Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami.
Islam dibangun di
atas suatu landasan (asas) yang satu yaitu aqidah. Aqidah ini sebagai
kaidah berfikir yang di atasnya semua pemikiran cabang tentang perilaku
manusia dalam kehidupan dengan berbagai sistemnya. Kaidah berpikir
tersebut adalah bahwasanya di balik alam, manusia dan kehidupan ini ada
pencipta yang menciptakan semuanya, dan menciptakan segala sesuatu yang
asalnya tidak ada yaitu Alloh Subhana wata'ala. Di wajib adanya, maka Dia bukanlah makhluk. Diapun Azali, maka Dia tidak terbatas seperti benda-benda tersebut. Alam, manusia, dan kehidupan ini adalah terbatas (mahdud). Ketika kita mengamati keterbatasan ini kita akan menemukan bahwa hal tersebut tidak azali,
maka keterbatasan ini pastilah merupakan ciptaan bagi yang lainnya,
ciptaan ini memiliki sifat yang lemah, kurang dan butuh pada yang
lainnya (Al Ghoir). Al Ghoir ini adakalanya merupakan makhluk bagi yang lainnya, atau pencipta bagi dirinya sendiri, atau azali yang wajib adanya.
Adapun Dia (Al Ghoir),
cipaan yang lain adalah batil atau salah, karena pemikiran demikian Dia
akan terbatas. Dia merupakan pencipta bagi dirinya sendiri juga batil,
sebab paa saat yang sama, Dia menjadi ciptaan dan sekaligus pencipta
bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, maka pencipta tersebut pasti
azali yang wajib adanya. Dia adalah Alloh Subhana wata'ala.
Akan
tetapi, sesungguhnya orang yang memiliki akal akan mampu untuk memahami
hanya dengan memperhatikan wujud benda yang ada di hadapannya, bahwa
benda-benda tersebut ada pencipta yang telah menciptkannya. Karena
semuanya bersifat kurang, lemah, dan butuh kepada yang lain, maka pasti
dia adalah makhluk. Oleh karena itu kita menemukan bahwa Al Quran Al
Karim mengajak manusia untuk mengamati sesuatu dan apa-apa yang ada di
sekililingnya, serta apa-apa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian
dia akan memperoleh bukti tentang wujud Alloh Ta'ala dan wujud Al Kholik Al Muddabir sebagaimana firman Alloh Ta'ala:
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta berlainan-lainan bahasa dan warna kulitmu." (QS. Ar Rum: 22).
"Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan
langit bagaimana dia ditinggikan, dan gunung-gunung, bagaimana dia
ditegakkan, serta bumi bagaimana di dihamparkan?" (QS. Al Ghosiyah: 17-20).
"Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang terpencar yang keluar di antara tulang sulbi
(laki-laki) dan tulang dada (perempuan)." (QS. Ath Thoriq: 5-7).
Dan dapat dilihat pada ayat-ayat yang lain yang senada.
Oleh karena itu, sesungguhnya iman kepada Al Kholik Al Muddabir
adalah sesuatu yang fitrah, hanya saja iman yang fitri tersebut kadang
kala timbul melalui wijdan (perasaan yang diyakini). Dan iman seperti
ini pengaruhnya (hasilnya) tidak dapat dijamin, juga tidak dapat
mencapai kekokohan iman jika dibiarkan begitu saja. Dengan demikian
manusia terkadang dapat terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan
(contoh adanya manusia yang menyembah batu, grumbul, dan benda lainnya).
Menyembah berhala, khurafat, dan turahaat (kebatilan-kebatilan) ini tidak lain adalah akibat dari salahnya wijdan.
Karena itu, Islam tidak akan membiarkan wijdan saja sebagai jalan untuk
menuju iman, maka Islam mengharuskan menggunakan akal bersama-sama
perasaan, dan menjadikan akal sebagai penentu dalam beriman kepada Alloh
Subhana wata'ala, agar keimanannya tersebut berasal dari akal dan bukti nyata.
Meskipun
manusia wajib menggunakan akal dalam mencapai keimanan kepada Alloh,
sesungguhnya ia tidak mungkin akan mapu memahami apa yang ada di atas
jangkauan indra dan akal. Hal ini karena akal itu terbatas sehingga
kemampuannya pun terbatas sekalipun genius. Karena itu pemahamannya juga
terbatas. Akal yang terbatas itu pasti tidak mampu menjangkau dzat
Alloh Subhana wata'ala. Pasti lemah untuk menjangkau hakekat-Nya, karena Alloh Subhana wata'ala berada di luar alam manusia dan kehidupan.
Maka
iman kepada-Nya adalah iman kepada wujud-Nya dengan melalui akal (aqli)
dan pada batas-batas kemampuan akal. Berbeda dengan menjangkau dzat
Alloh Subhana wata'ala, maka sesungguhnya hal ini adalah mustahil. Sebab dzat Alloh berada di luar alam, manusia, dan kehidupan, maka dzat Alloh Subhana wata'ala itu supra rasional. Sebuah hikmah mengatakan:
"Barangsiapa
yang berfikir tentang dzat Alloh maka dia akan menjadi mulhid (atheis),
dan barangsiapa yang berfikir tentang kenikmatan Alloh dia akan menjadi
muwahid (orang yang meng-Esakan Alloh Subhana wata'ala)."
Maka
akal tidak akan mungkin menjangkau apa yang ada di luar jangkauannya,
karena keterbatasan kemampuan untuk penjangkauan ini. Keterbatasan itu
sendiri seharusnya menjadi penguat keimanan (muqowiyatul iman) bukan menjadi pendorong keraguan (awaamil irtiyab). Karena itu tatkala iman kita kepada Alloh Subhana wata'ala lahir melalui jalan akal, maka pemahaman kita terhadap wujud Alloh Subhana wata'ala adalah pemahaman yang sempurna, juga perasaan kita kepada wujud-Nya adalah perasaan yang yakin.
Beragama
adalah fitrahnya manusia, karena beragama tersebut merupakan salah satu
nuraninya. Dalam fitrahnya, beragama ini adalah mensucikan penciptanya.
Dan pensucian (taqdis) ini
adalah ibadah. Ibadah adalah hubungan antara manusia dengan penciptanya.
Bila hubungan ini dibiarkan tanpa aturan, maka membiarkannya "tanpa
aturan" ini akan menyebabkan kekacauannya dan menyembah kepada selain al
Kholiq. Maka hubungan tersebut harus diatur dengan aturan yang benar.
Dan aturan ini tidak mungkin berasal dari manusia, sebab manusia tidak
mungkin memiliki pemahaman terhadap hakekat Al Kholiq, sehingga tidak mungkin dia membuat aturan antara dia dengan Alloh Subhana wata'ala. Maka aturan atau sistem ini pasti dari Alloh Subhana wata'ala.
Dengan demikian Al Kholiq
pasti menyampaikan aturan atau sistem ini bagi manusia. Karena itu
sudah selayaknya ada para Rosul yang bertugas menyampaikan agama Alloh Subhana wata'ala.
Adapun keimanan pada Al Quran, bahwa Al Quran itu dari Alloh Subhanahu wata'ala adalah karena Al Quran berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasululloh Sholallohu 'alahi wassalam. Adapun Al Quran bisa jadi merupakan buatan orang Arab, bisa jadi buatan Nabi Sholallohu 'alahi wassalam juga bisa jadi dari Alloh Subhanahu wata'ala,
dan tidak ada kemungkinan lain selain dari tiga kemungkinan tersebut
karena Al Quran menggunakan tata bahasa dan bersastra Arab. Adapun Al
Quran itu dari orang-orang Arab adalah bathil, karena Al Quran menantang
mereka untuk membuat semisal Al Quran sebagaimana firman Alloh:
"Maka datangkanlah satu surat yang semisalnya". (QS. Al Baqarah: 23).
Dan
mereka telah berusaha untuk membuat semisalnya namun mereka gagal
melakukannya. Sedangkan Al Quran itu berasal dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam juga
bathil, karena Rasululloh juga orang Arab yang tidak mampu membuat
semisalnya, beliau juga tidak mampu membuat semisalnya dan sepantasnya
Rasululloh tidak membuat yang semisalnya. Dengan demikian maka Al Quran
bukan dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam.
Apalagi Rasululloh memiliki hadits-hadits yang berbeda jauh dengan Al Quran dengan perbedaan yang jelas dari segi uslub (gaya
bahasa). Ucapan seseorang itu, sekalipun dia berusaha membuat berbagai
gaya bahasa, sesungguhnya ucapan itu memiliki kesamaan gaya bahasa yang
satu dengan yang lainnya, karena ucapan itu adalah bagian dari dirinya.
Dengan demikian, Al Quran pasti bukan ucapan orang Arab, juga bukan sabda Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam. Dengan demikian Al Quran pasti merupakan firman Alloh Subhana wata'ala.
Berdasarkan
pemikiran bahwa Rasululloh adalah pembawa risalah Al Quran dan Al Quran
itu firman Alloh dan syariat-Nya, dan tidak ada orang yang membawa
syariat kecuali Nabi dan Rasul, maka dengan demikian sudah pasti
Muhammad Sholallohu 'alahi wassalam adalah Nabi dan Rasul-Nya. Ini semua adalah dalil aqli
atas keimanan kepada Alloh, Rasul-Nya, dan Al Quran sebagai firman-Nya.
Maka dengan landasan ini keimanan kepada semua hal yang ghoib serta
semua hal yang diberitakan Alloh Ta'ala, baik yang dapat dijangkau akal
maupun tidak, dapat dilandasi dengan keimanan terhadap ketiga hal
tersebut.
Dengan demikian, Iman kepada hari kebangkitan, berkumpul di mahsyar, surga, neraka, perhitungan, adzab, jin, malaikat, syetan dan lain-lainnya yang diberitakan Al Quran dan hadits qoth'i lainnya adalah wajib. Meskipun keimanan terhadap yang ghoib tersebut berdasarkan dalil naqli dan dalil sam'i,
namun pada dasarnya adalah keimanan tersebut ditetapkan dengan akal.
Islam membaca aqidah tertentu untuk membangkitkan manusia dengan
pemikirannya tentang alam, manusia, dan kehidupan serta hubungannya
dengan apa yang ada sebelumnya yaitu Alloh Ta'ala dan dengan apa yang
ada sesudahnya yakni hari kiamat.
sumber: Buku Pembinaan Tingkat Dasar Ma'had Nurul Haromain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar