A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin
Farqad Jazariya asy-Syaibani. Lahir di Wasit 132 H/748 M dan wafat 189 H/804
M), hidup di masa akhir dinasti Umawiyyah dan permulaan Abbasiyah. Ayahnya
seorang tentara Syam pada masa dinasti Umawiyah dan tinggal di Damaskus
kemudian pindah dan menetap ke Kufah. Dan ketika itu Kufah adalah sebagai
markaz ilmu fikih, lughah dan nahwu, sama seperti halnya di Basrah markaznya
ilmu adab, lughah dan nawhu.[1]
Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan
dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah
bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia
belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar
kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam
Abu Hanifah. Dari keduaimam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi
dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. [2]
Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah
diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.
Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri
dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30 tahun ia
mengunjungi Madinah yang berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar
belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran
fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tenang hadis yang selama ini
luput dari pengamtan Imam Abu Hanifah.
Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat
kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih
mengutamakan metodologi nalar (rakyu). Ia muga mempertimbangkan serta mengutip
hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dlam memperkuat pendapatnyua.
Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dalam
mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam
majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan
pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi
negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi
al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).
B. Karya-karyanya
Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku.
Kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut.
(1) Zahir
ar-Riwayah, kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan
oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang
mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang
menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah
ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut,
al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir,
as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan
pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih,
usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh
Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah
seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul
al-Kafi.[3]
(2) An-Nawadir, kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani
berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir
adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang
berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap
masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di
Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan
orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak
terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’
al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik
tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i
dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara
khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan
(bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).[4]
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya
Asy-Syaibani hidup ketika perkembangan fikih Islam mencapai puncaknya. Pada
masanya terbentuk dua pola pemikiran fikih yang berbeda. Yang pertama adalah
pola piker ahlurra’yi yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah di Irak dan
yang kedua adlaah pola piker ahlulhadis yang diwakili oleh Imam Malik di
Madinah. Di kalangan pengikut mereka tidak jarang
terjadi sikap saling menyalahkan. Pengikut ahlurra’yi berpandangan bahwa
hukum Islam mengalami kemandekan di tangan ahlulhadis, karena
keterbatasan mereka dalam menggunakan ar-ra’yu (rakyu, penalaran
rasional). Sebaliknya, pengikut aliran ahlulhadis menuduh pengikut ahlurra’yi
terlalu bebas memakai ijtihad melalui pendekatan nalar, sehingga mengakibatkan
tidak berfungsinya secara efektif sunnah Nabi Saw. Dalam kondisi demikianlah
asy-Syaibani mencoba menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut.
Sebagai pendukung Mazhab Hanafi, asy-Syaibani tidak dapat melepaskan diri
dari pemaksaan istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagai
contoh, jika penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kepada kaum
muslimin, maka menurut kias, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota
atau bentengnya dan tidak mencakup seluruh sarana dan fasilitas yang ada di
dalamnya. Akan tetapi, asy-Syaibani menolak pendapat berdasarkan kias. Dalam
hal ini ia beralih menggunakan istihsan. Menurutnya, berdasarkan
istihsan, perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta seluruh
sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena, dalam penggunaan istilah
yang umum, kata-kata qal’ah (benteng) atau bangunan, tetapi juga
meliputi segala isi dan penghuninya.
Asy-Syaibani sering
menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa tulisannya.
Terhadap hal-hal tertentu, ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama Irak
lainnya meninggalkan kias dan beralih kepada istihsan.
Walaupun demikian, dalam beberapa hal ia menolak pendapat gurunya, Imam Abu
Hanifah dan mengikuti pandangan ahlulhadis. Misalnya dalam persoalan
apakah seorang imam dapat memimpin shalat dengan posisi duduk sedangkan makmum
yang dipimpinnya shalat dengan posisi berdiri ia sependapat dengan Imam Malik
dan ahlulhadis. Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dengan
posisi berdiri, padahal imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri,
padahal Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam boleh duduk dalam memimpin
makmum yang shalat dengan posisi berdiri. Asy-Syaibani mengikuti tradisi Nabi
SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) yang memimpin shalat
dalam posisi berdiri. Menurutnya, tidak ada satu petunjuk pun yang menyampaikan
bahwa Nabi Saw dan al-Khulafa ar-Rasyidun pernah memimpin shalat dengan posisi
duduk. Karena itu, praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh
asy-Syaibani.[5]
Ia juga tidak segan mengkritik
Imam Malik dan ahlulhadis karena mereka mengabaikan tradisi (sunnah) Rasulullah
SAW yang mereka riwayatkan sendiri. Menurut sebuah riwayat dari Imam Malik
melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara Nabi
SAW jelas melarangnya (HR. Ahmad bin Hanbali dan Abu Dawud). Asy-Syaibani
mengkritik hal itu, karena menurutnya Imam Malik dan orang Madinah umumnya
menyampaikan dan meriwayatkan tradisi RAsulullah SAW, sedangkan mereka sendiri
tidak mengikutinya.
Konsistensi asy-Syaibani dalam mengikuti tradisi Rasulullah SAW juga
terlihat dalam perbedaan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah tenang masalah
ganimah (harta rampasan perang). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian
untuk tentara berkuda sama banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing
mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui autentisitas hadis Nabi SAW yang
mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian: dua bagian untuk kudanya
dan satu bagian untuk tentara untuk tentara itu sendiri (HR. Abu Dawud).
Asy-Syaibani menolak pendapat Imam Abu Hanifah dan mendukung pendapat tiga
bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadis di atas. Pembagian
ini, menurut asy-Syaibani meliputi satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu
bagian untuk kepentingan kuda dalam pertempuran, dan satu bagian lagi untuk
kepentingan tentara itu sendiri.[6]
Pandangan asy-Syaibani ini
memperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang independen. Menurut Fazlur
Rahman (1919-1988), pemikir neomodernisme Islam asal Pakistan, kitab as-Siyar
al-Kabir yang ditulis as-Syaibani dalam masa akhir hidupnya merupakan
ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritiknya terhadap pendapat yang berkembang
sebelumnya.
Di samping pandangannya yang independen tersebut, asy-Syaibani juga dikenal
sebagai tokoh peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Asy-Syaibani adalah
orang yang pertama yang menulis masalah hukum internasional dalam sebuah studi
sistematis as-Siyar as-Sagir dan as-Siyar al-Kabir adalah bukunya
yang membicarakan masalah tersebut. Dalam buku tersebut, asy-Syaibani
membicarakan masalah hubungan antara negara Islam dan negara-negara nonmuslim
baik dalam masa maupun damai. Dalam hubungan di masa perang
asy-Syaibani menandaskan pandangannya pada prinsip etika Alquran dan sunah. Ia
berpendapat bahwa peperangan hanya diizinkan dalam kondisi darurat dan untuk
tujuan mempertahankan diri (defensive), bukan menyerang atau menggangu
kedaulatan negara lain (ofensif). Kalaupun terjadi peperangan tidak dibenarkan
membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua renta, membakar negeri musuh atau
menebang pohon serta hal-hal yang sifatnya merusak (destruktif).[7]
Ia juga berpendapat bahwa orang musyrik dari negara asing yang meminta
perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan (suaka) ke
negara Islam wajib diberi perlindungan. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu,
sebagaimana dijelaskan dalam surat at-taubah (9) ayat 6.
Sementara dalam hubungan damai dengan negara nonmuslim, asy-Syaibani
menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati
bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak
boleh memutuskan hubungan diplomatic dengna negara lain secara sepihak. Di
samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang
ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi.
Menurut asy-Syaibani kalau negara asing membebaskan duta-duta negara Islam dari
pajak impor dan pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus
diberi keistimewaan yang sama.
[1]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir (Kairo: Syirkah
Misriyah, 1958), h. 7.
[2]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2006). Jilid 5, cet. Keenam, h.6686.
[3]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.
[4]Ibid.
[5]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 5, cet.
Keenam, h.6687.
[6]Ibid.
[7]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar