Selasa, 14 Oktober 2014

Prestasi Kaum Neolib

MENJELANG terbentuknya kabinet baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), sejumlah kalangan risau karena parlemen dikuasai Koalisi Merah Putih yang nota bene di bawah pengaruh Prabowo Soebianto, anak Soemitro Djojohadikusumo. Saya merespon bahwa kerisauan itu tidak perlu terjadi sepanjang Jokowi-JK konsisten dengan visi misinya, yang lebih dikenal dengan Trisakti.

Tapi kebanyakan orang lalai, Trisakti sebenarnya telah berganti dengan Nawacita, sembilan cita-cita JW-JK. Untungnya di dalam Nawacita itu masih terdapat kata “kemandirian ekonomi” walau dipersempit dengan kata-kata, “menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.

Kerisauan akan konsistensi pada kata-kata Trisakti mulai muncul sejak gagas mengurangi subsidi BBM mengemuka. Tanpa kejelasan berapa biaya pokok produksi pada kilang sendiri dan berapa biaya pokok impor, banyak kalangan setuju dengan pengurangan subsidi dan hasil pengurangan itu dialihkan ke sektor produktif.

Mereka yang setuju nyaris tidak pernah menggugat kenapa subsidi BBM di APBN meningkat bersamaan dengan posisi PT Pertamina masuk dalam 500 perusahaan yang mempunyai kinerja keuangan yang baik menurut majalah Forbes. Kenapa APBN terseok-seok soal “belanja” BBM, sebaliknya PT Pertamina malah masuk dalam perusahaan yang kinclong.

Ekonom-ekonom bernama besar di negeri ini pun lebih sibuk bicara defisit transaksi berjalan karena tekanan impor migas. Karena defisit ini juga menekan defisit perdagangan, maka orang mengambil jalan pintas: konversikan beban APBN ke masyarakat dengan cara mengurangi subsidi. Bersamaan dengan menguatnya kegaduhan politik karena keberhasilan memilih sistem politik liberal, isu subsidi menyurut.

Orang mendapat petanda, November 2014 nanti harga Premium RON 88 akan menjadi Rp 9.500 per liter karena subsidi dikurangi Rp3.000. Sekali lagi, mereka tidak menjelaskan berapa sebenarnya subsidi Premium RON 88 perliter. Lalu masyarakat terdiam. Media massa beralih isu ke pertarungan Parlemen. “Markas besar Lenteng Agung” yang awalnya tidak nyaman dengan pengurangan subsidi ini pun disibukkan dengan perebutan kursi di parlemen.
Beriring dengan masalah itu, rekrutmen posisi menteri dan lembaga pemerintah terus berjalan. Alokasi 34 kursi Menteri dan 3 kursi Menko pun bergeser menjadi 33 kursi Menteri dan 4 kursi Menko hanya karena tidak mau sama dengan postur Kabinet SBY.

Bersamaan dengan rekrutmen itulah nama-nama menteri dari kalangan neoliberal mencuat. Sebutlah Sri Mulyani, atau yang lainnya dan mereka yang beraroma kelompok PSI pun menjadi pembicaraan dan pemberitaan media massa. Lagi-lagi kerisauan mengiringi kemunculan nama-nama itu.

Kalangan wartawan menyampaikan pendapatnya, bagaimana mungkin mereka yang tidak berkeringat justru memperoleh kursi. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena kebanyakan kaum neolib menjadi perpanjangan tangan atau memberi akses kalangan asing, aseng, dan pengasong kepentingan tertentu ke pemegang kekuasaan. Itu bukti mereka berjasa.

SBY saja tidak peduli dan tetap menjadikan Chatib Basri sebagai Kepala BKPM dan lalu menjadi menteri keuangan walau sudah diinfokan oleh Kwik Kian Gie dan Sri-Edi Swasono bahwa yang bersangkutan gagah menyatakan, kantongi nasionalisme. Lalu kenapa banyak kalangan nasionalis begitu risau dengan kelompok neolib ini?

Jawabnya sederhana, karena kaum neolib mengambil posisi sebagai pejuang-pejuang internasionalisme (globalisme). Seperti disampaikan  Kwik Kian Gie, kejuangan mereka dengan tekanan pada mekanisme pasarnya telah menorehkan prestasi luar biasa. Misalnya melakukan liberalisasi perbankan, keuangan dan perdagangan sehingga Indonesia terkena krisis ekonomi moneter 1997/1998, merestrukturisasi perekonomian nasional berdasarkan titah IMF dan mereka demikian patuhnya, juga membuat Dewan Ekonomi Nasional pada era Abdurrahman Wahid sehingga tidak ada kebijakan yang tidak bocor ke Bank Dunia, IMF dan lembaga asing lainnya.

Lalu mereka duduk lagi di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I yang mengakibatkan utang program makin meningkat sehingga peraturan dan kebijakan perekonomian nasional makin liberal. Kemudian mereka membela bahwa bail out Bank Century adalah benar. Mereka menegaskan bahwa kebijakan tidak bisa dipidanakan, sementara Pengadilan tipikor telah menjatuhkan vonis bersalah kepada Budi Mulya sehinga mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Yang lebih mengagumkan lagi, mereka telah membuat ketimpangan di  berbagai hal. Dari ketimpangan pendapatan, ketimpangan intelektual, ketimpangan sektoral, ketimpangan regional, hingga ketimpangan sosial. Yang paling merisaukan, dampak semua ketimpangan ini adalah menguatnya potensi kerusuhan sosial.

Hal ini sudah saya sampaikan ke berbagai kalangan pemerintah bahwa konflik masyarakat baik horizontal maupun vertikal yang terjadi telah mendorong meluasnya kericuhan kehidupan.Saya kira prestasi kaum neolib itu yang membuat berbagai kalangan meminta khusus pada saya bagaimana memaknai Revolusi Mental, Trisakti atau Nawacita sekalipun.

Saya teringat saat saya tampil di Pansus Bank Century pada Januari 2010. Kepada tokoh-tokoh PDIP saya mengingatkan, bahwa presiden dan wakil presiden bersumpah memegang teguh konstitusi. Itu berarti, siapapun kini presidennya harus konsisten dengan amanah konstitusi sebagaimana Megawati Soekarnoputri menegaskannya dalam Pidato Pembukaan Rakernas PDIP di Semarang, 19 Okt 2014.

Akankah demikian, waktu yang akan memberitakannya. Yang jelas, kaum neolib memang penuh prestasi: menihilkan rasa kebanggaan sebagai bangsa berbasis konstitusi 1945.(***)

Jakarta, 13 Okt 2014

sumber:  jpnn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar