Rabu, 31 Juli 2013

mafahim: BAB TAWASSUL bag 2

ini link ta'lim hari ke 2 selasa 21 romadlon 1434 H / 30 Juli 2013

pagi, rec 3

ba'dad dhuha, rec 4

ba;dal ashar, rec 5

semoga dapat di download dan bermanfaat dunia dan akhirat. aamiiin

Selasa, 30 Juli 2013

mafahim: BAB TAWASSUL (rec 1 dan 2)

Salah satu rahasia romadlon yang memang sudah umum adalah keutamaannya di 10 hari terakhir.
Dimana pada masa tersebut, Rosululloh dan para sahabat mengkhususkan diri untuk i'tikaf di masjid. selain memperbanyak ibadah, i'tikaf juga digunakan sebagai sarana muhasabah bahkan menuntut ilmu. menuntut ilmu? ya benar karena pada beberapa masjid, memberikan dan membuat program i'tikaf bagi masyarakat, demi mengenalkan, membumikan i'tikaf. Dari fihak panitia atau ta'mir biasanya mengemasnya dengan berbagai kegiatan ta'lim dan tadarrus serta kegiatan lainnya, disamping menu utmanya adalah sholat malam.

demikian juga dengan pondok kami, ma'had nurul haromain, yang mana pada tahun 1434 H ini mengupas tuntas karya fenomenal Abuya Assayid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani yakni Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah.

tahun 2012 kemaren telah dibahas bagian I dari 3 bagian isi kitab tersebut. sedangkan tahun ini, adalah bagain keduanya.

ingin tahu lebih jauh? ini sudah sampai bab TAWASSUL ;

1. kajian senin pagi mulai pukul 10.00 hingga dhuhur
kajian perdananya (silakan klik berupa file mp3)

2. kajian senin sore kajian kedua

bersambung .... (coba dengarkan dulu, ok? )

KH. ABDUL HAMID PASURUAN: WALIYULLAH YANG TAWADHU’

Pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914/1915 M) di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdul Mu’thi. Ia adalah putra dari KH. Abdullah Umar.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya. Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, meski untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”.

Sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja, Mu’thi muda mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif, sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid, Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.

Masa Mondok
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, KH. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya untuk meredam kenakalannya. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar, di antaranya KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.

Masa Berumah Tangga
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, Abdul Hamid muda dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah. Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalaam. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai, sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Mengelola Pondok
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri (dua orang) yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh, dan lain-lain.

Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok. Sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek-bengek sehari-hari, karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.

Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan lagi. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Jumlah santrinya mencapai ratusan orang, hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi dan harus dibangun yang baru. Terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Pengakuan masyarakat semakin besar pada beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”. Tamunya semakin banyak dan sinarnya semakin gemilang, terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas, hingga akhirnya mencapai taraf –meminjam istilah Gus Mus– “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Wali yang Lurus dan Tawadhu’
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ibarat kata pepatah Jawa “becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan”, melainkan dengan perbuatan nyata.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’).  Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yakni di belakang. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya.
Beliau pun bersikap hormat pada siapapun. Miskin, kaya, jelata, atau berpangkat, semua dilayani dan dihargainya. Bila sedang banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu, sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang dari Mekah, bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Beliau pun sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Beliau tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. Saat awal memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang itu. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.

Melalui riyadhah dan mujahadah yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Takabur, amarah, iri, dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustadz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Kiai Hamid, juga tak pernah menggunjing orang; penyakit yang sulit dihindari banyak orang. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”

Wafatnya Kiai Hamid
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga dan sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), teladan, panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).

Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H/25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain umumnya. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, waliyullah yang tawadhu’ itu menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti oleh duka yang dalam. Ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat jenazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.

Hamid Ahmad (dari buku “Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan”)
sumber: http://www.majalah.alharomain.org