Oleh Kholili Hasib, MA, Peneliti InPAS Surabaya
Doktrin
relativisme kini telah menjadi tantangan nyata dalam kehidupan beragama
manusia modern. Statemen umum yang dilontarkan biasanya adalah kalimat
“Pemikiran manusia itu relative, yang absolut hanya Tuhan”. Paham yang
meyakini bahwa kebenaran itu relatif tergantung subjek ini, telah
memasuki kepada bidang filsafat, akidah dan bahkan metodologi
studi keilmuan. Dalam bidang filsafat, doktrin relativisme menyentuh
pembahasan epistemologi — sumber-sumber ilmu. Ia juga mendobrak
dinding-dinding akidah. Sebab, mengajarkan bahwa keyakinan tiap-tiap
agama dan kepercayaan itu relatif, tidak ada satu agama atau keyakinan
yang absolut benar. Karena telah menyentuh bidang epistemologi, maka
selanjutnya relativisme juga mempengaruhi metodologi studi keilmuan.
Produk paling nyata adalah penggunaan metode hermeneutika untuk
menafsirkan al-Qur’an dan teks-teks keislaman lainnya. Sikap ‘netral
agama’ dalam studi perbandingan agama juga merupakan pengaruh dari
relativisme.
Fenomena Relativisme dalam Beragama
Baik
di tingkat mahasiswa, dosen ataupun masyarakat biasa kita sering
mendengar kata-kata atau tulisan yang berbunyi; “kebenaran itu relatif”,
“kebenarana itu tidak memihak”. “Pemikiran manusia itu relative yang
absolute hanya Tuhan”, “manusia tidak dapat mengetahui kebenaran
absolute”, “agama itu mutlak sedang pemikiran keagamaan itu relatif”,
dan lain sebagainya.
Seperti
ditulis oleh seorang dosen di IAIN Bandung, “Adapun keberagamaan,
adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin,
kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi
bersifat relative, dan sudah pasti kebenarannya bernilai relatif”.[1] Tulisan ini menggiring kepada pemahaman anti-otoritas.
Penafian
otoritas keagamaan merupakan salah satu implikasi dari paham
relativisme. Tampak dari keterangannya bahwa manusia dengan akalnya
tidaklah mampu mencapai kepada kebenaran mutlak. Akibat berikutnya
adalah, ulama’ adalah manusia, maka para ulama’ kita -termasuk Sahabat-
pendapatnya tidak bisa menjadi pegangan hukum.
Nurcholish Madjid dalam bukunya “Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan”
mengatakan: “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun
mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi belaka.
Jadi, absolutism, lebih-lebih lagi, seharusnya tidak terjadi di kalangan
kaum Muslim. Apalagi Islam selalu dilukiskan sebagai jalan, sebagaimana
dipahami dari istilah-istilah yang digunakan dalam Kitab Suci. Kesemua
itu mengandung makna ‘jalan’ dan merupakan metafor-metafor yang
menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju kepada perkenan Allah dengan
segala sifat-Nya”[2].
Paham
seperti tersebut di atas merasuk ke dalam studi Islam. Sehingga menjadi
semacam framework dalam mengkaji agama Islam. Dalam buku-buku Studi
Islam –di perguruan Tinggi Islam – diajarkan penggunaan istilah “Islam
Historis” dan “Islam Normatif”. Islam Normatif adalah Islam sebagai
wahyu dan Islam Historis adalah Islam sebagai produk sejarah.
Pembagian
ini bersifat dikotomik. Sebagai wahyu, Islam merupakan wahyu Ilahi yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw kepada dunia dan akhirat. Sedangkan
Islam Historis merupakan agama Islam sebagai produk sejarah yang
dipahami manusia, dipraktikkan kaum Muslmin di seluruh penjuru dunia,
hingga saat ini[3].
Bentuk
Islam yang historis ini diyakini sebagai pemahaman yang relatif. Jika
begitu, pemahaman para tabiin dan para ulama setelahnya adalah relatif.
Jika relative, tidak bisa dijadikan pegangan. Islam, dari zaman
Rasulullah saw tetaplah Islam. Memiliki komponen ushul dan furu’. Yang
tetap dalam Islam adalah ushul. Adapun furu’ menyangkat kepada
dalil-dali dzanniyat, dimana para ulama berbeda. Dimana perbedaan
tersebut tidak sampai kepada hal-hal yang prinsip. Islam yang
dipraktikkan manusia bisa saja bertentangan dengan pokok-pokok ajaran
Islam itu sendiri. Misalnya seorang mengaku Muslim mempraktikkan
menyembah berhala. Ini bukan “Islam Historis”. Yang tepat, pemahaman
tersebut Bukan Islam.
Kekeliruan
berikutnya, meletakkan Islam yang bersifat final, sebagai bagian dari
sejarah. Islam bukanlah agama budaya, hasil kreasi manusia. Ia agama
wahyu yang sempurna sejak awal. Dari pemahaman seperti inilah lahir
statemen bahwa pemikiran dan penafsiran terhadap keagamaan itu relative
ketika dijelmakan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Statemen
tersebut belumlah jelas. Apakah yang dimaksud penafsiran dalam hal ini?
Perbedaan penafsiran tidak selalu bermasalah asalkan tidak kontradiktif
dengan pilar-pilar ushuliyah. Salah satu contoh sederhana
tentang status Umar bin Khattab RA. Beliau merupakan Khalifah kedua,
seorang Sahabat Nabi saw, seorang ayah, seorang lelaki. Perbedaan kita
ketika menyebut Umar – seperti kita sebut seorang Sahabat, yang lain
menulis Khalifah dan yang lain menulis sebagai seorang lelaki – tidak
menjadikan eksistensi Umar menjadi relative.
Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan logika relativisme ini. Ia menulis,
“Pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute,
mempunyai banyak kerancuannya. Pertama, jika dikatakan bahwa manusia
tidak mengetahui kebenaran absolute tentu tidak benar, sebab hitungan
matematis 2×2=4 adalah absolute. Nabi Muhammad saw pernah hidup dan
membawa risalah Islam kemudian wafat adalah pengetahuan absolute.
Kedua,
jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolute seperti
yang dimaksud Tuhan, ini berarti ia tidak percaya kepada kenabian
Muhammad saw, manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah.
Mustahil Allah menurunkan wahyu yang tidak bisa difahami oleh Rasul-Nya
sendiri.
Ketiga,
seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang
tersebut mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu.
Jika dia tidak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar
secara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka pengetahuannya itu
absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu
bisa relative dan bisa absolute.
Keempat,
pernyataan bahwa “kebenaran itu relative” sebenarnya juga kontradiktif
(self-contradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri
juga termasuk relative alias belum tentu benar. Karena pernyataan
“kebenaran itu relative” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada
pernyataan lain yang berbunyi “kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga
relative”, dan pernyataan ini juga dapat dianggap benar.
Kelima,
dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa pemikiran manusia
itu relative dan yang absolute hanya Tuhan dapat diterima dalam
perspektif ontologis dan tidak dapat dibawa ke dalam ranah
epistemologis. Benar, secara ontologis Tuhan itu absolute dan manusia
itu relative. Namun secara epistemologis kebenaran dari Tuhan yang
absolute itu telah diturunkan kepada manusia melalui Nabi dalam bentuk
wahyu. Kebenaran wahyu yang absolute itu difahami oleh Nabi dan
disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah Nabi itu dapat
memahami yang absolute[4].
Relativisme dan Problem Keimanan
Paham
relativisme tidak hanya menjadi tren manusia modern, namun juga telah
lama ditemukan akarnya dalam peradaban kuno, khususnya di Yunani. Para
ulama’ salaf seperti al-Taftazani, al-Ghazali dan al-Baghdadi telah
membahasnya. Ulama’ kontemporer yang mengkajinya di antaranya Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Dalam istilah para ulama salaf kelompok yang
menganut tren paham ini disebut sufasta’iyyah (sopist). Dari kaum sopist inilah akar pemikiran relativis berkembang.
Kaum Sopist dibagi menjadi tiga. Pertama, kelompok al-la adriyah
(agnostik) yaitu orang yang selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu
sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Kedua, al-‘indiyah
yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu
pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan
kebenaran adalah subjektif, bergantung kepada pendapat masing-masing.
Ketiga, kelompok al-inadiyah, yaitu mereka yang keras kepala,
yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapny sebagai fantasi
dan khayalan semata-mata.[5]
Mereka
ini disebut golongan anti–Ilmu. Ilmu tidak ada kaitan dengan agama dan
amal. Seperti tersebut dalam definisinya, Relativisme adalah bahwa apa
yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak,
tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relative tergantung kepada
individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Paham ini yang kemudian
melahirkan paham-paham liberal lainnya, seperti pluralisme, feminisme
dan sekularisme.
Mereka kaum la adriyah kontemporer
cenderung menyempitkan ruang lingkup agama pada permasalahan iman saja,
tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan
karenanya bersifat pribadi. Artinya tidak seorangpun yang dapat
mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan
para ulama berpendapat bahwa din (agama) adalah gabungan antara iman
dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal sholeh
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman.
Penjelasan ini dapat dibaca dalam firman Allah swt: “Sesungguhnya
orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah” (QS. Al-Hujarat: 15).
Syed
Naquib al-Attas mengatakan definisi ilmu bahwa ilmu dalam Islam itu
menghasilkan amal, dan semua dikendalikan oleh kepercayaan. Ia
mengatakan: “al-Ilm husul ma’na al-Syai’ fi al-Nafs wa wusul al-Nafs ila ma’na al-Syai’i[6].
seorang mu’min yang percaya kepada Allah tidak berbeda dengan yang
diamalkannya. Kepercayaan dan pengamalan itu karena ia memiliki
pengetahuan yang benar yang merasuk ke dalam hatinya. Karena itulah Imam
Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai berikut, ”al-Ilmu ma’rifatu al-Syai’ ‘ala ma huwa bihi”[7].
Orang
yang mengetahui hakikat sesuatu pasti akan memahami konsekuensi dari
sesuatu itu. Orang yang mengamalkan shalat lima waktu secara rutin
dengan benar adalah orang yang mengetahui apa itu shalat. Bahwa shalat
lima waktu itu kewajiban tiap individu Muslim, jika dikerjakan
mendapatkan pahala, dan paham akan siksa yang menimpa jika
meninggalkannya. Inilah pengetahuan yang menurut al-Attas merasuk ke
dalam hati.
Dalam
kaitan ini, paham relativisme menolak otoritas keagamaan. Setiap orang
dengan perbedaan intelektual dan kapabilitasnya, berhak memberikan
pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis dan masing-masing berhak
sebebas-bebasnya memaknai keduanya, dan masing-masing tidak berhak
mengklaim dirinya lebih benar dari lainnya.
Dalam ayat al-Qur’an dijelaskan: “Tuhan
Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya,
jika kamu adalah orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan
bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermain-main dalam keraguan” (QS. Al-Dukhan: 7-9).
Ayat terakhir yang berbunyi “Bal hum fi syaqqin yal’abun”.
Merupakan tepat untuk menggambarkan kaum relativis. Mereka meragukan
terhadap kebenaran agama. Meragukan terhadap kepastian iman yang final.
Keragu-raguan selamanya tidak akan menunjukkan kepada pengetahuan pasti,
terlebih di dalam masalah keagamaan yang sifatnya fundamental.
Imam
al-Ghazali menyebut golongan yang menolak ilmu dengan kejahilan tingkat
tinggi yang susah untuk menyembuhkannya. Ia mengatakan bahwa kejahilan
paling besar adalah rojulun la yadri, wa la yadri annahu la yadri
(orang yang bodoh, tapi tidak tahu bahasannya dia itu tidak tahu).
Terhadap golongan ini, Imam al-Ghazali memberi saran agar seorang Muslim
tidak mendekatinya. Atau tinggalkanlah[8].
Dalam
Islam, ilmu berkaitan dengan iman. Ilmu pengetahuan adalah salah satu
dasar bagi semua keutamaan amal. Keutamaan amal dalam Islam ditandai
dengan keharusan menguasai ilmu dalam setiap amalan ibadah yang akan
dikerjakan. Dengan demikian, posisi ilmu berkaitan dengan akidah[9].
Imam
Fakhruddin al-Razi mengatakan: “Mengetahui bahwa tiada Tuhan selain
Allah akan mendatangkan banyak manfaat. Kata perintah dalam ayat “fa’lam annahu la’ila illa Allah” objek
pertamanya adalah Rasulullah saw, padahal beliau sudah mengetahui makna
kalimat tauhid. Lalu apa makna kata perintah tersebut? Ada dua hal:
Pertama, hendaklah tetap teguh dan konsisten dengan apa yang telah
engkau (Rasulullah saw) ketahui, Kedua, objeknya adalah orang-orang yang
bersama Rasulullah saw yaitu semua umatnya. Allah menyuruh Rasulullah
saw tetap istiqamah dalam mengamalkan apa yang telah menjadi pengetahuan
Rasulullah saw dan tetap memohon ampunan untuk umatnya. Sehingga ada
dua sifat yang telah dicapai, yaitu istiqamah dan tidak larut dalam
kesedihan terhadap kondisi umatnya”[10].
Jadi,
manusia sangat mungkin mengetahui hakikat sesuatu yakni melalui wahyu.
Setelah manusia mendapat pengetahuan melalui wahyu tersebut, manusia
diperintah konsisten dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah itu,
dengan mengamalkan apa yang menjadi pengetahuannya. Di sini penting
diketahui, ilmu, iman dan amal itu harus menyatu.
Otoritas Islam dan Kesesatan Agama
Pada
tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat mengeluarkan fatwa
bahwa Ahmadiyah dan paham ‘Sepilis’ (sekularisme, pluralisme, dan
liberalisme) adalah haram. Kelompok liberalis mengecam dengan
berargumen, “Siapapun tidak berhak menyatakan sesuatu sesat atau tidak
terhadap suatu kelompok”, “Kalau MUI sekarang mengatakan Ahmadiyah
sesat, berarti MUI telah melampaui kewenangan Tuhan”, “Siapapun tidak
tahu mana sesat dan mana yang tidak”.
Pernyataan
protes tersebut terus diutarakan untuk menyerang otoritas ulama. Inilah
ciri kaum berpaham relativisme. Dalam timbangan akidah Islam,
pernyataan di atas meruntuhkan konsep-konsep Islam yang telah mapan.
Allah
menurunkan wahyu, melalui Nabi Muhammad saw dengan misi untuk
menjelaskan kepada manusia agar memahami mana perkara yang benar dan
mana perkara yang sesat. Otoritas tertinggi dalam Islam yaitu al-Qur’an
dan Hadis. Maka setiap Muslim berkewajiban mengikuti ketentuan yang
tertera dalam kedua sumber hukum tersebut agar tidak tersesat.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat tentang kesesatan (dhalalah). Al-Qur’an turun untuk memberi petunjuk kepada manusia. Agar manusia bisa membedakan mana yang dhalal dan mana yang haq. Allah swt berfirman:
4`tBurõ8Îô³ç«!$$Î/ôs)sù¨@|ÊKx»n=|Ê#´Ïèt/ÇÊÊÏÈ
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”[11]
Al-Qur’an
merupakan pembimbing manusia. Di sini, al-Qur’an memberi pengarahan
bahwa kebenaran itu jelas dan kesesatan itu pun juga jelas. Nabi
Muhammad saw, para Sahabat, tabi’n dan para ulama setelahnya tidak
pernah memberi penjelasan bahwa kebenaran dan kesesatan itu tidak ada.
Hanya kaum Liberal yang mengajarkan relativisme.
Al-Qur’an secara lugas memberi pelabelan dhalalah tanpa mengaburkan. Allah swt berfirman:
¨bÎ)z`Ï%©!$#(#rãxÿx.(#r|¹ur`tãÈ@Î6y«!$#ôs%(#q=|ÊKx»n=|Ê#´Ïèt/ÇÊÏÐÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan
Allah, benar-benar telah tersesat sejauh-jauhnya”[12].
Jadi,
apa yang difatwakan oleh para ulama’ tentang kesesatan Ahmadiyah,
‘Sepilis’, dan Syiah itu memiliki dasar otoritas yang diakui dalam
Islam. Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan furqan (pembeda antara haq dan bathil).
Untuk
memahami al-Qur’an, tidak diperkenankan orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan ilmu untuk mentafsirkan. Rasulullah saw bersabda:
من قال في القرآن برأيه فليـتبوأ مقعده من النار[13]
“Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an berdasarkan rasionya saja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka” (QS. Al-Tirmizi).
Islam
memiliki konsep otoritas, tidak seperti paham liberalisme yang mencoba
menghapus otoritas, sebagaimana paham relativisme. Dalam al-Qur’an Allah
memberintahukan:
4(#þqè=t«ó¡sù@÷dr&Ìø.Ïe%!$#bÎ)óOçGYä.wtbqçHs>÷ès?ÇÍÌÈ
Imam al-Qurtubi menjelaskan, bahwa yang dimaksud ”ahl al-Dzikri” dalam ayat tersebut adalah manusia yang memiliki ilmu. Ibnu Abbas mengatakan “ahlul Dzikri” adalah orang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, yakni pengetahuan-pengetahuan dari Rasulullah saw tentang hukum-hukum[15].
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah
tanpa ada sikap keragu-raguan menyatakan perbedaan antara Islam dan
pemikiran yang menyimpang. Mengutip pendapat Qadhi Iyadh beliau menulis:
“Sesungguhnya setiap pernyataan yang secara jelas menafikan ketuhanan
Allah, atau ke-Esa-anNya atau beribadah selain kepada-Nya maka dia
kufur”[16].
Ketika menjelaskan tentang orang yang menolak kenabian Nabi Muhammad
saw, atau salah satu Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana diceritakan dalam
al-Qur’an, Kyai Hasim mengatakan bahwa keyakinan itu “kafir bila raybi” (kufur tanpa keraguan)[17].
Adapun
perbedaan yang berada dalam manhaj ikhtilaf furuiyyah dapat ditoleransi
dan tidak dapat dikategorikan dalam kajian relativisme. Sebab,
relativisme ini mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, semua sama,
tidak salah tidak benar. Sedangkan perbedaan ulama dalam soal furuiyyah
dalam kaitannya dengan dalil dzanniyat masih memiliki otoritas, bersatu
di dalam kebenaran pokok-pokok Islam (ushuliyah). Jadi paham
relativisme membongkar segala perbedaan, baik ushul maupun furu’, bahkan
ushul dan furu’ dinafikan.
Kelihatannya
doktrin relativisme itu bijak namun sebenarnya bertabrakan dengan ilmu.
Ernest Gellner mengatakan bahwa relativisme itu mengarahkan kepada
penyelidikan yang buruk, mengkhawatirkan dan mengkaburkan. Ia
berkesimpulan bahwa relativisme itu tidak bermanfaat[18].
Kesimpulan
Doktrin
mengenai relativisme telah menjalar dalam bidang-bidang vital dan
elementer dalam kehidupan manusia, terutama dalam pemikiran keagamaan.
Paham ini terlihat inkonsisten dan kontradiktif ketika diamalkan.
Pernyataan bahwa “kebenaran itu tidak memihak”, berarti pernyataan itu
mengandung keyakinan bahwa kebenaran ada di semua pihak. Rancunya jika
di satu pihak ada yang menyatakan Tuhan itu ada, dan di pihak lain ada
yang menyatakan Tuhan itu tidak ada, maka kebenaran ada pada keduanya,
karena kebenaran tidak boleh memihak. Tentu ini secara logis
kontradiktif. Karena itu dalam pandangan Islam, relativisme selalu
berkontradiksi dengan konsep keimanan. []
[1] Adian Husaini,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Depok: Gema Insani, 2009), hal. 155
[2] Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal xi
[3] Amin Abdullah,Metodologi Studi Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, )
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), (Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 91-93
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No. 5 2005, hal. 53-54
[6] Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 14
[7] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hal. 33 juz I
[8] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 2005), hal. 78
[9] Herny Shalahuddin, Bahaya Relativisme terhadap Keimanan, www.insistsnet.com – Jurnal Islamia, No. 5 th I 2005 hal. 52
[10] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib
[11] Al-Qur’an surat al-Nisa’: 116
[12] Al-Qur’an surat al-Nisa’: 167
[13] Sunan al-Tirmidzi Juz 5 hadis No. 2951
[14] Al-Qur’an surat al-Nahl ayat 43
[15] Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an, juz 4, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1999), hal. 98
[16] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, (Jombang: Maktabah al-Turast al-Islami, tt), hal. 13
[17] Ibid
[18] Ernest Gellner,Menolak Postmodernisme, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 73
sumber: http://inpasonline.com/new/pandangan-islam-terhadap-relativisme-beragama