Kamis, 18 Juni 2015

Puasa Membentuk Kecerdasan Spiritual dan Emosional


Puasa dapat membentuk kecerdasan spiritual dan emosional. Sebagaimana telaah Bapak Abu Rokhmad dan Bapak Umar Ma’ruf yang pernah di publish di Suara Merdeka. Secara detail beliau berdua menjelaskan bagaimana puasa dapat membentuk kecerdasan spiritual seseorang melalui beberapa dalil dan penjelasan mengenai spiritual intelligence. Bagaimana uraiannya? Berikut adalah artikel lengkapnya

RAMADAN merupakan bulan yang penuh berkah. Di dalamnya terdapat beribu hikmah yang dijanjikan Allah bagi mereka yang beriman. Tidak berlebihan bila Nabi pernah menggambarkan orang yang tahu hikmah Ramadan akan mengharap Ramadan berlangsung setahun penuh.

Kewajiban berpuasa bagi orang-orang yang beriman ini disandarkan pada Alquran, surat Albaqarah ayat 183, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa.”

Dari ayat ini ditegaskan bahwa iman merupakan modal dasar dan bekal primer kaum muslimin untuk menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Mengingat puasa hanya karena Allah, maka kesadaran keimanan harus selalu dihadirkan dalam hati dalam menunaikan ibadah ini. Sebab tanpa kesadaran keimanan, puasa yang dilaksanakan tak memiliki nilai apa-apa, kecuali haus dan lapar.

Puasa di bulan suci Ramadan merupakan momentum istimewa untuk mengembangkan kesadaran hati sebagai kesadaran tertinggi. Caranya adalah menjadikan puasa sebagai instrumen reformasi-spiritual atau pendakian spiritual. Secara epistemologis keagamaan, pendakian spiritual dalam prosesi ibadah puasa ini dapat dicapai melalui tiga tahapan.

Al-Ghazali menjelaskan tiga tahapan ibadah puasa sebagai proses pendakian spiritual sebagai berikut: Pertama, puasa orang awam, yang sekadar menahan rasa haus, lapar dan hubungan seksual. Kedua, puasa orang khusus, yang bukan sekadar menahan rasa haus, lapar dan hubungan seksual, tetapi juga mampu menahan inderanya dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa orang super khusus khawas al-khawas, selain sanggup menahan keempat hal di atas, ditambah dengan puasa hati nurani.

Puasa hati nurani atau puasa batiniah ini adalah puasa yang dapat mengendalikan pemikiran, hati dan imajinasi kita dan segala yang menjauhkan kita dari kehadiran Tuhan. Inilah puncak tertinggi pendakian spiritual untuk mencapai kesadaran tertinggi. (Sukidi, 2001).

Dalam konteks inilah, puasa sejati adalah puasa hati nurani, yang menjadi instrumen penting untuk menyucikan hati kita. Tidak berlebihan, jika orang-orang arif dan bijak zaman dulu sering mengajak kita untuk menyucikan hati. ”Karena mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar dalam melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan,” demikian kata Al-Rumi.

Sebagai makhluk jasmaniah dan ruhaniah, manusia memiliki potensi dalam dirinya, baik yang berhubungan dengan dunia material maupun dunia spiritual. Selain mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala fisik yang diamatinya, manusia juga dapat menyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi. Bila salah satu potensi dikembangkan, sementara lainnya dimatikan atau dibiarkan hidup seadanya, maka dimungkinkan manusia hidup dalam ketidakseimbangan.

Jean Jaques Rousseau menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan hati nu-raninya. Manusia yang hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat. (Rahmat, 1995).

Dalam konteks inilah puasa sebagai salah satu media untuk menyucikan hati dan mengasah ketajaman batin sangat diperlukan. Jika hati telah bersih, maka potensi kecerdasan spiritual yang terpendam dalam diri kita lambat laun akan muncul. Sebab, kecerdasan spiritual (SQ) mampu mengungkap sisi perenial (yang asasi atau abadi) dalam struktur kecerdasan manusia.

Puasa Membentuk Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kelanjutan mata rantai keilmuan dalam bidang psikologi, setelah keberadaan pengukuran kecerdasan melalui metode IQ dan EQ semakin dipertanyakan. Dalam buku Menjadi Jenius seperti Leonardo da Vinci (2001) misalnya, diungkapkan kelemahan dasar dari konsep kecerdasan IQ adalah skor IQ ternyata bisa ditingkatkan secara signifikan me-lalui pelatihan yang tepat.

Menurut Michal Levin dalam Spiritual Intellegence, Awakening the Power of Your Spirituality and Intuition (2000) menyatakan bahwa pengetahuan spiritual perlu ditancapkan ke ranah kesadaran. Karena spiritualitas sebatas pengetahuan menjadi tak bermakna. Apalagi, pengetahuan seringkali mengganggu pikiran. Orang yang cerdas secara spiritual bukan berarti kaya dengan pengetahuan spiritual, melainkan sudah merambah ke dalam kesadaran spiritual. Kesadaran ini terefleksikan ke dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sikap hidup yang arif dan bijak secara spiritual, toleran, terbuka, jujur, cinta kasih dan Iain-lain. Inilah inti sejati kecerdasan spiritual.

Khalil A Khawari dalam bukunya Spiritual Intelligence, A Practical Guide to Personal Happiness (2000) mengungkapkan perspektif ‘kecerdasan spiritual’ sebagai pembimbing untuk meraih kebahagiaan spiritual. Sebagai makhluk spiritual, kebahagiaan manusia tidak bisa lagi diukur dengan uang, kesuksesan, kepuasan seksual dan lain-lain, tetapi kebahagiaan yang diletakkan dalam wilayah spiritual.

Dengan demikian, jika kecerdasan intelektual (IQ -Intelligence Quotient) bersandarkan nalar, rasio-intelektual, sementara kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient) bersandar pada emosi, maka hakikat kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient) disandarkan pada kecerdasan jiwa, ruhani dan spiritual. SQ adalah kecerdasan generasi ketiga yang diyakini mampu melahirkan kembali manusia setelah sekian lama mengalami alienasi dan disorientasi hidup.

Puasa dan Kesucian Hati

Puasa seperti apa yang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual? Puasa yang dilakukan dengan kesucian hati dan kebersihan jiwalah yang dapat menumbuhkan apa yang dikatakan oleh psikolog Danah Zohar dan Ian Marshal (2000) sebagai kecerdasan spiritual. Atau puasa yang dilakukan dengan melibatkan hati nurani, sebagaimana yang disebut oleh Al-Gazali sebagai puasa orang yang super khusus. Puasa hati nurani inilah puasa sejati yang dapat menjadi instrumen penting untuk menyucikan hati kita.

Puasa seperti ini, selain menghindari makan, minum, tidak melakukan hubungan seksual, menghindarkan indera dari perbuatan dosa, juga puasa yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari Allah, baik berupa pahala, kesehatan, balasan atau bahkan surga. Puasa tersebut dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena perintah Allah. Sebab jika suatu ibadah dilaksanakan karena motivasi-motivasi lain, maka yang didapat hanyalah apa yang diharapkan, sedang yang lain, ia tidak akan memperolehnya.

Oleh karena itu, ikhlas adalah kata kunci pelaksanaan ibadah puasa (juga ibadah yang lain). Jika ibadah puasa dilaksakan dengan ikhlas (semata-mata melaksanakan perintah Allah), maka rentetan efek positifnya bukan hanya berupa pahala, surga, kesehatan atau apa pun yang diharapkan. Lebih dari itu, Allah akan memberikan keridaan kepadanya. Siapa pun yang memperoleh rida, maka apa pun yang dimiliki oleh Allah akan diberikan kepadanya, diminta atau tidak.

Dengan demikian, ikhlas ibarat sebuah tiket dalam perjalanan pesawat terbang. Seseorang cukup rnengantongi sebuah boarding pass untuk melaksanakan perjalanan jauh yang melelahkan. Diminta atau tidak, berbagai tasilitas dalam pesawat yang dibutuhkan oieh penumpang akan diberikan. Misalnya, pelayanan yang ramah dari pramugari, dapat makanan dan minuman, kenyamanan dan kesenangan dalam perjalanan dan lain-lain. Jika seorang muslim berpuasa dengan ikhlas, maka kelak ia akan mendapatkan hak-haknya berupa kebahagian dan ketenangan hidup.

Puasa hati nurani inilah yang akan menyingkap seluruh rahasia ketuhanan, yang terpancar dari dalam jiwa manusia. Jiwa manusia yang tenang, akan mudah menerima hidayah dan cahaya keagungan Tuhan dalam menjalani kehidupan. Hidayah inilah yang akan menuntun dan mempermudah manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang semakin kompleks. Apa yang ingin ditekan di sini adalah bahwa hati yang hening dan bersih lebih mudah menerima kecerdasan spiritual yang dipancarkan dari Allah.

Puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang dilakukan oleh orang yang melihat segala sesuatu dengan mata hati. Mata hatilah yang dapat menyingkap hakikat kebenaran yang tak tampak oleh mata.

Puasa yang dilakukan tanpa melibatkan mata hati adalah puasa yang hampa, kehilangan orientasi ilahiahnya. Dengan demikian, indikator keberhasilan puasa seseorang bukan pada bentuk lahiriah ibadahnya, tetapi pada kegiatan amaliah dan sikap hidupnya.

Demikian ulasan yang sangat menarik mengenai puasa. Dimana puasa ternyata dapat meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosional seseorang. Karena itu, pupuklah diri Anda dengan berpuasa yang baik, sehingga mendapatkan faedah yang sangat baik ini. Selamat berpuasa!

Sumber: http://kafeilmu.com/puasa-membentuk-kecerdasan-spiritual-dan-emosional/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar