Jumat, 30 Mei 2014

Madza fi Sya’ban: Mengamalkan Hadits Dha’if dalam Keutamaan Amal

seri 11

bulanrajab

Kesimpulan Penting terkait hadits – hadits Lailah Nishfi Sya’ban

al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali dalam Latha’if al Ma’arif  mengatakan: [Mayoritas ulama hadits menghukumi dha’if hadits – hadits tersebut. Sementara Ibnu Hibban menyatakan sebagian ada yang shahih dan Beliau mengeluarkan (meriwayatkan) hadits itu dalam kitab Shahihnya] Ibnu Hajar al Haitami dalam Ad Durr al Mandhud berkata: [Para ulama hadits, fiqih dll sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi sepakat terkait kebolehan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan - keutamaan (al Fadha’il), anjuran dan peringaran (at Targhib wat Tarhib) dan bukan dalam hukum. Itu dengan catatan tingkat ke- dha’if – annya tidak parah]


Sementara Imam Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiq al Iid menambahkan satu syarat yang berupa harus berada dalam cakupan wilayah dasar yang shahih (harus berada dalam lingkup wilayah hadits shahih. Pent). Jadi pendapat Abu Bakar bin al Arabi bahwa hadits dha’if secara mutlak tidak bisa diamalkan adalah bukan pada tempatnya. Ada pendapat lagi bahwa hadits dha’if terkait suatu topik secara mutlak boleh diamalkan jika tidak ada hadits lainnya asalkan tidak ditemukan hal yang bertentangan. Pendapat ini dinukil dari Imam Ahmad bin Hambal. Imam Abu Dawud mengatakan: [Isnad Dha’if boleh ditakhrij (diriwayatkan) jika memang tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab (topik tertentu. Pent)]. Ini berarti hadits – hadits yang warid tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan keutamaan menghidupkannya – meskipun dha’if – termasuk boleh diamalkan karena telah memenuhi syarat – syarat.

Sayyidi al Walid al Imam al Habib Alawi bin Abbas al Maliki berkata: Ahli hadits dan yang lain sepakat bahwa hadits dha’if bisa diamalkan dalam  keutamaan amal. Di antara orang yang mengatakan demikian adalah Imam Ahamd bin Hambal, Ibnul Mubarak, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al Ambari dan yang lain. Sungguh telah dinukil ungkapan dari mereka:
إِذَا رَوَيْنَا فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَإِذَا رَوَيْنَا فِى الْفَضَائِلِ تَسَاهَلْـنَا
“Jika meriwayatkan tentang halal haram maka kami berlaku tegas dan jika meriwayatkan keutamaan – keutamaan maka kami memudahkan”

Imam Ramli dalam Fatawinya berkata: [Imam Nawawi telah menceritakan dalam banyak karangannya tentang Ijma’ (konsensus) untuk mengamalkan hadits dha’if dalam kaitannya dengan Fadha’il saja.] Ibnu Abdil Barr berkata: [Untuk mengamalkan hadits dha’if tidak dibutuhkan orang yang bisa dijadikan hujjah] al Hakim berkata: [Aku mendengar Abu Zakariyya al Anbari berkata: Hadits yang warid dan tidak memberitakan tentang penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal dan juga tidak menetapkan hukum dan hanya berkisar dalam wilayah anjuran dan peringatan maka tidak perlu diteliti dan mudah saja diriwayatkan] Ibnu Mahdi, seperti dalam al Madkhal, berkata: [Jika meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang halal haram dan hukum – hukum maka kami berlaku ketat (tegas) dalam meneliti sanad dan mengkritik para perowi. Dan bila meriwayatkan tentang al Fadha’il, pahala dan siksa maka kami mudah saja dalam meneliti sanad dan berlaku murah terkait para perawi]

Imam Ahmad, seperti diriwayatkan al Maimuni, berkata: [Hadits – hadits dha’if mungkin saja diperlakukan mudah selama di dalamnya tidak mengandung hukum].  Imam Ahmad, seperti dalam riwayat Iyasy Ad Duari berkomentar tentang Ibnu Ishaq: [Dia tokoh yang hadits – hadits darinya (tentang peperangan / al Maghazi) bisa ditulis. Dan ketika datang halal dan haram maka kami menghendaki kaum seperti ini] Beliau lalu menggenggam keempat jari – jari kedua tangannya.

Imam Ramli berkata: [Hadits – hadits yang parah tingkat kedha’ifannya jika satu dengan yang lain dikumpulkan maka bisa dijadikan hujjah dalam topik ini]. Sementara madzhab Imam Nasa’i – rahimahullah – hendaknya hadits itu diriwayatkan dari setiap orang yang tidak disepakati untuk ditinggalkan. Maksud ucapan ditinggalkan (Matruk) dalam ungkapan Beliau adalah orang yang hanya menjadi sumber satu – satunya suatu hadits dan orang itu bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau telah dikenal akan kebohongannya dalam berbicara. Sementara di sisi lain tidak ada sama sekali tanda ia memalsukan hadits yang diriwayatkannya. Demikian seperti disebutkan Imam Nasa’i dalam An Niqayah.

Adapun Madzhab Abu Dawud maka hadits dha’if bisa diriwayatkan jika memang tidak ada hadits lain yang terkait topik (Bab) dan bagi Beliau hadits dha’if lebih diunggulkan daripada pendapat. Imam Ibnu Shalah menukil dari al Hafizh bin al Arabi al Maliki bahwa hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak. Ibnul Arabai beralasan bahwa keutamaan – keutamaan hanya bisa diterima dari Syara’ yang karenanya menetapkannya dengan hadits dha’if adalah mengada – adakan ibadah dan membuat syara’ dalam agama tanpa izin Allah azza wajalla.

Aku mengatakan: [Sungguh mengherankan apa yang disampaikan oleh al Hafizh tersebut. Ini karena mengamalkan hadits dha’if hanyalah karena mencari keutamaan dengan tanda yang lemah tanpa akan mengakibatkan kerusakan. Jadi bisa dimungkinkan maksud ungkapan al hafizh tersebut adalah hadits yang sangat dha’if sehingga gugur dari tingkat bisa dijadikan hujjah dan dalil menurut para ahli. Jelaslah dengan ini bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal adalah hal yang disepakati oleh ahli ilmu dan tak ada satupun pihak yang membantahnya] [1]

Bersambung.

sumber: http://www.shofwatuna.org/2014/05/madza-fi-syaban-mengamalkan-hadits-dhaif-dalam-keutamaan-amal/

Catatan Kaki:
[1] Fatawi as Sayyid Alawi al Maliki al Hasani hal 245

Tidak ada komentar:

Posting Komentar