Puasa dapat membentuk kecerdasan spiritual
dan emosional. Sebagaimana telaah Bapak Abu Rokhmad dan Bapak Umar Ma’ruf yang
pernah di publish di Suara Merdeka. Secara detail beliau berdua menjelaskan
bagaimana puasa dapat membentuk kecerdasan spiritual seseorang melalui beberapa
dalil dan penjelasan mengenai spiritual intelligence. Bagaimana uraiannya?
Berikut adalah artikel lengkapnya
RAMADAN merupakan
bulan yang penuh berkah. Di dalamnya terdapat beribu hikmah yang dijanjikan
Allah bagi mereka yang beriman. Tidak berlebihan bila Nabi pernah menggambarkan
orang yang tahu hikmah Ramadan akan mengharap Ramadan berlangsung setahun
penuh.
Kewajiban
berpuasa bagi orang-orang yang beriman ini disandarkan pada Alquran, surat
Albaqarah ayat 183, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu sekalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu sekalian bertakwa.”
Dari ayat ini
ditegaskan bahwa iman merupakan modal dasar dan bekal primer kaum muslimin
untuk menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Mengingat puasa
hanya karena Allah, maka kesadaran keimanan harus selalu dihadirkan dalam hati
dalam menunaikan ibadah ini. Sebab tanpa kesadaran keimanan, puasa yang
dilaksanakan tak memiliki nilai apa-apa, kecuali haus dan lapar.
Puasa di bulan suci
Ramadan merupakan momentum istimewa untuk mengembangkan kesadaran hati sebagai
kesadaran tertinggi. Caranya adalah menjadikan puasa sebagai instrumen
reformasi-spiritual atau pendakian spiritual. Secara epistemologis keagamaan,
pendakian spiritual dalam prosesi ibadah puasa ini dapat dicapai melalui tiga
tahapan.
Al-Ghazali
menjelaskan tiga tahapan ibadah puasa sebagai proses pendakian spiritual
sebagai berikut: Pertama, puasa orang awam, yang sekadar menahan rasa haus,
lapar dan hubungan seksual. Kedua, puasa orang khusus, yang bukan sekadar
menahan rasa haus, lapar dan hubungan seksual, tetapi juga mampu menahan
inderanya dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa orang super khusus khawas
al-khawas, selain sanggup menahan keempat hal di atas, ditambah dengan puasa
hati nurani.
Puasa hati nurani
atau puasa batiniah ini adalah puasa yang dapat mengendalikan pemikiran, hati
dan imajinasi kita dan segala yang menjauhkan kita dari kehadiran Tuhan. Inilah
puncak tertinggi pendakian spiritual untuk mencapai kesadaran tertinggi.
(Sukidi, 2001).
Dalam konteks
inilah, puasa sejati adalah puasa hati nurani, yang menjadi instrumen penting
untuk menyucikan hati kita. Tidak berlebihan, jika orang-orang arif dan bijak
zaman dulu sering mengajak kita untuk menyucikan hati. ”Karena mata hati punya
kemampuan 70 kali lebih besar dalam melihat kebenaran daripada dua indera
penglihatan,” demikian kata Al-Rumi.
Sebagai makhluk
jasmaniah dan ruhaniah, manusia memiliki potensi dalam dirinya, baik yang
berhubungan dengan dunia material maupun dunia spiritual. Selain mampu
menangkap hukum-hukum alam di balik gejala fisik yang diamatinya, manusia juga
dapat menyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi. Bila salah
satu potensi dikembangkan, sementara lainnya dimatikan atau dibiarkan hidup
seadanya, maka dimungkinkan manusia hidup dalam ketidakseimbangan.
Jean Jaques
Rousseau menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya
mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan hati nu-raninya. Manusia yang
hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat. (Rahmat, 1995).
Dalam konteks
inilah puasa sebagai salah satu media untuk menyucikan hati dan mengasah
ketajaman batin sangat diperlukan. Jika hati telah bersih, maka potensi
kecerdasan spiritual yang terpendam dalam diri kita lambat laun akan muncul.
Sebab, kecerdasan spiritual (SQ) mampu mengungkap sisi perenial (yang asasi
atau abadi) dalam struktur kecerdasan manusia.
Puasa Membentuk Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan
spiritual (SQ) merupakan kelanjutan mata rantai keilmuan dalam bidang
psikologi, setelah keberadaan pengukuran kecerdasan melalui metode IQ dan EQ
semakin dipertanyakan. Dalam buku Menjadi Jenius seperti Leonardo da Vinci
(2001) misalnya, diungkapkan kelemahan dasar dari konsep kecerdasan IQ adalah
skor IQ ternyata bisa ditingkatkan secara signifikan me-lalui pelatihan yang
tepat.
Menurut Michal
Levin dalam Spiritual Intellegence, Awakening the Power of Your Spirituality
and Intuition (2000) menyatakan bahwa pengetahuan spiritual perlu ditancapkan
ke ranah kesadaran. Karena spiritualitas sebatas pengetahuan menjadi tak
bermakna. Apalagi, pengetahuan seringkali mengganggu pikiran. Orang yang cerdas
secara spiritual bukan berarti kaya dengan pengetahuan spiritual, melainkan
sudah merambah ke dalam kesadaran spiritual. Kesadaran ini terefleksikan ke
dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sikap hidup yang arif dan bijak secara
spiritual, toleran, terbuka, jujur, cinta kasih dan Iain-lain. Inilah inti
sejati kecerdasan spiritual.
Khalil A Khawari
dalam bukunya Spiritual Intelligence, A Practical Guide to Personal Happiness
(2000) mengungkapkan perspektif ‘kecerdasan spiritual’ sebagai pembimbing untuk
meraih kebahagiaan spiritual. Sebagai makhluk spiritual, kebahagiaan manusia
tidak bisa lagi diukur dengan uang, kesuksesan, kepuasan seksual dan lain-lain,
tetapi kebahagiaan yang diletakkan dalam wilayah spiritual.
Dengan demikian,
jika kecerdasan intelektual (IQ -Intelligence Quotient) bersandarkan nalar,
rasio-intelektual, sementara kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient)
bersandar pada emosi, maka hakikat kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual
Quotient) disandarkan pada kecerdasan jiwa, ruhani dan spiritual. SQ adalah
kecerdasan generasi ketiga yang diyakini mampu melahirkan kembali manusia
setelah sekian lama mengalami alienasi dan disorientasi hidup.
Puasa dan Kesucian Hati
Puasa seperti apa
yang dapat meningkatkan kecerdasan spiritual? Puasa yang dilakukan dengan
kesucian hati dan kebersihan jiwalah yang dapat menumbuhkan apa yang dikatakan
oleh psikolog Danah Zohar dan Ian Marshal (2000) sebagai kecerdasan spiritual.
Atau puasa yang dilakukan dengan melibatkan hati nurani, sebagaimana yang
disebut oleh Al-Gazali sebagai puasa orang yang super khusus. Puasa hati nurani
inilah puasa sejati yang dapat menjadi instrumen penting untuk menyucikan hati
kita.
Puasa seperti
ini, selain menghindari makan, minum, tidak melakukan hubungan seksual,
menghindarkan indera dari perbuatan dosa, juga puasa yang dilakukan tanpa
mengharapkan imbalan apa pun dari Allah, baik berupa pahala, kesehatan, balasan
atau bahkan surga. Puasa tersebut dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena
perintah Allah. Sebab jika suatu ibadah dilaksanakan karena motivasi-motivasi
lain, maka yang didapat hanyalah apa yang diharapkan, sedang yang lain, ia tidak
akan memperolehnya.
Oleh karena itu,
ikhlas adalah kata kunci pelaksanaan ibadah puasa (juga ibadah yang lain). Jika
ibadah puasa dilaksakan dengan ikhlas (semata-mata melaksanakan perintah
Allah), maka rentetan efek positifnya bukan hanya berupa pahala, surga,
kesehatan atau apa pun yang diharapkan. Lebih dari itu, Allah akan memberikan
keridaan kepadanya. Siapa pun yang memperoleh rida, maka apa pun yang dimiliki
oleh Allah akan diberikan kepadanya, diminta atau tidak.
Dengan demikian,
ikhlas ibarat sebuah tiket dalam perjalanan pesawat terbang. Seseorang cukup
rnengantongi sebuah boarding pass untuk melaksanakan perjalanan jauh yang
melelahkan. Diminta atau tidak, berbagai tasilitas dalam pesawat yang
dibutuhkan oieh penumpang akan diberikan. Misalnya, pelayanan yang ramah dari
pramugari, dapat makanan dan minuman, kenyamanan dan kesenangan dalam
perjalanan dan lain-lain. Jika seorang muslim berpuasa dengan ikhlas, maka
kelak ia akan mendapatkan hak-haknya berupa kebahagian dan ketenangan hidup.
Puasa hati nurani
inilah yang akan menyingkap seluruh rahasia ketuhanan, yang terpancar dari
dalam jiwa manusia. Jiwa manusia yang tenang, akan mudah menerima hidayah dan
cahaya keagungan Tuhan dalam menjalani kehidupan. Hidayah inilah yang akan
menuntun dan mempermudah manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup
yang semakin kompleks. Apa yang ingin ditekan di sini adalah bahwa hati yang
hening dan bersih lebih mudah menerima kecerdasan spiritual yang dipancarkan
dari Allah.
Puasa yang dapat
mengembangkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang dilakukan oleh orang yang
melihat segala sesuatu dengan mata hati. Mata hatilah yang dapat menyingkap
hakikat kebenaran yang tak tampak oleh mata.
Puasa yang
dilakukan tanpa melibatkan mata hati adalah puasa yang hampa, kehilangan
orientasi ilahiahnya. Dengan demikian, indikator keberhasilan puasa seseorang
bukan pada bentuk lahiriah ibadahnya, tetapi pada kegiatan amaliah dan sikap
hidupnya.