- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei kelompok ini di Jabotabek, menunjukkan ada 84,13 persen masyarakat tidak menyukai pernikahan beda agama. Lalu disimpulkan: “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.”
Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, di kalangan pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi.
Terhadap fenomena ini, disimpulkan: “Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.”
Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya Ahmadiyah dibubarkan oleh pemerintah.
Terhadap data tersebut, ditariklah sebuah kesimpulan: “Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh sama maknanya dengan sikap intoleran.”
Orang yang dikategorikan tidak toleran, lalu diberi cap radikal, yang direkomendasikan untuk dilakukan proses “deradikalisasi” terhadap mereka. “Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.”
Toleransi: fakta dan opini
Ingat kasus Dr. Marwa El-Sherbini? Muslimah Jerman asal Mesir ini, pada 1 Juli 2009, dibunuh dengan sangat sadis oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa – saat itu – sedang hamil 3 bulan. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang. Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W. yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir itu. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.
Entah mengapa, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional di Indonesia, juga di dunia internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual oleh media internasional. Juga, tidak terdengar gegap gempita tanggapan pejabat Tinggi Indonesia yang mengecam keras peristiwa tersebut.
Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.
Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”
Benarkah kerukunan umat beragama hancur di Indonesia setelah kasus Ciketing tersebut? Itu adalah citra yang sengaja dibentuk oleh sebagian kalangan untuk memberikan gambaran yang tidak proporsional tentang kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia. Padahal, kasus Ciketing adalah satu kasus yang muncul dari kondisi kerukunan umat beragama yang secara umum berjalan dengan baik.
Situs kompas.com, Sabtu, 25 September 2010, menyiarkan satu artikel berjudul “Robohnya Kerukunan Beragama”. Ditulis dalam artikel tersebut: “Penganiayaan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Asia Lumban Toruan, tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia. Negara yang dibangun di atas fondasi perbedaan-mengambil bentuk kalimat klasik Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika"-ternyata begitu rapuh. Perbedaan tidak lagi menjadi perekat persatuan, tetapi penyebab gesekan sosial di masyarakat. Inilah masalah yang dihadapi Indonesia kekinian.
Itulah sejumlah contoh penggambaran yang tidak proporsional terhadap gambaran kehiduan beragama di Indonesia. Satu kasus diangkat untuk kemudian dipotret secara khusus, menutupi gambaran kerukunan agama yang sebenarnya. Opini yang sengaja hendak dicipta adalah bahwa “Kerukunan umat Beragama di Indonesia sudah roboh, sudah hancur; dan bahwa kaum Muslim sebagai mayoritas tidak punya rasa toleransi terhadap kaum minoritas.”
Benarkah demikian? Tentu saja opini harus didudukkan sebagai opini. Opini adalah upaya pembentukan citra melalui penampilan sebagian fakta. Tidak mungkin seluruh fakta dan dimensinya ditampilkan di media massa. Padahal, antara opini dan fakta bisa sangat berbeda. Kekuatan media sangat berperan dalam pembentukan opini. Berikut ini sebuah contoh, bagaimana kontrasnya perbedaan antara fakta dan opini.
Di era 1990-an, dunia dihebohkan oleh suatu opini adanya Islamisasi di Timor Timur yang ketika itu sangat rajin diangkat oleh Uskup Belo ke luar negeri. Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof. Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).
Tetap cantik
Kasus-kasus konflik yang terjadi di Indonesia, baik antar atau intern umat beragama, seyogyanya tetap dilihat sebagai kasus. Kasus-kasus seperti itu terjadi di mana-mana; di negara-negara Barat, di dunia Islam, maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Kasus-kasus itu memang mencoreng wajah kerukunan umat beragama, tetapi kasus-kasus itu sampai saat ini tidak menghancurkan gambar besar kerukunan umat beragama itu sendiri. Sehari-hari masing-masing umat beragama di Indonesia, secara umum, masih bebas menjalankan agamanya masing-masing. Bahkan, saat terjadi konflik yang hebat antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku, konflik itu tidak menjalar di wilayah-wilayah Indonesia lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki daya resistensi yang tinggi untuk memelihara kerukunan umat beragama.
Kaum Muslim di Indonesia terbiasa melihat orang-orang non-Muslim menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kenegaraan – sesuatu yang tidak dinikmati kaum Muslim di AS atau banyak Negara Eropa. Kaum Muslim bisa melihat semarak Natal yang luar biasa di media massa pusat-pusat perbelanjaan. Di tengah-tengah isu robohnya kerukunan beragama, kaum non-Muslim di Indonesia juga bebas memiliki tanah seluas-luasnya di Jabodetabek, tanpa ada diskriminasi.
Walhasil, secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetap cantik. Kasus-kasus yang muncul bisa diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik. Pandanglah wajah yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya memandangi dan membesar-besarkan jerawat yang muncul. Tentu saja, jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati, bisa menimbulkan infeksi yang dapat merusak wajah cantik secara keseluruhan. Upaya sejumlah untuk menonjol-nonjolkan kasus dengan menutup wajah kerukunan umat beragama yang harmonis, justru bisa menjadi sumber masalah kerukunan umat beragama yang baru.
Dalam soal opini, umat Islam diperintahkan untuk berhati-hati dalam menerima informasi, khususnya yang berasal dari orang-orang fasik. Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik yang membawa berita, maka lakukanlah penelitian (tabayyun); agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengatahui (fakta yang sebenarnya), sehingga jadilah kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS Al Hujurat:6).
(***)
[Dr Adian Husaini]
sumber: http://mustanir.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar