Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Nabi Sulaiman Alaihissalaam
bersabda yang
artinya, “Sungguh pada malam ini aku pasti akan mengelilingi (menggauli) seratus
wanita (para isterinya. dengan harapan ) setiap wanita akan
melahirkan
seorang anak lelaki yang akan berperang di jalan Allah” .
Malaikat berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ucapkanlah
Insya Allah!” Nabi Sulaiman lupa dan tidak mengucapkannya.
Maka ketika dia menggauli isterinya, tak ada
yang melahirkan kecuali seorang isteri yang hanya melahirkan
bayi separuh manusia (keguguran)” HR Bukhari.
Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits
ini. Antara lain, dalam menjalani pernikahan hendaknya
seseorang tidak semata–mata menjadikan kepuasan Libido sebagai rencana utama. Tetapi dalam pernikahan,
seharusnya niat mendapatkan generasi yang akan memperjuangkan
agama Allah menjadi prioritas utama. Demikian yang bisa
dipelajari dari seorang Nabi Sulaiman Alaihissalaam
.
Dengan jelas hadits di atas juga mengajarkan agar
dalam setiap kali mengabarkan akan menjalani suatu aktivitas
yang diharapkan hasilnya, seseorang hendaknya tidak meninggalkan ucapan Insyaa Allah.
Allah Mengajarkan dalam firmanNya: “Dan jangan
sekali–kali kamu mengatakan
terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan
itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut) “Insyaa Allah” QS al Kahfi: 23. Dengan begitu hasil yang ditargetkan
akan lebih bisa diharapkan dapat tercapai. Mengomentari
kealpaan Nabi Sulaiman Alaihissalaam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda: “Andai
Sulaiman berkata, “Insyaa Allah” maka dia tidak melanggar sumpah dan lebih besar peluang mendapatkan keinginannya” HR Bukhari.
Kegagalan Nabi Sulaiman Alaihissalaam memperoleh seratus
anak dari seratus isterinya adalah pelajaran berharga bagi
siapa saja bahwa Usaha bukanlah sebab yang memastikan hasil. Semua hasil yang didapat dan target yang
terpenuhi tidak lebih adalah anugerah Allah semata. Inilah
maksud ucapan Insyaa Allah yang artinya jika Allah Menghendaki. Kendati demikian setiap orang dianjurkan bahkan
diwajibkan berusaha dan mengambil sarana. Setiap orang diwajibkan bekerja supaya mendapatkan harta benda untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan orang–orang yang menjadi
tanggung jawabnya. Meski begitu ia tidak selayaknya meyakini
bahwa harta benda yang ia peroleh adalah karena
pekerjaannya. Sebab pada kenyataannya tidak semua
orang yang bekerja memperoleh harta benda. Bahkan
tidak sedikit seorang yang bekerja harus pulang dengan
tangan hampa. Bila ingin memiliki ilmu kepandaian maka seseorang harus mencarinya, tetapi kelak jika ilmu didapat
jangan sampai meyakini bahwa itu hasil dari pencariannya.
Sungguh banyak orang yang telah menghabiskan
waktu, tenaga dan harta benda untuk mendapatkan
kepandaian, tetapi ternyata tidak seluruh dari mereka bisa
memiliki kepandaian. Ini menujukkan bahwa kepandaian
adalah anugerah dari Allah semata, dan bukan dari usaha dan pencarian yang
dilakukan.
Seorang yang mempunyai anak juga demikian halnya, dia harus menikah dan berkumpul dengan isterinya. Meski begitu, realita membuktikan tidak semua pasangan mendapatkan keturunan. Ini artinya anak yang menjadi buah hati orang tua tidak lain adalah anugerah dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.
Akhirnya harus diketahui, disadari dan selalu diingat bahwa setiap manusia diwajibkan berusaha dan
menjalankan sarana untuk memperoleh anugerah dariNya. Dalam hikmah disebutkan, “Sebab anugerah kamu mendapat kemuliaan, tetapi anugerah tidak bisa didapatkan kecuali dengan kesungguhan (Usaha dan mengambil sarana)”.
Dalam hikmah lain juga disebutkan, “Ambil
sebab/sarana tetapi jangan pernah bersandar kepada sarana tersebut”
. Ketika seseorang meyakini
bahwa segala yang ia dapatkan adalah sebagai hasil dari usaha yang dilakukan,
berarti ia termasuk orang yang sombong, mengkufuri nikmat Allah dan yang paling
berbahaya lagi ialah menjadikan apa yang telah
didapatkan berada di ambang kehancuran. Orang seperti inilah yang layak diberi stigma sebagai pewaris Qarun
yang menyatakan kesombongannya:
“Sesungguhnya aku diberi harta itu adalah karena ilmu yang ada padaku”
QS al Qashash : 78.
Dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di atas - yang memberikan harapan besar kepada orang yang mengucapkan Insyaa Allah – dapat
difahami bahwa seseorang yang mengucapkan Insyaa Allah akan tertuntun
hatinya untuk menyandarkan hasil dari usaha yang dilakukan kepada
Allah. Hatinya dengan mudah menyadari bahwa hasil yang ia peroleh semata atas kehendak Allah. Ini adalah bentuk kepasrahan, Tawakkal kepada Allah.
Dan barang siapa ber -Tawakkal kepadaNya maka
Dia pasti mencintai dan mencukupinya. “Sesungguhnya
Allah mencintai orang–orang yang
bertawakkal” QS Ali Imran: 159. “Barang siapa ber – tawakkal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya “ QS ath Thalaaq : 3.[]
sumber: http://alwasath.blogspot.com/2013/11/memaknai-ucapan-insyaallah-dari-abu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar