(The Sultan
Salahuddin Abdul Aziz Mosque in Shah Alam)
Menurut sejarah ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid.
Pertama, tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah Mu’iz li Dinillah, salah seorang khalifah dinasti Fathimiyyah di Mesir yang hidup pada tahun 341 Hijriyah. Kemudian, peringatan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah tahun 524 H. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-Sakhawi (w. 902 H), walau dia tidak mencantumkan dengan jelas tentang siapa yang memprakarsai peringatan Maulid saat itu.
Kedua, Maulid
diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630H yang mengadakan acara
Maulid besar-besaran. Saat itu, khalifah Mudhaffar sedang berpikir tentang cara
bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan
nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan, seorang raja Mongol
yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi
tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia.
Untuk
menghadapi ancaman Jengiz Khan itu khalifah Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Tidak
tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam
acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan
30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas. Kemudian,
dalam acara itu khalifah Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan
nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat
dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.
Sejatinya, dua pendapat di atas sama-sama benar.
Alasannya, karena peringatan Maulid tidak pernah ada sebelum abad ketiga dan diadakan pertama kali oleh Mu’iz li Dinillah, dan ini hanya bertempat di Kairo dan masih belum tercium ke lain daerah.
Sedangkan khalifah Mudhaffar adalah orang pertama yang memperingati Maulid di Irbil, yang dari khalifah Mudhaffar inilah peringatan Maulid mendunia.
MAULID DAN
JIHAD
Pada masa Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Perang salib I digelorakanoleh Paus Urban II. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas diBagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Pada masa Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Perang salib I digelorakanoleh Paus Urban II. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas diBagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut
Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara
mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di
seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awwal, yang setiap
tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini diperingati secara massal. Sebenarnya
hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya,
Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah
Utara.
Untuk
mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, khalifah Muzaffaruddin
di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma peringatannya
bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar peringatan
maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan
meningkatkan semangat juang, bukan sekadar peringatan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul fitri dan Idul adha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa peringatan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan peringatan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu
kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang
pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara
penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah
mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi
tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji.
Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca
masyarakat di kampung-kampung padaperingatan maulid nabi.
Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidal-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
MAULID SEBAGAI
SEBUAH BID’AH
Hal baru yang tidak ada di masa para pendahulu (salaf salih) tidak bisa diklaim sebagai bid’ah sesat secara keseluruhan. Bila sedemikian, maka banyak sekali tradisi-tradisi —yang memiliki tendensi hukum syara sebab dicakup oleh kaidah universal— diklaim sebagai bid’ah sesat. Tentang bid’ah, Imam Syafi’i, Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi dan banyak imam lain mengatakan bahwa bid’ah diklasifikasi menjadi lima. Ada wajibah, mandubah, makruhah, mubahah danmuharrmah. Termasuk tradisi peringatan Maulid.
Hal baru yang tidak ada di masa para pendahulu (salaf salih) tidak bisa diklaim sebagai bid’ah sesat secara keseluruhan. Bila sedemikian, maka banyak sekali tradisi-tradisi —yang memiliki tendensi hukum syara sebab dicakup oleh kaidah universal— diklaim sebagai bid’ah sesat. Tentang bid’ah, Imam Syafi’i, Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi dan banyak imam lain mengatakan bahwa bid’ah diklasifikasi menjadi lima. Ada wajibah, mandubah, makruhah, mubahah danmuharrmah. Termasuk tradisi peringatan Maulid.
Ulama sepakat
bahwa tradisi Maulid bukan sunnah. Bahkan, bila ada yang meyakini bahwa tradisi
Maulid harus diadakan pada hari-hari tertentu maka dia telah berbuat bid’ah (ibtida’)
yang keji dalam agama. Demikian ini telah ditegaskan Sayid Muhammad bin Alwi
al-Maliki. Menurut beliau, tradisi Maulid adalah bid’ah yang hasanah
(mandubah). Beliau mengatakan, tradisi Maulid dinilai bid’ah dilihat dari sisi
berkumpul bersama-sama dan dinilai hasanah karena memiliki tendensi-tendensi
hukum syara dalam entri-entri kegiatan di dalamnya. Di dalam peringatan Maulid
terdapat dzikir, shalawat, memuliakan Nabi dan sedekah, yang kesemuanya
dianjurkan oleh syara. Pendapat lain juga dijelaskan oleh Abu Bakar Sayyid Bakri ibn Sayid Muhammad
Syathaal-Dimyathi. Beliau mengutip banyak pendapat yang sepakat atas hukum bid’ah hasanahnya
memperingati Maulid, diantaranya, pendapat Imam Suyuthi, Imam as-Subki, Ahmad
bin Zaini Dahlan dan Imam Abu Syamah. Abu Syamah mengatakan memperingati Maulid
adalah paling baiknya bid’ah.
Peringatan Maulid itu, di samping juga sebagai momen bersedekah, sebagai bukti akan kebahagiaan dan kecintaan Muslimin kepada Nabi Muhammad saw. Untuk hal ini, ada baiknyadikutip pendapat Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah mengatakan Muslimin yang memperingati Maulid atas niat yang tulus dan atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad saw, maka akan mendapat pahala, bukan atas bid’ahnya. Oleh karena itu, pada saat yang sama Ibnu Taimiyah memberikan solusi agar bid’ah yang terjadi dalam peringatan Maulid diganti dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan syara.
Jadinya, peringatan Maulid akan mendapatkan pahala penuh.
MAULID SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Di era ini Muslimin berada dalam hegemoni Barat dan cenderung menjadi bulan-bulanan. Tidak jarang Muslimin saat ini menangkap informasi tidak berimbang dan selalu menguntungkan Barat.
Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa sejarah Barat adalah sejarah kebohongan yang ditampilkan dalam frame yang begitu sistematis. Pada keterjebakan posisi ini Muslimin mendambakan kembalinya kejayaan Islam pada abad-abad dahulu dan Muslimin tahu bahwa kekalahan Muslimin berada pada titik kurangnya konsolidasi antar-negara Islam dunia.
Pertanyaan, di mana kiprah OKI (Organisasi Konfrensi Islam) selaku organisasi persatuan Islam dunia, sering muncul namun tidak pernah mendapat jawaban real. Artinya, momen-momen show of force (unjuk kekuatan), seperti peringatan Maulid dan peringatan besar lainnya, sudah sepantasnya tidak dibiarkan berlalu begitu saja.
Momen-momen besar Islam seperti itu sangat berpotensi dan efektif untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin, bukan hanya pada taraf nasional tapi internasional. Bahkan, kesempatan ini dinilai sebagai target utama diperingatinya hari kelahiran Nabi Muhammad ini. Bila kembali pada sejarah, di atas sudah dijelaskan bahwa peringatan Maulid awal mulanya diadakan sebagai langkah untuk menyalakan api semangat dalam tubuh Muslimin ketika berhadapan dengan ancaman asing.
Padahal, untuk masa ini Muslimin lebih berkepentingan untuk menyalakan kembali semangat Islam. Karena kondisi masa yang sedemikian ruwet, dan ditambah dengan keterjebakan Muslimin di bawah hegemoni asing, sudah saatnya peringatan Maulid tidak dilihat dari sisi bid’ah hasanah-nya, sebab sisi ini telah disepakati memiliki ekses yang positif bagi Muslimin. Tapi dipandang dari sisi sebagai momen konfederasi-konsolidasi Muslimin tingkat internasional demi ‘izzul Islam wal muslimin.
>>>
Hikmah Maulid Nabi Muhammad
==============================
Maulid Nabi Muhammad saw adalah sebuah upacara atau peringatan untuk mengenang lahirnya Nabi Muhammad, saw. Nabi Muhammad merupakan penyebar agama islam. Dalam hidupnya, beliau memiliki perilaku yang baik, sehingga disebut sebagai uswatun hasanah (contoh teladan yang baik). Ide maulid nabi terjadi pada saat Salahudin (berasal dari suku Ayyub) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Ia menghimbau agar jemaah haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing mensosialisasikan perayaaan Maulid Nabi.
Salahuddin
menyatakan bahwa mulai tahun 580 H (1184 M), setiap 12 Rabiul-awwal, dirayakan
sebagai hari Maulid Nabi dan diisi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan
semangat juang umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak
zaman Nabi peringatan seperti itu tidak ada. Lagi pula hari raya resmi menurut
ajaran agama hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi
Salahuddin kemudian menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi hanyalah kegiatan
yang menyemarakkan syiar agama, bukan peringatan yang bersifat ritual, sehingga
tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Dampak Maulid Nabi Muhammad
Salahuddin Al Ayyubi dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin berasal dari dinasti Ayyub (setingkat gubernur). Ia memerintah dari tahun 1174-1193 M atau 570-790 H. Ia bukanlah orang Arab melainkan dari suku Kurdi. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir. Daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suirah dan Semenanjung Arabia. Pada masa itu, dunia Islam sedang mendapatkan serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Perancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau the Crusade.
Pada tahun
1099 laskar eropa merebut Yerusalem. Umat Islam saat itu kehilangan semangat
perjuangan (jihad) (sama seperti sekarang), dan persaudaraan (ukhuwah) (sama
sepaerti sekarang), sebab secara politis terpecah belah dalam banyak kerajaan
dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di bagdad,
sebagai lambang persatuan spiritual.
Guna menghidupkan jihad umat Islam untuk merebut kembali Yerusalem, Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Bagdad yakni An-Nashir agar umat Islam di seluruh dunia merayakan hari lahir Nabi Muhammad saw. Menurut salahuddin semangat juang umat islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Ternyata ide yang dilontarkan salahuddin ini disambut baik oleh khalifah. Maka, pada musim ibadah haji bulan dzulhijjah 579 H (1183 M), salahuddin sebagai penguasa baramain (dua tanah suci, Mekah dan madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jamaah haji. Ia menghimbau agar jemaah haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing mensosialisasikan peringatan Maulid Nabi.
Salahuddin
menyatakan bahwa mulai tahun 580 H (1184 M), setiap tanggal 12 Rabiul-Awal,
dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dan diisi dengan berbagai kegiatan yang
membangkitkan semangat juang umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama,
sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari
raya resmi menurut ajaran agama hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan peringatan yang
bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan salahuddin itu menimbulkan efek yang luar biasa. Semangat umat Islam untuk berjihad bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa. Dibawah kepemimpinannya, perang salib diakhiri dengan sedikit korban. Tak seperti tentara salib yang menduduki Jerusalem dan membunuh semua muslin yang tersisa, pasukan Salahuddin mengawal umat Kristen dan memastikan jiwa mereka selamat saat keluar Jerusalem. Begitulah akhlak Islam dalam perang yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Maulid Kontekstual
Berangkat dari latar belakang histories maulid tersebut, jelas bahwa maulid itu sangat bergantung kepada konteks. Jika dahulu Salahuddin berhadapan dengan tentara salib, bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang? Untuk itu diperlukan kejelian dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Diantara persoalan besar yang dihadapi adalah kemelaratan, kemiskinan dan kebodohan serta perpecahan di tubuh umat Islam yang terkadang berakhir dengan konflik berdarah. Keempat persoalan tersebut adalah masalah klasik yang belum terpecahkan sampai detik ini.
Adapun masalah
kontemporer yang dihadapi oleh umat adalah terorisme, kekerasan atas nama
agama, tatanan dunia yang tidak adil, korupsi, narkoba, judi, pornografi,
nepotisme, dan hal-hal lain yang berbau takhayul. Isu-isu ini semestinya
diangkat oleh mubaligh, ustaz, da’i ke permukaan dan dibicarakan dalam
peringatan Maulid Nabi. Syukur-syukur kita mampu menemukan jalan keluarnya.
Adalah lebih baik, jika dari sebuah peringatan maulid kita dapat melahirkan
sebuah aksi nyata atau program yang kongkrit yang bisa langsung dirasakan
masyarakat seperti pemberdayaan di bidang pendidikan dan ekonomi. Pemberdayaan
di dua bidang ini mempunyai peran sentral dalam menangkis umat dari kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan. Kebodohan dan kemiskinan umat Islam ini mesti
secepatnya dihilangkan karena dua hal ini merupakan satu faktor utama yang
menjerambabkan umat Islam dalam aksi kekerasan atau terorisme, perbuatan
meluluhlantakan citra Islam sebagai agama damai di tengah percaturan politik
global.
Jika maulid tidak lagi kontekstual, tidak
mempunyai daya pecut menggugah semangat juang kita untuk melakukan langkah
kongkret bagi kemajuan dan kemakmuran, hanya sebatas emosional saja, sangat
dikhawatirkan umat islam akan terlempar pada romantisme sejarah. Perlahan namun
pasti kita pun mengkultuskan Nabi Muhammad saw sebagai orang suci yang memiliki
keistimewaan ketuhanan.
Padahal, Al
Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah manusia biasa (QS Al-Kahfi
18:110). Penegasan Al Qur’an ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad itu adalah
manusia biasa seperti manusia lainnya. Hanya saja bedanya Nabi Muhammad saw itu
mendapat wahyu dari Allah sebagai utusan Allah kepada umat manusia. Rasulullah
berhasil melepaskan diri dari jerat hawa nafsu dan tampil sebagai insan
al-kamil, manusia yang senantiasa hidup dalam tuntunan nilai-nilai Ilahi.
Kesimpulan
Maulid nabi Muhammad bukanlah bid’ah yang terlarang karena dengan adanya Maulid Nabi itu masyarakat dapat memperkuat imannya. Saat ini, banyak manusia yang telah melakukan perbuatan tercela. Perbuatan tercela ini berasal dari ketidaktaatan manusia kepada Alalh swt. Salah satu cara untuk mempertahankan akhlak yang baik pada umat Islam adalah memperingati hal-hal yang bernuansa Islami seperti Maulid Nabi
sumber: https://www.facebook.com/notes/karyawanfb-duapuluh-empatjam-nonstop-mas/sejarah-peringatan-dan-hikmah-maulid-nabi-muhammad-solallohu-alaihi-wa-salam/271658356325468 dengan beberapa editan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar