Di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, ia dikenal salah satu guru besar madzhab Syafi’i. Di zamannya beliau diberi gelar “Ra’is al-Madzhab al-Syafi’i” (Pemimpin Madzhab Syafi’i). Salah satu yang menjadi kelebihannya adalah, ia seorang imam dalam ilmu hadis, sehingga mendapat gelar al-hafidz, sekaligus seorang mufti yang dikagumi.
Untuk urusan belajar, Imam Nawawi adalah disebut-sebut memiliki
semangat sangat tinggi. Ia tidak pernah puas belajar hanya satu bidang
ilmu. Ia dikenal mampu menggabungkan fikih dan hadis.
Ilmu fikihnya memiliki basis yang kuat
dari hadis. Sebab, beliau ulama ahli hadis sekaligus seorang mufti. Ia
mensyarah kitab Shahih Muslim, Syarh Shahih al-Muslim. Di bidang fikih ia terkenal karena menulis kitab fikih monumental, al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab, yang menjadi kitab induk di kalangan madzhab Syafi’i.
Di zaman Imam Nawawi, dunia Islam sedang
mengalami masa kejayaan di bidang ilmu. Imam Nawawi, adalah ulama haus
ilmu. Hidupnya bahkan, konon dikatakan, hanya untuk ilmu. Di antara
kelebihan Imam Nawawi adalah, kepakaran dalam fikih dan hadis, diakui
oleh para guru-guru besar pada zamannya dan sesudahnya.
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf
bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam
al-Nawawi. Dilahirkan di daerah bernama Nawa. Sebuah wilayah Hauran,
Damaskus pada bulan Muharram tahun 631 H. Ayahnya adalah seorang Syeikh
di Hauran. Murid Imam Nawawi, Ibn al-‘Attar menceritakan bahwa ayahnya
adalah seorang zuhud, wara’, wali Allah.
Di masa Imam Nawawi hidup, dunia Islam
mengalami peristiwa-peristiwa besar. Kota Baghdad diserang oleh bangsa
Tar-Tar. Umat Islam pada zamannya mengalami pasang-surut, terutama
karena sibuk dalam menghadapi perang Salib. Imam Nawawi mengalami masa
dimana umat Islam berhasil mengembalikan kejayaan di bawah Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi.
Meskipun umat Islam sedang mengalami
masa cobaan besar, di zaman Imam Nawawi, di beberapa wilayah Islam
tumbuh para ulama-ulama besar yang terkenal. Seperti Ibnu Sholah, Imam
al-Rofi’i, Ibn al-‘Adim, Ibnu Khallikan dan Ibnu ‘Arabi.
Imam Nawawi belajar pertama kali di kota
Nawa di bawah asuhan ayahnya. Sebelum usia baligh ia sudah menghafal
al-Qur’an. Ketia ia berumur 10 tahun, saat ia sedang menghafal
al-Qur’an, seorang ulama besar Damaskus, Syaikh Yasin bin Yusuf
al-Maraksyi datang ke rumahnya. Sang Syaikh berkata; “Anak ini semoga
menjadi seorang yang paling alim dan zuhud di zamannya serta orang-orang
akan mengambil manfaat ilmu darinya”.
Di usia tersebut hari-hari Imam Nawawi
dihabiskan dengan membaca dan menghafal al-Qur’an. Diceritakan oleh
seorang muridnya, bahwa Nawawi kecil dijauhi oleh teman-teman sebayanya,
karena tidak mau bermain-main, hanya sibuk membaca al-Qur’an. Ia tidak
suka bermain, seperti anak-anak lainnya. Ia lebih menyukai menghafal
al-Qur’an.
Menginjak usia 18 tahun, Imam Nawawi
diajak pindah oleh Ayahnya ke Damaskus, disebabkan kota Nawa tidak
kondusif lagi untuk memperdalam ilmu. Damaskus pada masa itu dipenuhi
para ulama dan menjadi tujuan para penuntut ilmu yang datang dari
berbagai penjuru Negara-negara Islam.
Di kota Damaskus dia bertemu dengan Imam
Masjid al-Umawiy, Syeikh Jamaluddin Abdul Kafi bin Abdul Malik
al-Dimasyqi. Imam Nawawi diberi petunjuk oleh Syeikh Abdul Kafi untuk
belajar di halaqah Mufti Syam, Syeikh Tajuddin Abdurrahman bin Ibrahim
bin Dhiya al-Fazariy yang terkenal dengan Syeikh Farkah. Dialah guru
pertama Imam Nawawi. Bersama Syeikh Farkah ia belajar beberapa tahun.
Atas petunjuk Syeikh Farkah ia tinggal di madrasah Rawahiyyah, yaitu
madrasah yang bersebelahan dengan Masjid Umawi.
Pada tahun pertama belajar di Damaskus beliau menghafalkan kitab At-Tanbih,
kitab fiqih madzhab Syafi’i karya Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi dalam
waktu 4 setengah bulan, beliau menyetorkan hafalan kitab Tanbih ini pada
Qodhil Qudhot Taqiyyuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Al-Husain bin Rozin
As-Syafi’i yang biasa disebut Syekh Ibnu Rozin. Lalu beliau
menghabiskan tahun pertama dengan menghafalkan seperempat awal kitab Al-Muhadzdzab yang juga karya Imam Syairozi.
Dikisahkan, di madrasah Rawahiyah
Damaskus, Imam Nawawi selama dua tahun tidak bisa tidur normal, seperti
layaknya manusia kebanyakan. Imam al-Dzahabi menceritakan ketekunan Imam
Nawawi dalam belajar, bahwa siang dan malam dihabiskan untuk belajar.
Tidak tidur kecuali memang mengantuk berat. Waktunya difokuskan untuk
membaca, menulis kitab, muta’lah dan mengunjungi para Syaikh.
Pada masa awal belajar itu, Imam Nawawi
sangat ketat mengatur jadwal mempelajari pelajaran di madrasah. Setiap
harinya ia membaca dua belas pelajaran dihadapan para masyayikh
Damaskus. Pelajaran yang ia baca misalnya, kitab al-Wasith, al-Muhadzdzab, al-Jami’ baina al-Shahihain, Shahih Muslim, al-Luma’, Ishlahu al-Mantiq, al-Muntakhob, kitab tashrif, kitab Asma’ Rijal, dan kitab Tauhid.
Seperti kebiasaan para ulama dahulu,
Imam Nawawi mencari banyak guru untuk beberapa bidang ilmu. Imam Nawawi
belajar kepada sejumlah Syaikh yang pakar di bidangnya. Ia tidak hanya
belajar pada satu dua guru, tapi tercatat ia belajar kepada duapuluh
tiga Syaikh. Di antaranya yang utama adalah; guru bidang fikih: Syaikh
al-Farkah, Syeikh Abdurrahman bin Nuh al-Maqdisi al-Dimasyqi (mufti
Damaskus), di bidang ilmu hadis: Syaikh Ibrahim bin Isa al-Andalusi,
Syaikh Abu Ishaq al-Wasithy, Syeikh Zainuddin Abul Baqa’ al-Nablusi,
Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad al-Anshari al-Syafi’i, Syeikh Zainuddin
Abul Abbas bin Abdul Da’im al-Maqdisi, guru di bidang Ilmu Ushul:
Syaikh Abul Fath Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi al-Syafi’i, di
bidang Ilmu Nahwu : Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, Syeikh al-Fakhr
al-Maliki dan lain-lain.
Di samping menguasai berbagai ilmu, ilmu
yang paling menonjol dikuasai adalah Fikih dan Hadis. Ia menjadi
seorang Imam di bidang hadis. Sehingga, di kalangan ulama’ ia dikenal
Muhaddis dan Faqih. Ia menguasai madzhab-madzhab para sahabat dan
tabi’in beserta ikhtilaf (perbedaan) di antara mereka. Kitab fikihnya yang terkenal adalah Majmu’ syarah kitab Muhadzdzab.
Imam Ibn Kastir mengatakan: “Imam Nawawi adalah seorang guru besar
madzhab Syafi’i, pembesar ulama’ fikih pada zamannya”. Di bidang hadis
ia mensyarah kitab Shahih Muslim dan Shahih Bukhari. Di bidang hadis ia
mendapat gelar al-Hafidz. Ilmu Hadis termasuk menjadi perhatian penting
Imam Nawawi. Dalam Syarh Muslim ia mengatakan bahwa termasuk ilmu yang
paling penting adalah ilmu mengetahui hakikat hadis, matan hadis,
mempelajari status shahih, hasan dan dhaifnya hadis dan hal-hal lain
terkait dengan ilmu hadis.
Ketinggian ilmunya diakui ulama-ulama
kenamaan. Imam Al-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang
berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok
manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah
(rasa selalu diawasi oleh Allah) baik di saat sepi maupun ramai. Beliau
tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah,
makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti
dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan
hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak”. Diceritkan, Imam Nawawi
enggan diberi gelar Muhyiddin, karena tawaddu’nya ia kepada Allah.
Beliau selalu berusaha untuk melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering
berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam
mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada
ahlinya. Abu al-Abbas bin Faraj berkata: “Ia telah berhasil meraih 3
tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk
meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang
dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan
ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi
munkar”.
Imam Nawai telah berhasil menulis karya
47 kitab. Ia sebenarnya menulis karya judul lebih dari 47, namun belum
sempat terselesaikan sampai beliau wafat pada usia 46 tahun. Karya
kitabnya adalah; Syarh Shahih Muslim, al-Raudhah, Minhaju
al-Thalibin, al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalam Sayyidi al-Abrar,
al-Tibyan fi Adabi Hamlati al-Qur’an, al-Tahrir fi Alfadzi al-Tanbih,
al-‘Umdah fi Tashihi al-Tanbih, al-Idhah fi al-Manasik, al-Irsyad,
al-Arba’in al-Nawawiyah, Bustan al-‘Arifin, Manaqib al-Syafi’i,
Mukhtashar Asadul Ghobah, al-Fatawa al-Musammah bi al-Mas’il
al-Mantsurah, Adabul Mufti wa al-Mustafti, Masail Takhmis al-Ghonaim,
Mukhtashor al-Tadzhib, Daqoiq al-Raudah, Tuhfah Tullabul Fadhail,
al-Tarkhish fi al-Ikhram wa al-Qiyam, Mukhtashar Adab al-Istisqa wa
Ru’usil Masail, Manarul Huda, al-Maqashid, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, Syarh al-Wasith, Syarhul
Bukhari, Syarh Abi Dawud, al-Imla’ ala Hadits al-A’mal binniyat, Kitabul
Amaliy, al-Khulashoh fi Ahadisil Ahkam, Thabaqatul Fuqoha’, al-Tahqiq,
Tuhfatul Thalib al-Nabih, Jami’ al-Sunnah, Muhimmatul Ahkam, al-Ushul wa
al-Dhawabith, al-Isyarat,Tuhfatul Walid wa Raghbatul Ro’I, Khulasotul
Ahkam fi Muhimmatis Sunan wa Qawaidul Islam, Ruhul Masa’il fi al-Furu’,
‘Uyunul Masa’il al-Muhimmah, Ghaitsu al-Naf’ fi Qiraati al-Sab’,
al-Mubham min Hurufil Mu’jam, Mir’atuz Zaman fi Tarikhil al-‘A’yan.
Imam Nawawi wafat pada 24 Rajab tahun
676 pada usia 46. Beliau belum sempat menikah. Ketika kabar wafatnya
beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan
sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa
kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh
bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk
menshalatkannya.
Dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab beliau menulis pesan bahwa keutamaan ilmu itu untuk para penuntut ilmu yang mencarinya karena ridha Allah. Hukumnya tercela (madzmum) menuntut ilmu dengan tujuan duniawi, mencari kedudukan, pangkat, kehormatan, atau menginginkan popularitas.
copas dari: http://inpasonline.com/new/teladan-imam-nawawi-dalam-menuntut-ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar