Kenapa...? Ada apa di Bulan Sya’ban...?
Di bulan Sya’ban ada banyak peristiwa dan kejadian penting dan sangat layak
mendapat perhatian melalui mobilisasi masa dengan perkumpulan, seminar, dan
perayaan. Sebagian kejadian itu adalah:
Perpindahan (Tahwil) Qiblat
Perpindahan Qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah terjadi pada
bulan Sya’ban. Sebelumnya Beliau shallallahu alaihi wasallam menantikan
dengan keinginan kuat (Raghbah Qawiyyah). Setiap hari wajahnya sering
kali menengadah ke langit menanti wahyu Rabbani sampai akhirnya Allah
Menentramkan mata Beliau dengan mengabulkan harapan dan keinginan. Turunlah
firman Allah:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ , فَلَنُوَلِّيَـنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْـتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ...
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil HaramDan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya... “QS al Baqarah:144.
Ini sejalan dengan firman Allah:
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَي
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu
menjadi puas”
“QS Ad Dhuha: 5.
“QS Ad Dhuha: 5.
Dan dengan begitu ungkapan Aisyah ra kepada Beliau shallallahu alaihi
wasallam menjadi kenyataan:
مَاأَرَى رَبَّكَ إِلاَّ يُسَارِعُ فِى هَـوَاكَ
“Saya tidak melihat Tuhanmu kecuali segera melaksanakan keinginanmu “(HR
Bukhari)
Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ridho kecuali
hal yang juga diridhoi Allah.
Abu Hatim al Busti berkata: Kaum muslimin shalat menghadap Baitul Maqdis
selama 17 bulan 3 hari sempurna terhitung dari kedatangan Beliau shallallahu
alaihi wasallam pada hari Senin 12 Rabiul Awwal dan kemudian Allah
memerintahkan menghadap Ka’bah pada hari selasa pada pertengahan (15) Sya’ban .
Laporan Amal
Di antara keistimewaan bulan Sya’ban yang sudah dikenal adalah laporan amal
(Raf’ul Amal). Tepatnya laporang terbesar dan terluas. Dalam hadits dari
Usamah bin Zaid ra disebutkan: Ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah,
saya tidak pernah melihat engkau puasa dalam bulan – bulan seperti engkau
berpuasa di bulan Sya’ban?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itulah bulan yang dilupakan manusia, antara Rajab dan Ramadhan. Itulah
bulan dimana amal - amal diangkat (dilaporkan) kepada Tuhan semesta alam dan
aku suka jika amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa” (HR
Nasa-i)
Laporan di Siang Hari dan Laporan di Malam Hari
Dalam Shahih Muslim dari Abu Musa al Asy’ari ra. Ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri di antara kami dengan
lima kalimat. Selanjutnya Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَـعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ لَوْ كَشَفَهُ َلأَحْرَقَتْ سَبَحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Sesungguhnya Allah ta’alaa tidak tidur dan tidak semestinya Dia tidur.
Dia merendahkan dan meninggikan timbangan. Diangkat kepadaNya amalan malam
sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam. HijabNya adalah
cahaya. Andai Dia Membukanya niscaya kegungan wajahNya akan membakar sejauh
pandanganNya dari ciptaanNya”
Al Allamah al Munawi rahimahullah berkata:
[Maksud (laporan dalam hadits ini) adalah: Diangkat (dilaporkan) kepadaNya
amalan siang pada permulaan malam setelahnya dan amalan malam pada permulaan
siang setelahnya. Ini karena para malaikat penjaga (Hafazhah) naik
(ke langit) dengan membawa amalan - amalan malam - setelah malam habis –
pada permulaan siang dan mereka naik membawa amalan - amalan siang – setelah
siang habis – pada permulaan malam].
Dengan uraian ini, Imam al Munawi merujuk pada hadits dari Abu Hurairah ra
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَتَعَاقَبُوْنَ – يَتَـنَاوَبُوْنَ – فِيْكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ باِلنَّهَارِ وَيَجْـتَمِعُوْنَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ
_ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ _ كَيْفَ تَرَكْـتُمْ عِبَادِيْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : تَرَكْـنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَآتَيْـنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ
“Malaikat malam malaikat siang saling bergantian dalam (menjaga) diri
kalian. Mereka bertemu dalam shalat fajar (subuh) dan shalat ashar. Kemudian
malaikat yang menginap bersama kalian naik dan lalu ditanya oleh Tuhan mereka –
Dia lebih Mengetahui daripada mereka - : “Bagaimanakah kalian meninggalkan para
hambaKu?” Mereka menjawab: “Kami meninggalkan mereka saat mereka sedang shalat
dan kam datang kepada mereka saat mereka sedang shalat” (HR Bukhari
Muslim)
Hadits ini - seperti dikatakan oleh al Mundzuri - juga
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya dengan teks dalam versi salah
satu riwayat:
تَجْتَمِعُ مَلاَئِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةُ النَّهَارِ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ فَيَجْتَمِعُوْنَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ فَتَصْعَدُ مَلاَئِكَةُ اللَّيْلِ وَتَبِـيْتُ مَلاَئِكَةُ النَّهَارِ . وَيَجْتَمِعُوْنَ فِى صَلاَةِ الْعَصْرِ فَتَصْعَدُ مَلاَئِكَةُ النَّهَارِ وَتَبِيْتُ مَلاَئِكَةُ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ : كَيْفَ تَرَكْـتُمْ عِبَادِيْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : أَتَيْـنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَتَرَكْـنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ فَاغْفِرْ لَهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِ
“Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul dalam shalat Subuh dan
shalat Ashar lalu mereka berkumupul dalam shalat Subuh dan malaikat malam –pun
naik dan malaikat siang menginap (menetap). Mereka lalu berkumpul dalam shalat
Ashar dan lalu malikat siang naik dan malaikat malam menginap. Tuhan mereka
lalu bertanya: “Bagaimana kalian meninggalkan para hambaKu?” mereka menjawab:
“Kami meninggalkan mereka saat mereka sedang shalat dan kami datang kepada
mereka saat mereka sedang shalat. Maka ampunilah mereka pada hari pembalasan!”
Wahai orang beriman, maka mengertilah dengan pasti bahwa bersama anda ada
malaikat malam dan malaikat siang yang senantiasa mengawasi amal perbuatan anda
dan lalu melaporkannya kepada Tuhan Maha Agung Maha Mulia.
Laporan Secara Langsung
Dari Abdullah bin Saib ra. ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat empat
rakaat setelah matahari tergelincirt (Zawal) sebelum melakukan shalat
fardgu Zhuhur. Selanjutnya Beliau bersabda:
إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيْـهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِيْ فِيْهَا عَمَلٌ صَالِحٌ
“Sesungguhnya itu adalah saat pintu – pintu langit terbuka, maka aku
ingin pada waktu itu ada amal shalehku yang naik” (HR Turmudzi –
Ahmad)
Abu Ayyub al Anshari ra menceritakan dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang bersabda:
أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ لَيْسَ فِيْهِنَّ تَسْلِيْمٌ تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ
“Empat rakaat sebelum zhuhur yang tiada salam di dalamnya, dibuka
untuknya pintu – pintu langit” (al Mundziri berkata: HR Abu Dawud – Ibnu
Majah dan dalam sanad keduanya ada kemungkinan untuk dihukumi Hasan.)
Imam Thabarani dalam al kabir dan al ausath juga
meriwayatkan (dari Abu Ayyub ra. Pent) dengan teks seperti berikut:
Ketika Rasulullah bertempat tinggal di tempatku – ketika awal kedatangan di
Madinah – maka aku menyaksikan Beliau shallallahu alaihi wasallam melanggengkan
empat – shalat empat rakaat – sebelum zhuhut dan Beliau bersabda:
إِنَّهُ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ فَلاَ يُغْلَقُ فِيْهَا بَابٌ حَتَّي تُصَلَّى الظُّهْرُ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ لِي فِى تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ
“Sesungguhnya saat matahari tergelincir maka pinti – pintu langit dibuka
dan lalu tidak satu pintu-pun ditutup sehingga shalat zhuhur dilaksanakan. Maka
aku suka ada kebaikanku – amal shalehku - yang diangkat pada waktu itu”
Abdullah berkata:
Maka semestinya seorang muslim betul - betul peduli dan memperhatikan
shalat sunnah qabliyyah zhuhut menyusul waktu zawal. Hendak ia
menggunakan waktu tersebut dengan baik untuk berdo’a yang sangat mungkin akan
dikabulkan karena pintu – pintu langit terbuka waktu itu. Tidak semestinya
orang beriman melalaikan dan justru sibuk dengan dunia yang sirna serta
menyia – nyiakan kebaikan, do’a, hembusan rahmat dan berkah yang bermanfaat
baginya di dalam kehidupan dunia dan setelah kematian.
Laporan Mingguan
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ عَلَى اللهِ تَعَالَى فِى كُلِّ يَوْمِ خَمِيْسٍ وَاثْنَيْنِ فَيَغْفِرُ اللهُ لِكُلِّ امْرِئٍ لاَ يُشْرِكُ بِالله شَيْـئًا إِلاَّ مَنْ كَانَ بَيْـنَهُ وَبَيْنَ أَخِيْـهِ شَحْنَاءُ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : اتْرُكُوْا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Amal dilaporkan kepada Allah ta’ala setiap kamis dan senin. Allah lalu
mengampuni setiap orang yang tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah kecuali
orang yang antara dirinya dan saudaranya ada kebencian. Allah pun berfirman:
“Biarkanlah kedua orang ini sampai mereka berdamai!”(HR Muslim Turmudzi)
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَيُغْـفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَ بَيْـنَهُ وَبَيْنَ أَخِيْهِ شَحْنَاءُ
“Pintu – pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis lalu setiap hamba
yang tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan Allah mendapat ampunan kecuali
lelaki yang antaranya dan saudarantya ada kebencian”
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Beliau bersabda:
تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amal – amal dilaporkan pada hari senin dan kamis maka aku suka bila
amalku dilaporkan saat aku dalam keadaan berpusa”(HR Turmudzi)
Usamah bin Zaid ra berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
engkau berpuasa dan hampir tidak pernah berbuka, engkau berbuka dan hampir
tidak pernah berpuasa – berpuasa sunnah – kecuali dua hari jika masuk dalam
puasamu[1],
dan jika tidak maka (secara khusus) engkau berpuasa di dalamnya?” Beliau
bertanya: “Hari manakah itu?” aku menjawab: “Hari senin dan kamis”,
Beliau lalu bersabda:
ذَلِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيْهِمَا اْلأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah dua hari di mana amal – amal dilaporkan kepada Tuhan semesta
alam, maka aku suka jika amalku dilaporkan dalam keadaan aku sedang berpuasa”
Dari Jabir ra sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَمِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَيُغْفَرُ لَهُ وَمِنْ تَائِبٍ فَيُتَابُ عَلَيْهِ وَيَذَرُ أَهْلَ الضَّغَائِنِ بِضَغَائِنِهِمْ حَتَّي يَتُوْبُوْا
“Amal – amal dilaporkan pada hari senin dan kamis, lalu jika ada yang
memohon ampunan maka ia diampuni, jika ada yang bertaubat maka taubatnya
diterima, dan Dia membiarkan para pemilik kebencian – kebencian dengan
kebencian – kebencian mereka sampai mereka bertaubat”
Dari hadfits – hadits tersebut seorang muslim menjadi mengerti akan
keutamaan dua hari ini; senin dan kamis yang karena itu hendaknya ia menjauhi
kedengkian dan kebencian agar amal – amal keshalehannya tidak terhalang
untuk dinaikkan (dilaporkan). Pada hari itu hendaknya ia memperbanyak amal –
amal shaleh dan ucapan yang baik sebab hari – hari memiliki hukum – hukum dan
keistimewaan – keistimewaan sendiri. Sungguh hari – hari adalah laksana bejana
– bejana bagi yang berlaku di dalamnya. Wahai orang yang berakal, jangan penuhi
bejana – bejana anda kecuali dengan sesuatu yang mendekatkanmu kepada Tuhanmu azza
wajalla. Kelak pasti akan datang kepadamu hari di mana bejana – bejana itu
terbuka setelah ia tertutup saat kematianmu. Kelak akan menampak dan muncrat
semua yang terkandung dalam bejana – bejana itu yang berupa ucapan dan amal
perbuatanmu. Jika baik maka akan baunya akan semerbak dan wanginya akan
menyebar dan kamu akan senang, gembira, merasa aman dan berbahagia. Sebaliknya
jika jelek maka akan menyebar bau tidak sedap dan kegelepannya akan menyelimutimu
dan kamu pasti mendapat penghinaan dalam perkumpulan besar tersebut sehingga
kamu merasa sedih. Allah berfirman:
ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوْعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُوْدٌ
“Itulah hari di mana karenanya manusia dikumpulkan. Itulah hari yang
disaksikan” QS Hud: 103.[2]
Penentuan Umur
Pada bulan Sya’ban, umur ditentukan. Maksudnya penentuan ini ditampakkan
dan diperjelaskan, sebab jika tidak demikian maka (itu salah. Pent. ) karena
sesungguhnya pekerjaan – pekerjaan Allah tidak terbatas oleh masa dan tempat. “Tidak
ada sesuatu pun yang serupa denganNya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”QS
As Syura: 11. Dalam hadits riwayat Aisyah ra sesunggunya Nabi shallallahu
alaihi wasallam berpuasa dalam seluruh Sya’ban. Aisyah ra berkata:
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bulan yang paling engkau sukai untuk berpuasa
adalah bulan Sya’ban?” Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ يَكْتُبُ فِيْهِ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيِّـتَةٍ تِلْكَ السَّـنَةِ فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِيْ أَجَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Sesungguhnya pada bulan ini Allah Menulis setiap orang yang akan
meninggal pada tahun itu. Maka aku suka jika ajalku datang dalam keadaan aku
sedang berpuasa” (HR Abu Ya’la. Hadits Gharib dengan Isnad
Hasan) [3]
Karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
memperbanyak puasa. Anas bin Malik ra berkata: [Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berpuasa dan tidak berbuka sehingga kami mengatakan: “
Tidak terbersit dalam diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk
berbuka selama setahun. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam berbuka
dan tidak berpuasa hingga kami mengatakan: “ Tidak terbersit dalam hati
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berpuasa selama setahun.
Dan puasa yang paling Beliau suka adalah Sya’ban] HR Ahmad Thabarani.
Keutamaan Bepuasa di Bulan Sya‘ban
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Puasa apakah yang
lebih utama setelah Ramadhan?” Beliau menjawab: “Sya’ban guna memuliakan
Ramadhan” ditanyakan: “Sedekah apakah yang lebih utama?” Beliau menjawab: “Sedekah
dalam Ramadhan” (Imam Turmudzi berkata: Hadits Gharib)
Bahkan Aisyah ra berkata:
[Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berpuasa hingga kami
mengatakan: “Beliau tidak pernah berbuka”, dan Beliau selalu berbuka hingga
kami mengatakan, “Beliau tidak pernah berpuasa”, dan aku tidak pernah melihat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpuasa sebulan penuh kecuali
Ramadhan, dan aku tidak menyaksikan Beliau berpuasa di suatu bulan lebih banyak
daripada di bulan Sya’ban, Beliau selalu berpuasa kecuali sedikit atau bahkan
seluruhnya]
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, Aisyah ra berkata:
كَانَ أَحَبُّ الشُّهُوْرِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانَ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling disukai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk
berpuasa adalah Sya’ban. Selanjutnya Beliau menyambungnya dengan Ramadhan”
Dalam riwayat Nasa’i disebutkan, Aisyah ra berkata:
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ لِشَعْبَانَ , كَانَ يَصُوْمُهُ أَوْ عَامَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah banyak berpuasa
dalam suatu bulan lebih banyak daripada di bulan Sya’ban. Beliau selalu
berpuasa atau dalam kebanyakan bulan (sya’ban)”
Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Aisyah ra berkata:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُوْلُ : " خُـذُوْا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيْقُوْنَهُ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّي تَمَلُّوْا , وَكَانَ أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam satu
bulan lebih banyak daripada di bulan Sya‘ban. Sungguh Beliau puasa dalam
seluruh Sya’ban dan Beliau bersabda, “Ambil –lah amal yang kalian kuat
(mampu) karena sesungguhnya Allah tidak bosan sehingga kalian bosan” dan
adalah shalat yang paling disukai oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam
adalah yang dilanggengkan meski sedikit. Jika telah melakukan suatu shalat maka
Beliau melanggengkannya”
Lebih Detail tentang Puasa Sya’ban
Dari Aisyah ra. Ia berkata: [Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak
pernah berpuasa dalam sebulan lebih banyak daripada di bulan Sya’ban. Sungguh
Beliau berpuasa dalam seluruh Sya’ban] (HR Bukhari). Dalam riwayat Imam
Muslim. Aisyah ra berkata: [Beliau shallallahu alaihi wasallam selalu berpuasa
sehingga kami mengatakan, ”Sungguh Beliau telah berpuasa”. Dan Beliau selalu
berpuasa sehingga kami mengatakan, “Sungguh Beliau telah berbuka”] Aisyah
melanjuutkan: [Dan aku tidak pernah sekalipun menyaksikan Beliau berpuasa lebih
banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa dalam seluruh
Sya’ban, Beliau berpuasa dalam Sya’ban kecuali sedikit]. Dalam
riwayat Nasai dan Turmudzi: [Beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit atau bahkan
puasa dalam Sya’ban seluruhnya].
Syekh Mulla Ali al Qaari berkata:
[Beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya] maksudnya hari dalam
Sya’ban di mana Beliau tidak berpuasa sangatlah sedikit sehingga ada
persangkaan Beliau berpuasa dalam seluruh Sya’ban. Jadi kata bahkan (Bal.
Arab) adalah berfaedah menaikkan (Taraqqii) dan bukan menafikan ungkapan
Aisyah ra kecuali sedikit. Dan juga tidak menafikan hadits
yang menyatakan bahwa sejak datang di Madinah sesungguhnya Nabi shallallahu
alaihi wasallam tidak berpuasa sebulan sempurna kecuali di bulan Ramadhan.
Kata seluruhnya juga bisa diartikan apa adanya. Yakni Beliau shallallahu
alaihi wasallam berpuasa dalam seluruh Sya’ban sebelum datang di Madinah
yang ini berarti kata bahkan berfaedah membantah ungkapan Aisyah ra kecuali
sedikit. Hikmah dari ini adalah bisa jadi ungkapan kecuali
sedikit disangka bahwa sedikit tersebut adalah sepertiga
bulan hingga Aisyah ra lalu menjelaskannya dengan bahasa seluruhnya bahwa
sangat sedikit sekali sehingga bisa disangka Beliau shallallahu alaihi
wasallam berpuasa seluruh Sya’ban.]
Dalam riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah ra:
مَارَأَيْـتُهُ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْـتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
“Aku tidak pernah menyaksikan Beliau menyempurnakan puasa sebulan
kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak melihat Beliau lebih banyak berpuasa
dalam suatu bulan daripada di bulan Sya’ban”
Dalam riwayat lain yang juga bersumber dari Aisyah ra:
لَمْ يَكُنْ يَصُوْمُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُوْمُ كُلُّهُ
“Beliau tidak pernah berpuasa dalam sebuah bulan lebih banyak daripada
Sya’ban. Sungguh Beliau berpuasa dalam seluruh Sya’ban”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud:
وَكَانَ أَحَبُّ الشُّهُـوْرِ إِلَيْهِ أَنْ يَصُوْمَ شَعْبَانَ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Dan bulan yang paling disukai oleh Beliau untuk berpuasa adalah Sya’ban
kemudian menyambungnya dengan Ramadhan”
Dalam riwayat Imam Nasa’i:
كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ أَوْ عَامَّةَ شَعْبَانَ
“Beliau berpuasa Sya’ban atau kebanyakan Sya’ban”
كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya”
Hadits – hadits tersebut secara zhahir menunjukkan bahwa puasa Sya’ban
lebih utama dibanding puasa Rajab dan bulan – bulan mulia lain (Dzul Qa’dah,
Dzul Hijjah, Muharram), akan tetapi ini terbantah oleh hadits dari Abu Hurairah
ra. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ صَوْمُ شَهْرِ اللهِ الْمُحَرَّمِ
“Puasa yang lebih utama setelah ramadhan adalah puasa bulan Allah
Muharram”HR Muslim.
Bantahan inipun terjawab lagi dengan:
1. Kemungkinan Beliau shallallahu alaihi wasallam
belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali pada saat akhir kehidupan
Beliau sebelum bisa melakukannya. Atau karena ada udzur berupa bepergian atau
sakit yang menjadikan terhalang dari memperbanyak berpuasa seperti dikatakan
oleh Imam Nawawi.
Mairak Berkata: Dua hal ini (dua kemungkinan ini) sangat jauh.
1. Hadits Aisyah ra: “Adalah Beliau shallallahu alaihi
wasallam berpuasa tiga hari dari setiap bulan, tetapi terkadang Beliau
mengakhirkannya sehingga terkumpul atas Beliau puasa setahun lalu Beliau
berpuasa di bulan Sya’ban” HR Thabarani.
1. Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengistimewakan Sya’ban dengan berpuasa sebagai bentuk pengagungan kepada
Ramadhan. Jadi dalam konteks ini seperti halnya mendahulukan sunnah – sunnah
rawatib sebelum shalat – shalat fardhu. Ini dikuatkan dengan hadits gharib yang
dalam sanadnya terdapat nama Shadaqah yang dianggap tidak kuat oleh para ahli
hadits: Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya puasa
apakah yang lebih utama? Maka Beliau menjawab:
شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَانَ
“Sya’ban guna mengagungkan Ramadhan” HR Turmudzi.
Selain itu juga keberadaan puasa Sya’ban sebagai pemanasan dan media
latiahan (Tamarrun) guna menuju puasa Ramadhan. Sementara larangan
berpuasa dalam separuh kedua bulan Sya’ban adalah bagi orang yang sebelumnya
(pada separuh pertama) tidak berpuasa, serta tidak pula memiliki kebiasaan,
tidak mengqadha’ atau bernadzar dan dikhwatirkan puasa dalam separuh kedua itu
akan menyebabkan lemah atau rasa malas berpuasa Ramadhan sehingga berdampak
pada melakukan fardhu tanpa gairah dan semangat.
1. Hadits dari Usamah bin Zaid ra.
Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau puasa
dalam bulan – bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itulah bulan yang dilupakan manusia, antara Rajab dan Ramadhan. Itulah
bulan dimana amal - amal diangkat (dilaporkan) kepada Tuhan semesta alam dan
aku suka jika amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa” (HR
Nasai Abu Dawud. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Huzaimah)
Sepadan dengan hadits riwayat Aisyah ra. Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَكْتُبُ كُلَّ نَفْسٍ مَيِّـتَةٍ تِلْكَ السَّنَةِ فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِي أَجَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Sesungguhnya Allah menulis setiap jiwa yang meninggal pada tahun itu
dan aku ingin ajalku datang saat aku sedang berpuasa”(HR Abu Ya’la)
Hadits ini memberitahukan bahwa orang – orang sebelumnya banyak berpuasa
Rajab karena bagi mereka termasuk bulan – bulan mulia yang dimuliakan. Nabi shallallahu
alaihi wasallam lalu mengingatkan dengan memperbanyak puasa di bulan
Sya’ban agar mereka tidak melupakan bulan ini dengan tambahan faedah bahwa amal
– amal diangkat dan ajal – ajal ditulis pada bulan ini. Aisyah ra bertanya: “
Wahai Rasulullah, saya melihat kebanyakan puasa anda adalah di bulan Sya’ban?”
Beliau bersabda: “Sesungguhnya bulan ini, di dalamnya dituliskan untuk
malaikat maut (nama) orang yang akan ia ambil (cabut nyawanya), maka aku suka
agar namaku tidak ditulis kecuali saat aku sedang berpuasa”. Sangat mungkin
hal inilah hikmah di balik keistimewaan Sya’ban bagi Nabi shallallahu alaihi
wasallam seperti dalam sabda Beliau:
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah
bulan umatku”(HR Dailami dan yang lain dari Anas ra)[4]
Aku mengatakan:
Hadits ini disebutkan secara Mursal oleh Imam Suyuthi dan Beliau
mengatakan: (Diriwayatkan oleh Abu al Fath bin Abi al Fawaris dalam al
Amaalii dari Hasan secara Mursal dan ini ada Dhaif). Imam al
Munawi berkata: [Al Hafizh Zen al Iraqi dalam Syarah At Turmudzi mengatakan:
(Hadits ini sangat dha’if dan termasuk di antara Marasil Hasan dan
kami riwayatkan dalam Kitab at Targhib wa at Tarhiib milik Imam al
Ashfihani. Sementara Marasil Hasan sama sekali tidak dianggap oleh para
ahli hadits, dan tidak ada satupun hadits yang shahih terkait keutamaan Rajab]
sementara ungkapan penyusun (Imam Suyuthi) dengan sendirinya menjadi penjelasan
bahwa Beliau tidak meriwayatkan hadits ini beserta sanadnya. Jika tidak
demikian tentu Beliau tidak akan beralih kepada riwayat Mursal nya dan
ini sungguh mengerankan.
Imam Dailami sendiri telah men takhrij hadits ini dalam musnad al
Firdaus dari tiga jalur. Juga Ibnu Nashr dan yang lain dari hadits Anas ra
dengan teks lafazh yang tertulis apa adanya (seperti aslinya)[5].
Dalam Kasyful Khafa’ disebutkan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi
wasallam:
شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ الْمُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ الْمُكَفِّرُ
“Sya’ban adalah bulanku, Ramadhan adalah bulan Allah dan Sya’ban adalah
yang mensucikan sedang Ramdahon adalah yang melebur”
Diriwayatkan oleh Imam Dailami dari As Sayyidah Aisyah secara Marfu’
(sambung kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam). Ibnu al Ghars
berkata: Syaikhuna al Hijazi berkata: Hadits Dha’if.[6]
“Sya’ban adalah bulanku...” maksudnya: (Aku mensunnahkan Qiyam di
dalamnya). Aku (Abuya) berkata: Mungkin penisbatan Sya’ban kepada Beliau shallallahu
alaihi wasallam karena dalam bulan ini turun kepada Beliau ayat Shalawat kepada
Beliau shallallahu alaihi wasallam.
Malam Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban ada malam yang diagungkan dimuliakan dan penuh
keberkahan yaitu malam Nishfu Sya’ban di mana pada malam itu Allah
Menampak kepada hambaNya dengan ampunan dan kasih sayang yang merata. Dia
Memberikan ampunan kepada para peminta pemohon ampunan dan kasih sayang kepada
para peminta kasih sayang. Dia mengabulkan do’a orang – orang yang kesulitan,
dan menghilangkan kesusahan orang – orang yang susah. Pada malam itu Allah
Memberikan bonus kebebasan dari nereka kepada sekelompok orang serta di
dalamnya Allah menulis rizki dan amal perbuatan. Tentang keutamaan malam itu,
ada banyak hadits yang warid yang sebagiannya berstatus dha’if atau munqathi’
meski sebagiannya lebih ringan tingkat ke – dha’ifannya. Meski begitu,
sebagiannya dihukumi shahih oleh al Hafizh Ibnu Hibban. Di sini akan kami
sebutkan hadits paling masyhur yang terkait topik ini.
Imam Thabarani dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra dari
Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah Melihat kepada seluruh makhlukNya pada malam nishfu sya’ban dan
memberikan ampunan kepada seluruh makhlukNya kecuali orang musyrik, atau
Musyahin”
Musyahin, adalah orang munafik
yang sangat buruk kelakuannya yang selalu memicu perpecahan dan menyalakan api
permusuhan di antara kedua pihak yang saling mencintai. Ibnul Atsir dalam an
Nihayah berkata: Musyahin, ia orang yang saling bermusuhan. Syahna’,
adalah permusuhan[7].
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah ra sesungguhnya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ : هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَللهِ فِيْهَا عُتَـقَاءُ مِنَ النَّارِ بِعَدَدِ شُعُـوْرِ غَنَمِ كَلْبٍ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ فِيْهَا إِلَى مُشْرِكٍ وَلاَ إِلَى مُشَاحِنٍ وَلاَ إِلَى قَاطِعِ رَحِمٍ وَلاَ إِلَى مُسْبِلٍ وَلاَ إِلَى عَاقٍّ لِوَالِدَيْهِ وَلاَ إِلَى مُدْمِنِ خَمْرٍ ...
“Jibril datang kepadaku dan berkata: “Ini adalah malam nishfu Sya’ban.
Di dalamnya Allah memiliki orang – orang yang dimerdekakan sebanyak bilangan
bulu – bulu kambing Bani Kalb[8].
Dan di dalamnya Allah tidak melihat orang orang musyrik, tidak musyahin, tidak
orang yang memutuskan kerabat, tidak orang yang menjuntaikan pakaian (Isbal),
tidak orang yang durhaka kepada kedua orang tuana dan tidak pula orang yang
selalu minum arak (pecandu)...”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amar bin Ash ra. Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَطَّلِعُ الله عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ اثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلُ نَفْسٍ
“Pada malam nishfu Sya’ban Allah melihat kepada makhlukNya. Lalu Dia
Memberikan ampunan kepada para hambaNya kecuali dua orang; Musyahin dan orang
yang membunuh” (Sanadnya Lemah seperti dikatakan al Hafizh al Mundziri)
Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah ra. Ia berkata:
“Aku kelihangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu aku keluar
dan ternyata Beliau berada di Baqi’ sambil menengadahkan wajah ke langit.
Beliau bersabda: “Apakah kamu khawatir Allah dan RasulNya meminggirkanmu?”
aku menjawab: “Saya menyangka engkau datang kepada sebagian para isterimu”
Beliau lalu bersabda:
إِنَّ اللهَ تبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْـزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya Allah tabaarak wata’aalaa turun ke langit dunia pada
malam nishfu sya’ban lalu Dia Memberikan ampunan kepada lebih banyak dari
jumlah bulu kambing suku Kalb”(Imam Turmudzi berkata: Aku tidak mendengar
Hadits Aisyah ra kecuali dari jalur ini. Dan aku mendengar Muhammad – Imam
Bukhari - mengatakan bahwa hadits ini dha’if karena munqathi’ dalam dua
tempat)
Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ari ra dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah pada malam nishfu sya’ban melihat lalu Dia
memberikan ampunan kepada seluruh makhlukNya kecuali musyrik dan musyahin”(ini
berasal dari riwayat Ibnu Luhai’ah dan di dalamnya juga ada komentar tentang
riwayat Dhohhak dari Aiman al Kalbi. Imam Dzahabi berkata: Tidak diketahui
siapa dia)
Imam Thabarani dan Baihaqi meriwayatkan dari jalur Makhul dari Abu
Tsa’labah al Khasyani ra. sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
يَطَّلِعُ الله إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِيْنَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوْهُ
“Pada malam nishfu sya’ban Allah melihat para hambaNya lalu Dia
memberikan ampunan kepada orang – orang beriman dan menangguhkan orang – orang
kafir dan membiarkan para pemilik kedengkian dengan kedengkiannya sehingga
mereka meninggalkannya”
Imam Bazzar dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakar As Shiddiq ra dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:
يَنْـزِلُ اللهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِكُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ لِرَجُلٍ مُشْرِكٍ أَوْ رَجُلٍ فِى قَلْبِهِ شَحْنَاءُ
“Pada malam nishfu sya’ban Allah turun ke langit dunia. Lalu Dia
Memberikan ampunan kepada segala sesuatu kecuali lelaki musyrik dan lelaki yang
dalam hatinya ada kebencian” (Sanadnya tidak mengapa menurut al Hafizh al
Mundziri)
Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dha’if dari Utsman bin Abu al Ash
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ نَادَى مُنَادٍ : هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهَ فَلاَ يَسْأَلُ أَحَدٌ شَيْئًا إِلاَّ أُعْطِيَهُ إِلاَّ زَانِيَةً بِفَرْجِهَا أَوْ مُشْرِكًا
“Ketika malam nishfu sya’ban ada orang yang memanggil: “Adakah orang
yang memohon ampunan lalu aku memberikan ampunan kepadanya. Adakah orang yang
meminta lalu aku memberikan permintaannya. Maka tiada seorang meminta kecuali
diberikan permintaannya kecuali wanita pezina dengan kemaluannya atau orang
musyrik”(Beginilah dalam riwayat Imam Baihaqi. Sementara dalam riwayat
selainnya secara mutlak tanpa batasan malam nishfu sya’ban)
Dalam al Musnad dari Hasan al Bashri. Beliau berkata:
Utsman bin Abi al Ash bertemu dengan Kilab bin Umayyah yang sedang duduk di
tempat tukang pungutan liar (al Asyir) di Bashrah. “Kenapa kamu berada
di sini?” tanya Utsman. Kilab menjawab: “Ziyad yang menempatkanku di
sini” Utsman bertanya: “Apakah aku akan menceritakan kepadamu hadits yang aku
mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Kilab
mengiyakan dan Utsman lalu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
كَانَ لِدَاوُدَ نَبِيُّ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ سَاعَةٌ يُوْقِظُ فِيْهَا أَهْلَهُ يَقُوْلُ : يَاآلَ دَاوُدَ قُوْمُوْا فَصَلُّوْا فَإِنَّ هَذِهِ السَّاعَةَ يَسْتَجِيْبُ الله فِيْهَا الدُّعَاءَ إِلاَّ لِسَاحِرٍ أَوْ عَاشِرٍ
“Adalah Nabi Dawud Nabi Allah alaihissalam memiliki saat di mana Beliau
membangunkan keluarganya seraya berkata: Wahai keluarga Dawud, bangkit dan
shalatlah kalian karena sesungguhnya pada saat ini Allah mengabulkan do’a
kecuali tukang sihir atau tukang pungutan liar”
Kilab bin Umayyah segera meninggalkan tempat dan kemudian menaiki perahu
datang kepada Ziyad untuk meminta pengampunan, dan Ziyad pun mengampuninya.
Sementara dalam versi riwayat Thabarani dalam al Kabir dan al
Ausath dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan teks:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ نِصْفَ اللَّيْلِ فَيُنَادِي مُنَادٍ : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى هَلْ مِنء مَكْرُوْبٍ فَيُفَرَّجُ عَنْهُْ فَلاَ يَبْقَى مُسْلِمٌ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ إِلاَّ اسْتَجَابَ الله لَهُ إِلاَّ زَانِيَةً تَسْعَي بِفَرْجِهَا أَوْ عَشَّارًا
“Pintu – pintu langit dibuka pada separuh malam lalu ada orang yang
memanggil: “Apakah ada orang yang berdo’a maka ia dikabulkan. Adakah orang yang
meminta maka ia diberi. Adakah orang yang susah maka akan dihilangkan darinya
kesusahan” hingga tiada tersisa seorang muslim yang mengajukan suatu permohonan
kecuali Allah Mengabulkannya kecuali pezina dengan kemaluannya dan tukang
pungutan liar”
Tidak hal yang bertentangan di antara riwayat – riwayat ini sebagaimana
tidak samar lagi bahwasanya malam nishfu sya’ban secara umum tercakup dalam
riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabarani. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Makhul
dari Katsir bin Murrah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam:
فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ اللهُ ِلأَهْلِ اْلأَرْضِ إِلاَّ مُشْرِكًا أَوْ مُشَاحِـنًا
“Pada malam nishfu sya’ban Allah mengampuni penduduk bumi kecuali
musyrik dan musyahin” (Imam Baihaqi berkata: Hadits Mursal Jayyid. Katsir
bin Murrah adalah seorang Tabiin)
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ala’ bin al Harits sesungguhnya Sayyidah
Aisyah ra berkata: Suatu malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bangun
dan melakukan shalat. Beliau lalu memanjangkan sujud sehingga aku mengira
Beliau telah tiada. Menyaksikan ini aku bangkit dan menggerakkan jempol Beliau.
Ternyata jempolnya bergerak hingga aku kembali ke tempatku. Selesai shalat,
beliau bersabda: “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam telah mengkhianatimu?” aku menjawab: “Tidak,
demi Allah wahai Rasulullah, tetapi saya mengira engkau telah tiada karena
sujudmu yang panjang” Beliau bersabda: “Tahukah kamu malam apakah ini?”
aku menjawab: “Allah dan UtusanNya lebih mengetahui” Beliau bersabda:
هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Ini adalah malam nishfu sya’ban. Sesungguhnya Allah azza wajalla
melihat para hambaNya pada malam nishfu sya’ban lalu Dia mengampuni orang –
orang yang meminta ampun dan mengasihi orang – orang yang memohon rahmat dan
mengakhirkan para pemilik kedengkian” (Imam Baihaqi berkata: Ini adalah
Mursal Jayyid dan mungkin Ala’ mengambilnya dari Makhul)
Materi Malam Nisfu Sya’ban
Oleh : Ust. Masyhuda Al Mawwaz
[1]
Maksudnya jika kebetulan bertepatan dengan puasamu (ramadhan atau yang lain).
bila tidak bertepatan maka engkau secara khusus berpuasa di dalam keduanya
[2]
Demikian ringkasan dari buku Shu’ud al Aqwal wa Raf’il A’mal ila al Kabir al
Muta’aal milik Syekh Abdullah Sirajuddin
[3]
Demikian teks yang tertera dalam at Targhib wat Tarhib juga yang tertera
dalam Musnad Abu Ya’la 8/312 dengan nomer 4911. Yang pasti, terjadi Tahrif /
perubahan dalam teks hadits:
فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِيْ أَجَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
Karena yang benar adalah:
فَأُحِبُّ أنْ يُرْفَعَ – يُكْتَبَ - عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“…maka aku suka jika amalku diangkat – ditulis- dalam keadaan aku sedang
berpuasa”
Inilah teks yang tertera dalam berbagai riwayat shahih tentang masalah ini
selain hadits ini seperti halnya sabda Beliau shallallahu alaihi wasallam:
شَهْرٌ تٌرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي َوأَنَا صَائِمٌ
“Bulan disitu amal – amal diangkat dan aku suka jika amalku diangkat
saat aku sedang berpuasa”
Dan inilah yang sejalan dengan rentetan sabda Beliau shallallahu
alaihi wasallam dan diperjelas lagi dalam riwayat al Khathib dalam at
Tarikh dengan sanad sampai kepada Aisyah ra yang di dalamnya juga terdapat
teks:
" وَأُحِبُّ أَنْ يُكْتَبَ أَجَلِي وَأَنَا فِى عِبَادَةِ رَبِّي
“...dan aku suka ajalku ditulis saat aku sedang berada dalam beribadah
kepada Tuhanku”
[4]
Jam’u al Wasail fi Syarh As Syamail li Syekh Ali bin Sulthan Muhammad al
Qaari 2/121 -122
[5]
Faidh al Qadir syarah al Jami’ as Shaghir li al Munawi 4/18
[6]
Kasyf al Khafa’ wa Muzil al Ilbas li al Ajluni juz 2/ hal 9. al Hafizh
Zen al Iraqi dalam Syarah Tirmidzi berkata: Ini Dha’if sekali. (Faidh
alQadir 4/18) aku berkata: Inilah yang benar. Adapun penyebutan Ibnul Jauzi
maka itu tidak menjadi pembenar
[7]
An Nihayah fi Ghariibil Hadits wal atsar 2 / 449
[8]
Bani Kalb adalah suku besar yang di kalangan Arab paling banyak memiliki
kambing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar