya. Meski begitu, sebagiannya dihukumi shahih oleh al Hafizh Ibnu Hibban. Di sini akan kami sebutkan hadits paling masyhur yang terkait topik ini.


Imam Thabarani dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:
          يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Allah Melihat kepada seluruh makhlukNya pada malam nishfu sya’ban dan memberikan ampunan kepada seluruh makhlukNya kecuali orang musyrik, atau Musyahin”

Musyahin, adalah orang munafik yang sangat buruk kelakuannya yang selalu memicu perpecahan dan menyalakan api permusuhan di antara kedua pihak yang saling mencintai. Ibnul Atsir dalam an Nihayah berkata: Musyahin, ia orang yang saling bermusuhan. Syahna’, adalah permusuhan[1].

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah ra sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
          أَتَانِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ : هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَللهِ فِيْهَا عُتَـقَاءُ مِنَ النَّارِ بِعَدَدِ شُعُـوْرِ غَنَمِ كَلْبٍ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ فِيْهَا إِلَى مُشْرِكٍ وَلاَ إِلَى مُشَاحِنٍ وَلاَ إِلَى قَاطِعِ رَحِمٍ وَلاَ إِلَى مُسْبِلٍ وَلاَ إِلَى عَاقٍّ لِوَالِدَيْهِ وَلاَ إِلَى مُدْمِنِ خَمْرٍ …
Jibril datang kepadaku dan berkata: “Ini adalah malam nishfu Sya’ban. Di dalamnya Allah memiliki orang – orang yang dimerdekakan sebanyak bilangan bulu – bulu kambing Bani Kalb[2]. Dan di dalamnya Allah tidak melihat orang orang musyrik, tidak musyahin, tidak orang yang memutuskan kerabat, tidak orang yang menjuntaikan pakaian (Isbal), tidak orang yang durhaka kepada kedua orang tuana dan tidak pula orang yang selalu minum arak (pecandu)…”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amar bin Ash ra. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
          يَطَّلِعُ الله عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ اثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلُ نَفْسٍ
Pada malam nishfu Sya’ban Allah melihat kepada makhlukNya. Lalu Dia Memberikan ampunan kepada para hambaNya kecuali dua orang; Musyahin dan orang yang membunuh” (Sanadnya Lemah seperti dikatakan al Hafizh al Mundziri)

Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah ra. Ia berkata: “Aku kelihangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu aku keluar dan ternyata Beliau berada di Baqi’ sambil menengadahkan wajah ke langit. Beliau bersabda: “Apakah kamu khawatir Allah dan RasulNya meminggirkanmu?” aku menjawab: “Saya menyangka engkau datang kepada sebagian para isterimu” Beliau lalu bersabda:
          إِنَّ اللهَ تبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْـزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
Sesungguhnya Allah tabaarak wata’aalaa turun ke langit dunia  pada malam nishfu sya’ban lalu Dia Memberikan ampunan kepada lebih banyak dari jumlah bulu kambing suku Kalb”(Imam Turmudzi berkata: Aku tidak mendengar Hadits Aisyah ra kecuali dari jalur ini. Dan aku mendengar Muhammad – Imam Bukhari -  mengatakan bahwa hadits ini dha’if karena munqathi’ dalam dua tempat)

Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ari ra dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
          إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
 “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu sya’ban melihat lalu Dia memberikan ampunan kepada seluruh makhlukNya kecuali musyrik dan musyahin”(ini berasal dari riwayat Ibnu Luhai’ah dan di dalamnya juga ada komentar tentang riwayat Dhohhak dari Aiman al Kalbi. Imam Dzahabi berkata: Tidak diketahui siapa dia)

Imam Thabarani dan Baihaqi meriwayatkan dari jalur Makhul dari Abu Tsa’labah al Khasyani ra. sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
          يَطَّلِعُ الله إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِيْنَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوْهُ
Pada malam nishfu sya’ban Allah melihat para hambaNya lalu Dia memberikan ampunan kepada orang – orang beriman dan menangguhkan orang – orang kafir dan membiarkan para pemilik kedengkian dengan kedengkiannya sehingga mereka  meninggalkannya”

Imam Bazzar dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakar As Shiddiq ra dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:
          يَنْـزِلُ اللهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِكُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ لِرَجُلٍ مُشْرِكٍ أَوْ رَجُلٍ فِى قَلْبِهِ شَحْنَاءُ
Pada malam nishfu sya’ban Allah turun ke langit dunia. Lalu Dia Memberikan ampunan kepada segala sesuatu kecuali lelaki musyrik dan lelaki yang dalam hatinya ada kebencian” (Sanadnya tidak mengapa menurut al Hafizh al Mundziri)

Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dha’if dari Utsman bin Abu al Ash dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
          إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهَ فَلاَ يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلاَّ أُعْطِيَهُ إِلاَّ زَانِيَةً بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِكًا
Ketika malam nishfu sya’ban ada orang yang memanggil: “Adakah orang yang memohon ampunan lalu aku memberikan ampunan kepadanya. Adakah orang yang meminta lalu aku memberikan permintaannya. Maka tiada seorang meminta kecuali diberikan permintaannya kecuali wanita pezina dengan kemaluannya atau orang musyrik”(Beginilah dalam riwayat Imam Baihaqi. Sementara dalam riwayat selainnya secara mutlak tanpa batasan malam nishfu sya’ban)

Dalam al Musnad dari Hasan al Bashri. Beliau berkata:
Utsman bin Abi al Ash bertemu dengan Kilab bin Umayyah yang sedang duduk di tempat tukang pungutan liar (al Asyir) di Bashrah. “Kenapa kamu berada di sini?” tanya Utsman.  Kilab menjawab: “Ziyad yang menempatkanku di sini” Utsman bertanya: “Apakah aku akan menceritakan kepadamu hadits yang aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Kilab mengiyakan dan Utsman lalu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
          كَانَ لِدَاوُدَ نَبِيُّ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ سَاعَةٌ يُوْقِظُ فِيْهَا أَهْلَهُ يَقُوْلُ : يَاآلَ دَاوُدَ قُوْمُوْا فَصَلُّوْا فَإِنَّ هَذِهِ السَّاعَةَ يَسْتَجِيْبُ الله فِيْهَا الدُّعَاءَ إِلاَّ لِسَاحِرٍ أَوْ عَاشِرٍ
Adalah Nabi Dawud Nabi Allah alaihissalam memiliki saat di mana Beliau membangunkan keluarganya seraya berkata: Wahai keluarga Dawud, bangkit dan shalatlah kalian karena sesungguhnya pada saat ini Allah mengabulkan do’a kecuali tukang sihir atau tukang pungutan liar”

Kilab bin Umayyah segera meninggalkan tempat dan kemudian menaiki perahu datang kepada Ziyad untuk meminta pengampunan, dan Ziyad pun mengampuninya.

Sementara dalam versi riwayat Thabarani dalam al Kabir dan al Ausath dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan teks:
          تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ نِصْفَ اللَّيْلِ فَيُنَادِي مُنَادٍ : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى هَلْ مِنء مَكْرُوْبٍ فَيُفَرَّجُ عَنْهُْ فَلاَ يَبْقَى مُسْلِمٌ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ إِلاَّ اسْتَجَابَ الله لَهُ إِلاَّ زَانِيَةً تَسْعَي بِفَرْجِهَا أَوْ عَشَّارًا
Pintu – pintu langit dibuka pada separuh malam lalu ada orang yang memanggil: “Apakah ada orang yang berdo’a maka ia dikabulkan. Adakah orang yang meminta maka ia diberi. Adakah orang yang susah maka akan dihilangkan darinya kesusahan” hingga tiada tersisa seorang muslim yang mengajukan suatu permohonan kecuali Allah Mengabulkannya kecuali pezina dengan kemaluannya dan tukang pungutan liar”

Tidak hal yang bertentangan di antara riwayat – riwayat ini sebagaimana tidak samar lagi bahwasanya malam nishfu sya’ban secara umum tercakup dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabarani. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Makhul dari Katsir bin Murrah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
          فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ اللهُ ِلأَهْلِ اْلأَرْضِ إِلاَّ مُشْرِكًا أَوْ مُشَاحِـنًا
Pada malam nishfu sya’ban Allah mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan musyahin” (Imam Baihaqi berkata: Hadits Mursal Jayyid. Katsir bin Murrah adalah seorang Tabiin)

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ala’ bin al Harits sesungguhnya Sayyidah Aisyah ra berkata: Suatu malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bangun dan melakukan shalat. Beliau lalu memanjangkan sujud sehingga aku mengira Beliau telah tiada. Menyaksikan ini aku bangkit dan menggerakkan jempol Beliau. Ternyata jempolnya bergerak hingga aku kembali ke tempatku. Selesai shalat, beliau  bersabda: “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah mengkhianatimu?” aku menjawab: “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, tetapi saya mengira engkau telah tiada karena sujudmu yang panjang” Beliau bersabda: “Tahukah kamu malam apakah ini?” aku menjawab: “Allah dan UtusanNya lebih mengetahui” Beliau bersabda:
          هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
Ini adalah malam nishfu sya’ban. Sesungguhnya Allah azza wajalla  melihat para hambaNya pada malam nishfu sya’ban lalu Dia mengampuni orang – orang yang meminta ampun dan mengasihi orang – orang yang memohon rahmat dan mengakhirkan para pemilik kedengkian” (Imam Baihaqi berkata: Ini adalah Mursal Jayyid dan mungkin Ala’ mengambilnya dari Makhul)

Bersambung.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-malam-nishfu-syaban/

Catatan Kaki:
[1] An Nihayah fi Ghariibil Hadits wal atsar 2 / 449
[2] Bani Kalb adalah suku besar yang di kalangan Arab paling banyak memiliki kambing