“Ya Allah, cukup rasanya jika Engkau menjadi Tuhan saya, cukup sudah rasa mulia bila saya sebagai abdiMu yang setia”
Berjuta-juta dan berlaksa-laksa anugerahNya telah diterima oleh umat manusia. Tiada kekuatan dan kemampuan bagi mereka untuk menghitung. Akan tetapi yang paling agung di antara yang tak terhitung itu adalah anugerah mendapat hidayah mengakuiNya sebagai Tuhan yang Esa, Yang mencipta dan Yang layak disembah. Segala keindahan nikmatNya yang terlihat, semua pemberianNya yang dirasakan sama sekali tak ada arti jika semua itu tidak dibarengi dengan keimanan dan kepercayaan akan otoritas tunggalNya. Dia menyatakan dalam kitabNya:
“Dan kepada orang-orang yang kafirpun Aku berikan kesenangan sedikit (dan sementara), kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” QS Al Baqarah:126.
Tiada kemewahan dan keindahan jika setelahnya adalah siksaan neraka, dan sebaliknya bukan lagi namanya kesengsaraan, kesedihan, dan kepahitan bila semuanya menjadi harga untuk membeli keluasan dan kemewahan surga. Dari sinilah rasa bangga dan bahagia segera menebarkan harum wanginya ketika menyadari tanaman bunga keimanan telah tertanam dalam sanubari. Rasa putus asa, merasa hina dan rendah segera akan sirna kendati diri sedang berada dalam dasar sumur kemiskinan, kekalahan dan kerendahan derajat dalam percaturan hidup di antara makhluk. Ingatlah salah satu firmanNya:
“Janganlah bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman” QS Ali Imran: 139.
Seorang bawahan yang baik tentu akan menurut dan menghormati nasehat–nasehat atasannya. Seseorang yang mengaku sebagai pelayan setia sangat tidak dipercaya jika ia tidak memberikan pelayanan dan servis memuaskan kepada sang majikan. Manusia yang mengaku bangga bertuhan Allah juga demikian, dia harus mewujudkan pengakuan dan rasa bangganya itu dengan tindakan menjauhi semua larangan–larangan Allah, pohon kebanggaannya itu harus ia rawat dengan baik hingga banyak membuahkan nilai-nilai peribadatan kepadaNya. Bukan malah sebaliknya, pengakuan bangga menuhankan Allah diikuti oleh tiada rasa malu kala melakukan sesuatu yang tabu (baca:kemaksiatan), tak ada beban dan merasa bersalah bila enggan atau ogah-ogahan menjalankan anjuran beribadah.
Realita yang ada ialah anugerah Allah yang terus menerus dan setiap saat dinikmati tetapi tidak disadari, ibadah kepadaNya yang tak pernah luput dari hitungan serta kemaksiatan bagai deras hujan yang luput dari pengawasan dan kontrol pengendalian. Maha benar Allah dalam firmanNya, sebuah hadits Qudsi:
“Wahai anak Adam, kamu tidak berbuat adil kepadaKu. Aku berusaha mendapatkan cintamu dengan memberikan banyak sekali nikmat,sementara kamu perlihatkan kebencianmu kepadaKu dengan berbagai maksiat. KebaikanKu senantiasa turun kepadamu dan keburukanmu selalu naik kepadaKu” (Disebut oleh Imam Mawardi dalam kitabnya Adab Dun’ya Wad Diin dan Syekh Abdul Qadir dalam Al Fathur Rabbaani).
Perasaan bangga dan mulia ini dapat kita teladani dari seorang tokoh yang hidup pada empat belas abad silam, di mana dalam salah satu munajatnya di tengah malam selalu tak terlupakan sebuah ungkapan “Ya Allah, cukup rasanya jika Engkau menjadi Tuhan saya, cukup sudah rasa mulia bila saya sebagai abdiMu yang setia” tokoh tersebut adalah sepupuh sekaligus menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mertua Umar dari putrinya yang bernama Ummu Kultsum yang dinikah oleh Umar saat masih gadis belia, ayah Al Hasan dan Al Husen serta penghulu para orang yang mengedepankan asketisme (kezuhudan) dalam dunia kehidupan, dialah Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu panglima pasukan islam kala menaklukkan Yahudi tanah Khaibar.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar