- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Kondisi kebebasan nyaris tanpa
batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut Socrates (469-399 SM)
-- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’,
memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal;
lebih rendah nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para
pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria
pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara dipimpin oleh sedikit
orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people),
kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri,
yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi
sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka
akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato, (New York: The New American Library), hal. 123).
Adalah menarik untuk membandingkan
keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi Perancis pada saat-saat
negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan Napoleon.
Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan
Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan
terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang
sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility).
Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil
bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan
penyensoran terhadap buku-buku yang dinilai melawan ajaran Gereja,
mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak
menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun.
Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam
kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga
mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir
semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis.
Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis
untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan monarkhi. Dan itu terjadi pada
14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara
Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama.
Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan fraternity”
(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama
beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat
Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang
memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi
antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya,
pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai pengikut
rezim sebelumnya.
Di saat-saat berkembangnya anarkhi
dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama
Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun
1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih
termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan
Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam
kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia
bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan
mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga
konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun
1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan
penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di
Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar
Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya.
Napoleon melakukan perombakan
sistem pemerintahan di Perancis. Ia mengembalikan Perancis ke dalam
sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened despotism”
(despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan
lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi
dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme,
menentang persekusi keagamaan, dan menghilangkan diskriminasi warga
negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol
perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened despotism”
merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara.
Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai
dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang
karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada
pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik.
Berbagai cara dilakukan Napoleon
untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk
meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang
hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik
sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan
Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan
berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas
keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan
berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia
mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya,
ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai
lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi.
Di tangan Napoleon, Perancis
kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 1805-1807,
Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal
Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali
Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara
besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme.
Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara
Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang
membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814
Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan
Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun
kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur
kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis dan Napoleon diringkaskan dari buku Western CivilizationA Brief History, karya Marvin Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997).
sumber: http://mustanir.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar