Rabu, 18 Desember 2013

BIOGRAFI IMAM ASY-SYAIBANI




A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad Jazariya asy-Syaibani. Lahir di Wasit 132 H/748 M dan wafat 189 H/804 M), hidup di masa akhir dinasti Umawiyyah dan permulaan Abbasiyah. Ayahnya seorang tentara Syam pada masa dinasti Umawiyah dan tinggal di Damaskus kemudian pindah dan menetap ke Kufah. Dan ketika itu Kufah adalah sebagai markaz ilmu fikih, lughah dan nahwu, sama seperti halnya di Basrah markaznya ilmu adab, lughah dan nawhu.[1]

Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Dari keduaimam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. [2] Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.

Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di sampig itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah yang berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlulhadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tenang hadis yang selama ini luput dari pengamtan Imam Abu Hanifah.

Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (rakyu). Ia muga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dlam memperkuat pendapatnyua. Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dalam mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

B. Karya-karyanya

Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut. 

(1) Zahir ar-Riwayah, kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.[3]

(2) An-Nawadir, kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).[4]

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya

Asy-Syaibani hidup ketika perkembangan fikih Islam mencapai puncaknya. Pada masanya terbentuk dua pola pemikiran fikih yang berbeda. Yang pertama adalah pola piker ahlurra’yi yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah di Irak dan yang kedua adlaah pola piker ahlulhadis yang diwakili oleh Imam Malik di Madinah. Di kalangan pengikut mereka tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan. Pengikut ahlurra’yi berpandangan bahwa hukum Islam mengalami kemandekan di tangan ahlulhadis, karena keterbatasan mereka dalam menggunakan ar-ra’yu (rakyu, penalaran rasional). Sebaliknya, pengikut aliran ahlulhadis menuduh pengikut ahlurra’yi terlalu bebas memakai ijtihad melalui pendekatan nalar, sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya secara efektif sunnah Nabi Saw. Dalam kondisi demikianlah asy-Syaibani mencoba menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut.

Sebagai pendukung Mazhab Hanafi, asy-Syaibani tidak dapat melepaskan diri dari pemaksaan istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagai contoh, jika penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kepada kaum muslimin, maka menurut kias, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota atau bentengnya dan tidak mencakup seluruh sarana dan fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi, asy-Syaibani menolak pendapat berdasarkan kias. Dalam hal ini ia beralih menggunakan istihsan. Menurutnya, berdasarkan istihsan, perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena, dalam penggunaan istilah yang umum, kata-kata qal’ah (benteng) atau bangunan, tetapi juga meliputi segala isi dan penghuninya.

Asy-Syaibani sering menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa tulisannya. Terhadap hal-hal tertentu, ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama Irak lainnya meninggalkan kias dan beralih kepada istihsan.

Walaupun demikian, dalam beberapa hal ia menolak pendapat gurunya, Imam Abu Hanifah dan mengikuti pandangan ahlulhadis. Misalnya dalam persoalan apakah seorang imam dapat memimpin shalat dengan posisi duduk sedangkan makmum yang dipimpinnya shalat dengan posisi berdiri ia sependapat dengan Imam Malik dan ahlulhadis. Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri, padahal imam harus memimpin shalat dengan posisi berdiri, padahal Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam boleh duduk dalam memimpin makmum yang shalat dengan posisi berdiri. Asy-Syaibani mengikuti tradisi Nabi SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) yang memimpin shalat dalam posisi berdiri. Menurutnya, tidak ada satu petunjuk pun yang menyampaikan bahwa Nabi Saw dan al-Khulafa ar-Rasyidun pernah memimpin shalat dengan posisi duduk. Karena itu, praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh asy-Syaibani.[5]

Ia juga tidak segan mengkritik Imam Malik dan ahlulhadis karena mereka mengabaikan tradisi (sunnah) Rasulullah SAW yang mereka riwayatkan sendiri. Menurut sebuah riwayat dari Imam Malik melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara Nabi SAW jelas melarangnya (HR. Ahmad bin Hanbali dan Abu Dawud). Asy-Syaibani mengkritik hal itu, karena menurutnya Imam Malik dan orang Madinah umumnya menyampaikan dan meriwayatkan tradisi RAsulullah SAW, sedangkan mereka sendiri tidak mengikutinya.

Konsistensi asy-Syaibani dalam mengikuti tradisi Rasulullah SAW juga terlihat dalam perbedaan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah tenang masalah ganimah (harta rampasan perang). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian untuk tentara berkuda sama banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui autentisitas hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian: dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk tentara untuk tentara itu sendiri (HR. Abu Dawud). Asy-Syaibani menolak pendapat Imam Abu Hanifah dan mendukung pendapat tiga bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadis di atas. Pembagian ini, menurut asy-Syaibani meliputi satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu bagian untuk kepentingan kuda dalam pertempuran, dan satu bagian lagi untuk kepentingan tentara itu sendiri.[6]

Pandangan asy-Syaibani ini memperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang independen. Menurut Fazlur Rahman (1919-1988), pemikir neomodernisme Islam asal Pakistan, kitab as-Siyar al-Kabir yang ditulis as-Syaibani dalam masa akhir hidupnya merupakan ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritiknya terhadap pendapat yang berkembang sebelumnya.

Di samping pandangannya yang independen tersebut, asy-Syaibani juga dikenal sebagai tokoh peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Asy-Syaibani adalah orang yang pertama yang menulis masalah hukum internasional dalam sebuah studi sistematis as-Siyar as-Sagir dan as-Siyar al-Kabir adalah bukunya yang membicarakan masalah tersebut. Dalam buku tersebut, asy-Syaibani membicarakan masalah hubungan antara negara Islam dan negara-negara nonmuslim baik dalam masa maupun damai. Dalam hubungan di masa perang asy-Syaibani menandaskan pandangannya pada prinsip etika Alquran dan sunah. Ia berpendapat bahwa peperangan hanya diizinkan dalam kondisi darurat dan untuk tujuan mempertahankan diri (defensive), bukan menyerang atau menggangu kedaulatan negara lain (ofensif). Kalaupun terjadi peperangan tidak dibenarkan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua renta, membakar negeri musuh atau menebang pohon serta hal-hal yang sifatnya merusak (destruktif).[7]

Ia juga berpendapat bahwa orang musyrik dari negara asing yang meminta perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu, sebagaimana dijelaskan dalam surat at-taubah (9) ayat 6.

Sementara dalam hubungan damai dengan negara nonmuslim, asy-Syaibani menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatic dengna negara lain secara sepihak. Di samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi. Menurut asy-Syaibani kalau negara asing membebaskan duta-duta negara Islam dari pajak impor dan pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus diberi keistimewaan yang sama.
 


[1]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir (Kairo: Syirkah Misriyah, 1958), h. 7.
[2]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006). Jilid 5, cet. Keenam, h.6686.
[3]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.
[4]Ibid.
[5]Abdul Aziz Dahlan, et.al. Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 5, cet. Keenam, h.6687.
[6]Ibid.
[7]Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, as-Siyar al-Kabir, h. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar