Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia
dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu
menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya
serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti
mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat
Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan
atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam
Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan
para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya
dibalik gerakan ini?
Sebenarnya
paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di
Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia
Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari
akarnya dari kondisi masyarakat Islam dimasa lalu dan juga ajaran Islam.
Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan
(pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal
keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi
dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu
masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah
suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi
dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting
globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn).
Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung
menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi
menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim
yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang
berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang
berbeda: yaitu: 1) Paham teologi global (global theology) dan 2) Paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions).
Kedua
aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing
yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran diatas
juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul
di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Tapi yang satu
justru menyalahkan yang lain.
Aliran Global Theology
Bagi
aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya
adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya
agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi
tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan
globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh
Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap
sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters
globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan
menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya.
(lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36).
Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan
mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai
ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya
seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi. Organisasi
non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun
mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan
dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume 94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar
universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan
peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi
dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang
berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak
dijadikan nilai universal.
Program
globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di
Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap
tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat
religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama
Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus
(diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada
kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin
itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai
termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun
akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme. Paham pluralisme agama dalam
merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan
bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology).
Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill
Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.
Solusi
yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep
dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis,
kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan
agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini
yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat
yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi
perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian
akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).
Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada
halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini:
“Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam
berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari
dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam
agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp
dalam agama Yahudi.
Aliran Transenden
Berbeda
dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif
aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis
Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan
teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung
mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang
terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan
sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan
membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di
rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern
ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa
dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula
dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan
tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel
dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah
konsep sophia perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadi Sanata Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi
sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa
menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi
aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang
sama” (“all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.
Schuon
yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari
cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang
menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Jadi
Guenon, Schuon dan Nasr mendukung paham kesatuan transenden
agama-agama. Pendekatan yang diambil aliran ini berasal dari pengalaman
spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama.
Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi
sufi. Artinya mereka mengklaim bahwa para sufi itu pluralis
Tokoh
pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S.
Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda
K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston
Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis
Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart,
Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher,
J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Pluralisme Agama dan Ilmu Perbadingan Agama
Pluralisme
agama juga memiliki kaitan erat dengan ilmu perbandingan agama. Pada
mulanya masalah ekslusifisme suatu agama adalah wacana teologis, namun
karena di Barat teologi berada di bawah filsafat, maka wacana pluralisme
agama berada di tangan para filosof. Para filosof yang merasakan trauma
hegemoni gereja dan otoritas mutlak para teolog, merasa perlu untuk
melawan. Dan ini dilakukan mereka dengan cara mengetrapkan pemikiran
yang bebas secara ekstrim. Dengan kebebasan itu mereka memarginalkan
agama, mengangkat doktrin nihilisme nilai, mendobrak teologi dan bahkan
“memasung” kekuasaan Tuhan. Agama di Barat akhirnya
menjadi obyek kajian para filosof yang tidak mempunyai otoritas itu.
Rasionalisasi agama tidak berarti memahami agama secara rasional, tapi
lebih merupakan upaya agar agama itu tunduk pada pemahaman rasio
manusia. Jika suatu agama tidak sesuai dengan tuntutan social maka
doktrin agama perlu dikorbankan. Pluralisme agama adalah upaya agar
doktrin-doktrin agama itu tunduk pada kondisi social dan tuntutan akal
manusia. Doktrin nihilisme misalnya merupakan upaya untuk menundukkan
dan bahkan menghapus supremasi kebenaran agama.
Dari
kondisi seperti ini maka “bola” diskursus agama berada ditangan para
filosof, yang kebanyakan adalah aktifis atau mantan aktifis gerakan
Protestan Liberal. Di Barat sudah bukan rahasia lagi bahwa teologi
menjadi bulan-bulanan para filosof (theology was subservient to philosophy). Untuk sekedar menyebut beberapa nama, Sartre,
Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan
lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Para
pakar sosiologi, psikologi, antropologi dll pun ikut-ikutan. Para
sosiolog menggunakan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) untuk
menjustifikasi adanya perubahan dalam agama. Herbert Spencer (1820-1904)
juga mengikuti. Friedrich Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim
(1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) dan lain-lain mengaitkan agama
dengan realitas sosial.
Dengan
dihapuskannya supremasi agama maka teologi dianggap tidak relevan lagi.
Para filosof akhirnya mencari “rumah baru” untuk memberi tempat bagi
diskusi-diskusi mereka tentang agama.”Rumah Baru” itu adalah disiplin
ilmu baru yang tidak disebut teologi, tapi philosophy of religion yang akarnya adalah comparative religion. Disini
seakan-akan pembahasan agama bebas dari paham sesuatu agama. Dari
diskursus tentang agama-agama inilah muncul teori dan paham pluralisme
agama. Wacana pluralisme agama yang kini telah menjadi paham atau
doktrin ini kemudian masuk dalam diskusi-diskusi tentang toleransi
beragama, kerukunan umat beragama, inter-faith dialogue dan
semacamnya. Bahkan pasca kejadian 11 september pluralisme agama nampak
seperti diramu dengan doktrin liberalisme agar menjadi “pain-killer”
bagi fenomena terorisme dan ekstrimisme.
Harus
diakui bahwa Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan
teorinya adalah filsafat Barat. Obyeknya adalah semua agama. Sudah tentu
ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview Barat berada pada posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada diatas doktrin agama-agama.
Bahkan dalam era globalisasi disiplin ilmu ini kemudian di kembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas Kultural (Cross-cultural philosophy of religion).
Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama diperluas dari sekedar
agama yang ada dalam kultur Barat menjadi agama-agama dan kepercayaan
yang berasal dari kultur lain. Metode dan cara pandangnya
tetap pemikiran filsafat, sosioligi dan antropologi Barat. Agama hanya
dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan akan terus berubah
sebagaimana makhluk hidup (living organism). Namanya pun dirubah menjadi sekedar penumpukan tradisi (cummulative tradition).
Namun, menurut Thomas Dean, dalam Religious Pluralism and Truth benih-benih
disiplin ilmu filsafat agama telah ada sejak tahun 1950an, ia berbuah
pada tahun 1960-an, membesar pada tahun 1970-an dan menjadi buah masak
pada tahun 1980-an. Benihnya dimulai dari Ninian Smart, seorang filosof
dan sejarawan Barat yang pada tahun 1958 menerbitkan karya filsafat
agama yang berjudul Reason and Faith. Dalam buku ini ia menghimbau
agar filsafat dan sejarah agama baik di Barat maupun di Asia
bekerjasama. Hal ini baginya sangat penting agar filsafat agama dapat
berperan dalam kebudayaan yang pluralistis dan global pada akhir abad ke
dua puluh. Menurut Dean, selama hampir dua puluh tahun buku ini belum
tertandingi dan dianggap pioneer dalam bidangnya.
Periode pengembangan yang terjadi pada tahun 1960an ditandai oleh peluncuran buku Wilfred Cantwell Smith yang berjudul The Meaning and End of Religion. Buku dianggap telah membuka jalan bagi formulasi baru tentang problematika pemahaman agama lintas kultural. Sebab
disini, untuk pertama kalinya, ia menunjukkan sumbangan sejarah dan
fenomenologi agama-agama terhadap filsafat agama lintas kultural. Buku
ini menjadi penting karena selain mendukung pandangan bahwa kehidupan
keagamaan manusia adalah sebuah dynamic historical continuum, juga menolak
klaim kelompok transendentalis seperti Rene Guenon, F.Schuon, S.H.Nasr
yang menganggap agama-agama didunia secara konseptual merupakan sistim
tertutup.
Wacana
ini kemudian mendapat sokongan dari para filosof dan ilmuwan di bidang
agama. Pada tahun 1970an, yakni periode pembesaran, ditandai oleh
penerbitan essay analitis yang ditulis William Christian yang berjudul Opposition of Religious Doctrines (1972) yang mendapat sambutan luas itu. Ditambah lagi ketika karya “kroyokan” para filosof dan pakar sejarah agama yang berjudul Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim (1974) dan yang disunting John Hick terbit. Buah itu menjadi semakin besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya, The Intrareligious Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion. Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred Smith yang berjudul Towards World Teology, dan karya John Hick berjudul Problems of Religious Pluralism (1985) dan Interpretation of Religion (Gifford Lecture, 1986-87). Didalam
karyanya inilah Hick mendeklarasikan perlunya teologi global. Jadi
“buah masak” dari disiplin filsafat agama adalah pluralisme agama. Goal getter nya adalah Smith dan Hick.
Dari
paparan diatas semakin jelas bahwa hubungan antara doktrin pluralisme
agama dengan pemikiran filosof dan saintis sangat erat. Smith yang
mangadopsi teori Newtonian Revolution menganggap agama-agama itu sebagai
planet-planet yang memiliki hukum gravitasi dan pergerakan
yang sama. Jika hukum-hukum alam ini tidak hanya berlaku pada planet
bumi saja maka hukum-hukum agama itu tidak hanya berlaku pada satu agama
saja, tapi juga berlaku untuk semua agama. Sementara itu
global teologi John Hick mengadopsi teori Copernican Revolution. Jika
Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick
memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness), dalam bahasa lain Hick memindahkan keberagamaan dari individu kepada Realitas Mutlak (self-centredness to Reality centredness). Konon gagasan
pluralisme agama yang dicari akarnya dari ide pluralitas alam itu
mula-mula diangkat oleh John Donne, seorang sastrawan Inggeris abad ke
16 (John Donne, dikutip dari Steven J. Dick, Plurality of Worlds (1982),
hal. 49.). Ide ini kemudian berkembang menjadi pemikiran yang
pluralistis pada abad-abad berikutnya di Eropah. Akan tetapi kini orang
menganggap Smith dan Hick sebagai pioneer doktrin ini.
Kesimpulan
Karena
plurlasme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk
kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini
masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah
adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung
menjustifikasi. Respon yang tidak kritis ini akhirnya justru meleburkan
nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran
modernisasi dan globalisasi. Para pendukung paham pluralisme ini sangat getol berupaya memaknai kembali konsep Ahlul KitÉb dengan mengesampingkan penafsian para ulama yang otoritatif. Dalam memaknai konsep itu proses
dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern dianggap sah-sah
saja. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia
menyarankan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks
ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan
dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-KitÉb itu didekonstruksi agar lebih kontekstual.
Paham
pluralisme agama ini ternyata bukan hanya sebuah wacana yang sifatnya
teoritis, tapi telah merupakan gerakan social yang cenderung politis.
Karena ia adalah gerakan social, maka wacana teologis dan filosofis ini
akhirnya diterima masyarakat awam sebagai paham persamaan agama-agama.
Tokoh-tokoh masyarakat, artis, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik kini
tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa semua agama adalah sama, tidak
ada agama yang lebih benar dari agama lain.
sumber: http://insistnet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar