Kamis, 26 Desember 2013

Memaknai Ucapan “Insya Allah”


Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Nabi Sulaiman
Alaihissalaam
 bersabda yang artinya, Sungguh pada malam ini aku pasti akan mengelilingi (menggauli) seratus wanita (para isterinya. dengan harapan )  setiap wanita akan
melahirkan  seorang anak lelaki yang akan berperang di jalan Allah” . Malaikat berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ucapkanlah Insya Allah!”  Nabi Sulaiman lupa dan tidak mengucapkannya. Maka ketika dia menggauli isterinya, tak ada yang melahirkan kecuali seorang isteri yang hanya melahirkan bayi separuh manusia (keguguran)” HR Bukhari.

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini. Antara lain, dalam menjalani pernikahan hendaknya seseorang tidak semata–mata menjadikan kepuasan Libido sebagai rencana utama. Tetapi dalam pernikahan, seharusnya niat mendapatkan generasi yang akan memperjuangkan agama Allah menjadi prioritas utama. Demikian yang bisa dipelajari dari seorang Nabi Sulaiman Alaihissalaam
.
Dengan jelas hadits di atas juga mengajarkan agar dalam setiap kali mengabarkan akan menjalani suatu aktivitas yang diharapkan hasilnya, seseorang hendaknya tidak meninggalkan ucapan  Insyaa  Allah. Allah Mengajarkan dalam firmanNya:  “Dan jangan sekali–kali kamu mengatakan
terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut) “Insyaa Allah”  QS al Kahfi: 23. Dengan begitu hasil yang ditargetkan akan lebih bisa diharapkan dapat tercapai. Mengomentari kealpaan Nabi Sulaiman Alaihissalaam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam  bersabda: “Andai Sulaiman berkata, “Insyaa Allah” maka dia tidak melanggar sumpah dan lebih besar peluang mendapatkan keinginannya”  HR Bukhari. 

Kegagalan Nabi Sulaiman Alaihissalaam  memperoleh seratus anak dari seratus isterinya adalah pelajaran berharga bagi siapa saja bahwa Usaha bukanlah sebab yang memastikan hasil. Semua hasil yang didapat dan target yang terpenuhi tidak lebih adalah anugerah Allah semata. Inilah maksud ucapan Insyaa Allah  yang artinya jika Allah Menghendaki. Kendati demikian setiap orang dianjurkan bahkan diwajibkan berusaha dan mengambil sarana. Setiap orang diwajibkan bekerja supaya mendapatkan harta benda untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan orang–orang yang menjadi tanggung jawabnya. Meski begitu ia tidak selayaknya meyakini bahwa harta benda yang ia peroleh adalah karena pekerjaannya. Sebab pada kenyataannya tidak semua orang yang bekerja memperoleh harta benda. Bahkan tidak sedikit seorang yang bekerja harus pulang dengan tangan hampa. Bila ingin memiliki ilmu kepandaian maka seseorang harus mencarinya, tetapi kelak jika ilmu didapat jangan sampai meyakini bahwa itu hasil dari pencariannya. Sungguh banyak orang yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan harta benda untuk mendapatkan kepandaian, tetapi ternyata tidak seluruh dari mereka bisa memiliki kepandaian. Ini menujukkan bahwa kepandaian adalah anugerah  dari Allah semata, dan bukan dari usaha dan pencarian yang dilakukan.

Seorang yang mempunyai anak juga demikian halnya, dia
harus menikah dan berkumpul dengan isterinya. Meski begitu, realita membuktikan tidak semua pasangan mendapatkan keturunan. Ini artinya anak yang menjadi buah hati orang tua tidak lain adalah anugerah dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.

Akhirnya harus diketahui, disadari dan selalu diingat bahwa setiap manusia diwajibkan berusaha dan menjalankan sarana untuk memperoleh anugerah dariNya. Dalam hikmah disebutkan, “Sebab anugerah kamu mendapat kemuliaan, tetapi anugerah tidak bisa didapatkan kecuali dengan kesungguhan (Usaha dan mengambil sarana)”.

Dalam hikmah lain juga disebutkan, “Ambil sebab/sarana tetapi jangan pernah bersandar kepada sarana tersebut” . Ketika seseorang meyakini bahwa segala yang ia dapatkan adalah sebagai hasil dari usaha yang dilakukan, berarti ia termasuk orang yang sombong, mengkufuri nikmat Allah dan yang paling berbahaya lagi ialah menjadikan apa yang telah
didapatkan berada di ambang kehancuran. Orang seperti inilah yang layak diberi stigma sebagai pewaris Qarun yang menyatakan kesombongannya:
“Sesungguhnya aku diberi harta itu adalah karena ilmu yang ada padaku”
QS al Qashash : 78.

Dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  di atas - yang memberikan harapan besar kepada orang yang mengucapkan Insyaa Allah – dapat difahami bahwa seseorang yang mengucapkan  Insyaa Allah akan tertuntun hatinya untuk menyandarkan hasil dari usaha yang dilakukan kepada Allah. Hatinya dengan mudah menyadari bahwa hasil yang ia peroleh semata atas kehendak Allah. Ini adalah bentuk kepasrahan,  Tawakkal  kepada Allah. Dan barang siapa ber  -Tawakkal  kepadaNya maka Dia pasti mencintai dan mencukupinya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang–orang yang bertawakkal” QS Ali Imran: 159.  “Barang siapa ber – tawakkal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya “ QS ath Thalaaq : 3.[]
 
sumber: http://alwasath.blogspot.com/2013/11/memaknai-ucapan-insyaallah-dari-abu.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar