Oleh: M Husnaini
Sejenak mari renungkan tugas kependidikan kita sebagai orangtua. Sudahkah pendidikan kita untuk buah hati sesuai dengan konsep Islam atau justru sebaliknya. Tentu memungut konsep dari luar Islam tidak salah. Tetapi jika itu bertentangan dengan Islam, seharusnya dengan lapang dada kita segera mengeliminisasinya.
Sebelum popular istilah parenting dengan berbagai metodenya, Islam sudah memberikan panduan lengkap dan aplikatif soal pendidikan dan pengasuhan anak. “Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya” (At-Tahrim: 6).
Rasulullah seakan mengkonfirmasi ayat di atas, “Barangsiapa memiliki dua anak dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menjadi sebab orangtua masuk surga” (Bukhari). Dan jika jeli membuka khazanah Islam, kita juga akan menemukan kitab-kitab karya ulama Islam yang mengurai soal parenting. Teori-teorinya tidak kalah canggih, bersandar pada dalil-dalil yang accountable, dan sudah terbukti kebenarannya.
Islam memang sangat lengkap memberikan tuntunan pendidikan anak. Sejak memilih pasangan, saat anak dalam kandungan, usia balita, remaja, dan seterusnya. Tetapi konsep-konsep parenting yang belakangan marak kerap membuat banyak orangtua tergoda. Sepintas lalu memang tampak indah dan mempesona. Tetapi cermatilah dengan saksama, konsep racikan bumbu ala Barat itu sungguh mengidap banyak masalah. Tidak heran, canggihnya konsep pendidikan seakan berpacu dengan kebobrokan moralitas anak bangsa hari ini.
Data berikut membuat kita tercengang. Riset Divisi Anak dan Remaja Yayasan Kita dan Buah Hati pada Januari hingga September 2012 menyebutkan, 84% dari 1.199 murid SD pernah melihat film porno. Medianya adalah internet (21%), film atau VCD (14%), komik (13%), iklan (8%), sinetron (5%), dan sisanya dari HP. Facebook, Twitter, YouTube, dan Google juga tidak pernah steril dari muatan pornografi. Data Komnas Perlindungan Anak juga menyebutkan, kasus tawuran pelajar sudah meningkat sejak enam bulan pertama pada 2012. Bayangkan, sejak Januari sampai Juni 2012, sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sementara pada 2011, ada 339 kasus tawuran. Jumlah anak perokok di bawah 10 tahun antara 2008 hingga 2012 mencapai 239.000 orang. Sementara yang berusia 10 hingga 14 tahun, ada 1.2 juta orang (Majalah Karima, Desember 2012).
Banyak konsep pendidikan Barat yang memang salah kaprah. Misalnya, jargon pendidikan berbasis HAM dan anti kekerasan. Dengan dalih HAM dan kebebasan, mereka mengharamkan hukuman dengan kekerasan. Hukuman fisik ke anak dalam rangka pendidikan disamakan dengan kekerasan ke sesama orang dewasa atau preman. Hukuman fisik berarti KDRT, dan pelakunya harus dipidanakan. Maka kerap kita lihat guru atau orangtua yang harus berurusan dengan hukum dan kepolisian gara-gara menerapkan hukuman, yang dianggap melanggar HAM dan kebebasan anak.
Islam tidak pernah melegalkan kekerasan. Tetapi, pukulan tidak menyakiti yang diberikan untuk mendidik jelas absah dilakukan. Semua gamblang dijelaskan, seperti sebagai alternatif terakhir hukuman, tidak mengarah ke wajah, tidak disertai emosi dan kebencian. Simak sabda Rasulullah, “Ajarilah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) ketika berumur sepuluh tahun” (Abu Dawud).
Tujuh tahun adalah masa pelatihan, karena anak umumnya belum masuk usia baligh. Ketegasan mutlak dibutuhkan ketika anak sudah mencapai usia baligh, rata-rata usia 10 tahun. Paksaan? Semua ibadah mulanya memang butuh paksaan. Baru ketika anak memiliki kesadaran matang, ibadah akan menjadi kebutuhan, seperti makanan dan minuman. Rasulullah sendiri biasa menggantungkan cambuk di dinding rumah. Dalam hadits yang dihasankan oleh Nashiruddin Al-Albani, “Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sungguh itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” (Shahihul Jami).
Salah kaprah lain yaitu peniadaan perintah dan larangan dalam pendidikan. Ini bertolak belakang dengan konsep Islam. Luqman adalah pribadi sukses di bidang pendidikan. Ia dikaruniai ilmu dan kebenaran. Tutur katanya mengandung hikmah dan menginspirasi banyak orang, sehingga namanya diabadikan Allah dalam al-Quran. “Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Luqman” (Luqman: 12).
Simak dawuh Luqman kepada anaknya. “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sungguh menyekutukan Allah itu benar-benar kezhaliman besar” (Luqman: 13). Selanjutnya, Luqman bertutur, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh yang demikian termasuk hal-hal yang diwajibkan. Dan janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Luqman: 17-18).
Bukankah dalam ucapan Luqman itu terdapat perintah dan larangan? Allah bahkan berulang kali memerintah dan melarang kita. Yang taat perintah dijanjikan pahala, yang melanggar larangan diancam siksa. Gamblanglah perbedaan antara konsep Barat dan Islam. Dalam istilah Hamim Thohari, prinsip Barat cenderung “serba boleh” sementara Islam “bebas bertanggung jawab”. Barat mengedepankan “hak” sedangkan Islam menekankan “kewajiban”.
Juga salah kaprah saat orangtua merasa puas dengan hanya menitipkan anak ke sekolah. Dengan enteng mereka bilang, “Orang rusak seperti saya juga ingin punya anak yang baik”. Menggelikan. Surah At-Tahrim ayat 6 di atas tegas menyatakan, sebelum menyelamatkan anak, orangtua harus selamat terlebih dahulu. Singkatnya, mendidik anak harus dimulai dari mendidik diri. Kalimat bagus dari Imam Syafi’i patut dicamkan, “Perbaikilah dirimu sebelum memperbaiki mereka, karena mata mereka terikat padamu. Apa yang kamu lakukan, mereka anggap baik, apa yang kamu tinggalkan, mereka anggap tidak baik”. Inilah tarbiyah bil hal, pendidikan dengan teladan.
Salah kaprah yang lebih fatal adalah ketika pola pikir anak hanya disetting bahwa belajar semata untuk ilmu. Proses belajar tidak didasari iman. Lihatlah bagaimana kebanyakan orangtua yang gelisah ketika anaknya tidak bisa Matematika, IPA, atau ilmu bahasa. Dicarilah kursus-kursus untuk mengatasinya. Membaca Al-Quran dan ibadah bukan fokus perhatian utama. Yang penting, anak juara Matematika, IPA, dan bahasa. Soal Al-Quran dan ibadah, itu pekerjaan mereka yang sekolah jurusan agama.
Beberapa salah kaprah ini harus segera disadari. Bertambahnya ilmu harus otomatis menambah iman. Kecintaan terhadap ilmu harus melahirkan kecintaan terhadap agama. Bukan sebaliknya, justru semakin menjauhkan manusia dari Tuhan.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar