[ta'lim Abina tahun 2009]
Allah Subhana wata’ala berfirman yang artinya
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu beruntung.” -- ayat terakhir surat Ali Imron. (-red)
Allah Subhana wata’ala menutup
surat ini dengan beberapa pesan yang komplit kepada orang-orang yang
beriman di mana jika mereka bisa melaksanakan pesan-pesan tersebut,
mereka menjadi yang paling berhak meraih keberuntungan dunia akhirat.
Pesan yang dimaksud adalah seperti berikut:
1. Sabar
Sabar akan menjadi sumber segala keutamaan dan aneka ragam kesempurnaan.
2. Mushobaroh
Mushobaroh berarti
berusaha maksimal menahan semua hal yang tidak menyenangkan yang
diterima dari orang lain. Hal-hal yang termasuk dalam kategori
mushobaroh ini adalah:
a. Tabah akan rasa sakit karena ulah keluarga dan tetangga.
b. Tidak membalas perlakuan buruk orang lain.
c. Mendahulukan (mengalah dari) orang lain/Itsar.
d. Memaafkan kedholiman orang lain.
e.
Menghadang, mencegah, dan memberikan jawaban atas tindak pengaburan
para pendusta serta memberantas keragu-raguan yang mereka sebarkan.
3. Murobathoh
Kata murobathoh memiliki makna asli mengikat kuda untuk berjaga di benteng pertahanan. Meski begitu, yang dimaksud dengan kata murobathoh
adalah menyiapkan seluruh potensi kekuatan yang kita miliki secara
total untuk menghadapi musuh Islam dengan berbagai macam sarana, baik
material (madiyyah), atau nonmaterial (ruhiyyah) secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Selain ini, murobathoh juga memiliki arti lain, seperti diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththo’ dari Abu Hurairoh ra. bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Apakah
aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian yang karenanya Allah
menghapus dosa dan meninggikan derajat-derajat?” “Ya, wahai Rasulullah,”
jawab para sahabat. Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam
kondisi tak menyenangkan, banyak langkah ke masjid, menanti shalat demi
shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.”
Pertama
(menyempurnakan wudhu) merupakan isyarat adanya peperangan dengan
nafsu. Kedua, (banyak langkah ke masjid sebagai isyarat adanya
pengawasan ketat (muroqobah) terhadap hati dan anggota tubuh. Ketiga,
(menanti shalat) menjadi isyarat adanya penjagaan terhadap waktu serta
mencari dan memanfaatkan kesempatan.
4. Taqwa
Taqwa
dimaksudkan sebagai upaya menjaga diri dari kebencian dan kemarahan
Allah yang tidak terwujud kecuali setelah mengenal-Nya dan mengetahui
apa yang membuat keridhoan-Nya atau menyebabkan kebencian-Nya.
Semoga Allah Subhana wata’ala
memberikan taufik-Nya kepada kita untuk bisa melakukan aktivitas yang
membuat-Nya ridho sehingga kita akan mengapai keberuntungan dunia
akhirat dengan anugerah, kebaikan, dan kemurahan-Nya. Washolallahu ‘ala Sayydina Muhammad wa’ala alihi washohbihi wasallam.[]
sumber: http://alwasath.blogspot.com
Minggu, 27 Oktober 2013
Sabtu, 26 Oktober 2013
Belajar dari "Napoleon"
- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Kondisi kebebasan nyaris tanpa
batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut Socrates (469-399 SM)
-- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’,
memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal;
lebih rendah nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para
pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria
pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara dipimpin oleh sedikit
orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people),
kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri,
yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi
sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka
akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato, (New York: The New American Library), hal. 123).
Adalah menarik untuk membandingkan
keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi Perancis pada saat-saat
negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan Napoleon.
Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan
Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan
terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang
sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility).
Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil
bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan
penyensoran terhadap buku-buku yang dinilai melawan ajaran Gereja,
mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak
menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun.
Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam
kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga
mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir
semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis.
Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis
untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan monarkhi. Dan itu terjadi pada
14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara
Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama.
Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan fraternity”
(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama
beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat
Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang
memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi
antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya,
pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai pengikut
rezim sebelumnya.
Di saat-saat berkembangnya anarkhi
dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama
Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun
1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih
termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan
Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam
kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia
bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan
mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga
konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun
1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan
penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di
Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar
Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya.
Napoleon melakukan perombakan
sistem pemerintahan di Perancis. Ia mengembalikan Perancis ke dalam
sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened despotism”
(despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan
lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi
dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme,
menentang persekusi keagamaan, dan menghilangkan diskriminasi warga
negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol
perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened despotism”
merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara.
Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai
dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang
karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada
pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik.
Berbagai cara dilakukan Napoleon
untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk
meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang
hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik
sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan
Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan
berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas
keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan
berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia
mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya,
ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai
lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi.
Di tangan Napoleon, Perancis
kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 1805-1807,
Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal
Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali
Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara
besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme.
Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara
Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang
membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814
Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan
Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun
kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur
kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis dan Napoleon diringkaskan dari buku Western CivilizationA Brief History, karya Marvin Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997).
sumber: http://mustanir.net
Sejarah Gelap Para Paus
- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.
Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.
Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.
Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”
Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.
Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.
Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.
Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut.
Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.
Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar -- atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.
Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah -- sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian -- maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011
sumber: http://mustanir.net
Relativisme dan Penodaan Agama
pada tulisan terdahulu dalam blog ini, pernah juga membahas tentang relativisme, silakan di klik pada tautan link ini:
http://tetesan-coretanrasa.blogspot.com/2013/06/pandangan-islam-terhadap-relativisme.html
sedangkan ini kali, akan mengangkat kembali tentang faham relativitas.
Kasus gugatan atau permohonan judicial review terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama masih terus bergulir. Gugatan diajukan oleh 11 (sebelas Pemohon) yang terdiri dari 7 (tujuh) Pemohon LSM yakni Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan 4 (empat) Pemohon perorangan yakni Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Mereka mewakilkan kepada 56 advokat dan aktifis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
Dalam kasus ini, pemerintah, Ormas-ormas Islam dan sejumlah Majelis Agama bersatu padu menghadapi gugatan tersebut. Disamping pertimbangan juridis formal, salah satu pijakan gugatan adalah paham ”Relativisme Kebenaran”. Menurut para pemohon, apa yang dianggap benar oleh suatu kelompok/aliran belum tentu benar bagi kelompok lain. Karena itu, tidak boleh satu kelompok mengklaim kelompok lain menyimpang; begitu pun sebaliknya. Negara juga tidak boleh membatasi orang untuk melakukan penafsiran dan negara tidak boleh mengambil tafsir satu kelompok sebagai tafsir resmi negara. Juga, menurut argumentasi pemohon, kebenaran di masa lampau, belum tentu akan terus menjadi sebuah kebenaran pada masa kini.
Karena itulah, para penggugat ini sangat berkeberatan dengan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan agama mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Seorang Ahli dari pihak pemohon, pada 17 Februari 2010 menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.”
Pada sidang tanggal 10 Februari 2010, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga menyatakan, bahwa: “Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 yang mempidanakan setiap orang yang menyarankan keyakinan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang resmi merupakan kriminalisasi terhadap agama. Dengan demikian merupakan ketentuan yang bersifat represif terhadap kebebasan beragama di setiap orang. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara pun tidak dapat melakukan intervensi dalam hal ini termasuk melarang seseorang untuk menyuarakan keyakinan baik dalam bentuk penganut agama maupun tidak menganut agama.” (Teks dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi).
Praktik Vatikan
Dalam urusan penjagaan terhadap ajaran-ajaran pokok keagamaan, Vatikan memiliki mekanisme yang ketat. Sejumlah Teolog Katolik telah dipecat oleh Vatikan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi Vatikan. Kasus terkenal, misalnya, menimpa Prof. Jacques Dupuis SJ, seorang sarjana di Gregorian University Roma, yang diberi sanksi menyusul penerbitan bukunya yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll, NY Orbis, 1997).
Pada bulan Oktober 1998, Prof. Dupuis mendapatkan notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman, Vatikan, yang menyatakan, bahwa ia “Tidak bisa dipandang sebagai seorang Teolog Katolik”. Surat ini ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger yang sekarang menjabat sebagai Paus dengan gelar Benediktus XVI. Sebelum menjabat sebagai Paus, pada tahun 2004, juga masih mengeluarkan sanksi terhadap Roger Haight, seorang Yesuit Amerika, penulis buku Jesus Symbol of God, karena pandangan-pandangannya yang dianggap berbeda dengan ajaran Iman Katolik. (Lihat, Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hal. 74-75.; juga John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books, 2005), 193-194.).
Melalui institusi bernama Kongregasi untuk Ajaran Iman (Congregation pro Doctrina Fidei/CDF), Vatikan bertindak sangat aktif dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah Teolog Katolik yang dinilai “menyimpang”. John McNeil, seorang Jesuit yang menulis buku The Church and the Homosexual, diselidiki oleh Vatikan, dan akhirnya dikeluarkan dari Serikat Jesus karena mengkritik dokumen Gereja tentang homoseksualitas, tahun 1986. Tindakan disipliner juga diberikan kepada sejumlah Teolog lainnya.
Secara aktif, CDF memeriksa karangan-karangan para teolog dan melihat apakah karya-karya mereka sesuai dengan ajaran moral Gereja. Jika tidak sesuai, maka perutusan kanoniknya (missio canonica) ditarik kembali dan dia dinyatakan tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengajar atas nama Gereja sebagai seorang Teolog Katolik. (Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, hal. 154).
Kasus lain yang menarik perhatian internasional, misalnya, pernah menimpa Prof. Hans Küng, seorang teolog Katolik terkenal dari Jerman. Akibat berbagai sikap kritisnya terhadap Vatikan, maka pada 15 Desember 1979, Vatikan pun mengeluarkan sebuah statemen: “In his writing, Professor Küng deviates from complete truth of the Catholic belief. For this reason he cannot be regarded as a Catholic theologian as such.” (Lihat, Peter Hebblethwaite, The New Inquisition? Schillebeeckx and Küng, (London: Fount Paperbacks, 1980), hal. 158-166).
Paham Relativisme kebenaran memang meresahkan banyak pemuka agama. Paham ini telah menjadi virus global yang merusak dasar-dasar keimanan seseorang. Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005). Bahkan, Paus juga menggelorakan semangat perlawanan terhadap paham ini melalui programnya: battling dictatorship of relativism. (Lihat, David Gibson, The Rule of Benedict. New York: HarperCollins Publisher, 2006).
Netral agama?
Apa yang dilakukan oleh Vatikan dalam memutuskan mana tafsir yang benar dan mana tafsir yang salah jelas menunjukkan pengakuan adanya satu otoritas keagamaan. Vatikan tidak bersikap netral terhadap paham-paham keagamaan. Umat Islam tidak memiliki lembaga kependetaan dan kenegaraan menjadi satu sebagaimana kaum Katolik. Tapi, umat Islam memiliki konsep Ijma’. Nabi Muhammad saw menjamin bahwa umat Islam tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan. Umat Islam memiliki banyak kesepakatan akan kebenaran yang tidak mampu diubah oleh siapa pun sampai Kiamat. Misal, umat Islam yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir; bahwa shalat lima waktu adalah wajib; bahwa zina, babi, dan khamr adalah haram; bahwa haji dilaksanakan di Tanah Suci, bukan di Jawa; bahwa berwudhu harus menggunakan air dan bukan menggunakan oli atau sabun cair; dan sebagainya.
Karena itulah, bagi umat Islam memang ada yang disebut ajaran-ajaran pokok dan ada yang cabang (furu’iyyah). Sesuai UUD 1945 pasal 29 (2), negara wajib menjamin warganya untuk melaksanakan agamanya. Maka, negara juga berkewajiban melindungi ajaran-ajaran agama itu dari perusakan, penistaan, atau penodaan. Dan itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU No.1/PNPS/1965 yang asalnya justru dikeluarkan oleh Bung Karno tahun 1965 dalam bentuk Penpres.
Dengan UU ini pula, berbagai penafsiran subjektif dapat dinilai secara objektif di depan sidang pengadilan. Jika seseorang atau sekelompok orang merasa agamanya dinodai, dia dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Di situlah hakim akan menilai, apakah pemahaman sebjektif penggugat itu benar atau tidak secara objektif. Maka sangat beralasan, jika UU No. 1/PNPS/1965 ditiadakan, berbagai penafsiran subjektif akan muncul dan berpotensi memicu kerusuhan antar umat beragama.
Gagasan negara yang netral agama – dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran – pada hakekatnya juga sebuah ide yang sangat naif. Meskipun secara umum mengaku menghormati sejumlah rumusan HAM, tetapi sebenarnya masing-masing negara tetap memiliki kekhasan berdasarkan sejarah dan konstitusinya dalam meletakkan posisi agama dalam negara. Malaysia, misalnya, meskipun jumlah umat Islam hanya sekitar 55 persen, tetapi menegaskan, bahwa Islam adalah “agama Persekutuan” (agama resmi negara). Berbagai negara lain, seperti India, Pakistan, Arab Saudi, Singapura, pun memiliki kekhasan sendiri.
Karena itu, Dunia Islam, misalnya, jelas-jelas tidak menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai “kitab suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam DUHAM. Pada tahun 1981, beberapa pemikir Islam terkemuka dari negara-negara anggota OKI mengeluarkan Universal Islamic Declaration of Human Rights. Dan pada tahun 1990, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam memunculkan Deklarasi Kairo tahun 1990.
Lihatlah Amerika Serikat! Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).
AS memang menerapkan tembok pemisah yang tingga antara Negara dan Gereja. Seorang penulis AS menggambatkan posisi agama dan negara dalam Amandemen Pertama: “Neither a state nor the federal government can set up a church. Neither can pass laws which aid one religion, aid all religions, or prefer one religion over another… No person can be punished for entertaining or professing religious beliefs or disbelief, for church attendance or non-attendance.” (Lihat, David Limbaugh, Persecution: How Liberals are Waging War Against Christianity, (New York: Perennial, 2004).
Posisi “netral agama” AS seperti ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia. sebab, kondisi ajaran Islam dan Kristen sangat berbeda dalam urusan publik. Kondisi AS juga dilatarbelakangi oleh sejarah bangsanya sendiri, yang banyak diantara tokoh-tokoh pendiri bangsa itu adalah aktivis Free Mason, yang berprinsip netral agama. Kaum Muslim memiliki berbagai hukum yang harus diterapkan baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Kini, dengan Konstitusi UUD 1945, negara masih terlibat aktif dalam campur tangan masalah haji, perkawinan, wakaf, zakat, dan lembaga keuangan syariat.
Meskipun menyatakan “netral agama”, apakah AS memperlakukan semua agama dengan sama? Jelas tidak! Melihat perkembangan yang pesat berbagai agama di luar Kristen, sebagian kalangan di AS mulai mengusulkan agar hari libur resmi juga diubah. Hari Raya Kristen diusulkan hanya Natal saja. Sedangkan Paskah dan Thanksgiving diganti dengan libur untuk Hari Raya orang Muslim dan Yahudi.
Hingga kini, usulan semacam ini masih sulit diwujudkan. Pengangkatan menteri orang Muslim juga masih belum terwujud. Bahkan, dalam soal Kebebasan Beragama ini, Indonesia jauh “lebih maju” dibandingkan AS. Menurut Prof. Diana L. Eck, baru pada tahun 1996, Gedung Putih, mengadakan Perayaan Idul Fithri. Tahun yang sama, untuk pertama kalinya, Angkatan Laut AS mengangkat seorang Imam, yaitu Letnan M. Malak Abd al-Muta Ali Noel. Dan baru pada tahun 1998, untuk pertama kalinya, dibuka sebuah Masjid di Angkatan Laut AS di Pangkalan AL Norfolk, Virginia. (Lihat, Diana L. Eck, Amerika Baru Yang Religius, (Terj.), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 15).
Jadi, pada akhirnya, sudah sewajarnya setiap orang berpikir menurut paham dan agamanya masing-masing. Sebagai orang liberal, sudah sewajarnya berpikir sebagai liberal. Sebagai orang ateis, wajar berpikir ateis. Sebagai Kristen, wajar berpikir sebagai Kristen. Dan sebagai Muslim, sudah sewajarnya ia berpikir sebagai Muslim; bukan berpikir sebagai orang liberal, ateis, Yahudi, atau ”sok tidak Muslim”.
Apalah artinya berbagai gelar dan sebutan indah di dunia, jika di akhirat nanti seorang tidak akan ditanya oleh Allah, apakah Anda seorang Pluralis atau bukan? Apakah Anda demokrat atau tidak? Apakah Anda moderat atau tidak? Kaum Muslim yakin, yang ditanya di akhirat nanti adalah: apakah Anda Muslim atau tidak? Apakah Anda mukmin atau tidak? Mengapa kamu kafir? Ini keyakinan umat Islam, yang dilindungi oleh UUD 1945. (***)
sumber: http://mustanir.net
http://tetesan-coretanrasa.blogspot.com/2013/06/pandangan-islam-terhadap-relativisme.html
sedangkan ini kali, akan mengangkat kembali tentang faham relativitas.
- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Kasus gugatan atau permohonan judicial review terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama masih terus bergulir. Gugatan diajukan oleh 11 (sebelas Pemohon) yang terdiri dari 7 (tujuh) Pemohon LSM yakni Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan 4 (empat) Pemohon perorangan yakni Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Mereka mewakilkan kepada 56 advokat dan aktifis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
Dalam kasus ini, pemerintah, Ormas-ormas Islam dan sejumlah Majelis Agama bersatu padu menghadapi gugatan tersebut. Disamping pertimbangan juridis formal, salah satu pijakan gugatan adalah paham ”Relativisme Kebenaran”. Menurut para pemohon, apa yang dianggap benar oleh suatu kelompok/aliran belum tentu benar bagi kelompok lain. Karena itu, tidak boleh satu kelompok mengklaim kelompok lain menyimpang; begitu pun sebaliknya. Negara juga tidak boleh membatasi orang untuk melakukan penafsiran dan negara tidak boleh mengambil tafsir satu kelompok sebagai tafsir resmi negara. Juga, menurut argumentasi pemohon, kebenaran di masa lampau, belum tentu akan terus menjadi sebuah kebenaran pada masa kini.
Karena itulah, para penggugat ini sangat berkeberatan dengan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan agama mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Seorang Ahli dari pihak pemohon, pada 17 Februari 2010 menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.”
Pada sidang tanggal 10 Februari 2010, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga menyatakan, bahwa: “Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 yang mempidanakan setiap orang yang menyarankan keyakinan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang resmi merupakan kriminalisasi terhadap agama. Dengan demikian merupakan ketentuan yang bersifat represif terhadap kebebasan beragama di setiap orang. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara pun tidak dapat melakukan intervensi dalam hal ini termasuk melarang seseorang untuk menyuarakan keyakinan baik dalam bentuk penganut agama maupun tidak menganut agama.” (Teks dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi).
Praktik Vatikan
Dalam urusan penjagaan terhadap ajaran-ajaran pokok keagamaan, Vatikan memiliki mekanisme yang ketat. Sejumlah Teolog Katolik telah dipecat oleh Vatikan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi Vatikan. Kasus terkenal, misalnya, menimpa Prof. Jacques Dupuis SJ, seorang sarjana di Gregorian University Roma, yang diberi sanksi menyusul penerbitan bukunya yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll, NY Orbis, 1997).
Pada bulan Oktober 1998, Prof. Dupuis mendapatkan notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman, Vatikan, yang menyatakan, bahwa ia “Tidak bisa dipandang sebagai seorang Teolog Katolik”. Surat ini ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger yang sekarang menjabat sebagai Paus dengan gelar Benediktus XVI. Sebelum menjabat sebagai Paus, pada tahun 2004, juga masih mengeluarkan sanksi terhadap Roger Haight, seorang Yesuit Amerika, penulis buku Jesus Symbol of God, karena pandangan-pandangannya yang dianggap berbeda dengan ajaran Iman Katolik. (Lihat, Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hal. 74-75.; juga John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books, 2005), 193-194.).
Melalui institusi bernama Kongregasi untuk Ajaran Iman (Congregation pro Doctrina Fidei/CDF), Vatikan bertindak sangat aktif dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah Teolog Katolik yang dinilai “menyimpang”. John McNeil, seorang Jesuit yang menulis buku The Church and the Homosexual, diselidiki oleh Vatikan, dan akhirnya dikeluarkan dari Serikat Jesus karena mengkritik dokumen Gereja tentang homoseksualitas, tahun 1986. Tindakan disipliner juga diberikan kepada sejumlah Teolog lainnya.
Secara aktif, CDF memeriksa karangan-karangan para teolog dan melihat apakah karya-karya mereka sesuai dengan ajaran moral Gereja. Jika tidak sesuai, maka perutusan kanoniknya (missio canonica) ditarik kembali dan dia dinyatakan tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengajar atas nama Gereja sebagai seorang Teolog Katolik. (Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, hal. 154).
Kasus lain yang menarik perhatian internasional, misalnya, pernah menimpa Prof. Hans Küng, seorang teolog Katolik terkenal dari Jerman. Akibat berbagai sikap kritisnya terhadap Vatikan, maka pada 15 Desember 1979, Vatikan pun mengeluarkan sebuah statemen: “In his writing, Professor Küng deviates from complete truth of the Catholic belief. For this reason he cannot be regarded as a Catholic theologian as such.” (Lihat, Peter Hebblethwaite, The New Inquisition? Schillebeeckx and Küng, (London: Fount Paperbacks, 1980), hal. 158-166).
Paham Relativisme kebenaran memang meresahkan banyak pemuka agama. Paham ini telah menjadi virus global yang merusak dasar-dasar keimanan seseorang. Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005). Bahkan, Paus juga menggelorakan semangat perlawanan terhadap paham ini melalui programnya: battling dictatorship of relativism. (Lihat, David Gibson, The Rule of Benedict. New York: HarperCollins Publisher, 2006).
Netral agama?
Apa yang dilakukan oleh Vatikan dalam memutuskan mana tafsir yang benar dan mana tafsir yang salah jelas menunjukkan pengakuan adanya satu otoritas keagamaan. Vatikan tidak bersikap netral terhadap paham-paham keagamaan. Umat Islam tidak memiliki lembaga kependetaan dan kenegaraan menjadi satu sebagaimana kaum Katolik. Tapi, umat Islam memiliki konsep Ijma’. Nabi Muhammad saw menjamin bahwa umat Islam tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan. Umat Islam memiliki banyak kesepakatan akan kebenaran yang tidak mampu diubah oleh siapa pun sampai Kiamat. Misal, umat Islam yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir; bahwa shalat lima waktu adalah wajib; bahwa zina, babi, dan khamr adalah haram; bahwa haji dilaksanakan di Tanah Suci, bukan di Jawa; bahwa berwudhu harus menggunakan air dan bukan menggunakan oli atau sabun cair; dan sebagainya.
Karena itulah, bagi umat Islam memang ada yang disebut ajaran-ajaran pokok dan ada yang cabang (furu’iyyah). Sesuai UUD 1945 pasal 29 (2), negara wajib menjamin warganya untuk melaksanakan agamanya. Maka, negara juga berkewajiban melindungi ajaran-ajaran agama itu dari perusakan, penistaan, atau penodaan. Dan itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU No.1/PNPS/1965 yang asalnya justru dikeluarkan oleh Bung Karno tahun 1965 dalam bentuk Penpres.
Dengan UU ini pula, berbagai penafsiran subjektif dapat dinilai secara objektif di depan sidang pengadilan. Jika seseorang atau sekelompok orang merasa agamanya dinodai, dia dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Di situlah hakim akan menilai, apakah pemahaman sebjektif penggugat itu benar atau tidak secara objektif. Maka sangat beralasan, jika UU No. 1/PNPS/1965 ditiadakan, berbagai penafsiran subjektif akan muncul dan berpotensi memicu kerusuhan antar umat beragama.
Gagasan negara yang netral agama – dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran – pada hakekatnya juga sebuah ide yang sangat naif. Meskipun secara umum mengaku menghormati sejumlah rumusan HAM, tetapi sebenarnya masing-masing negara tetap memiliki kekhasan berdasarkan sejarah dan konstitusinya dalam meletakkan posisi agama dalam negara. Malaysia, misalnya, meskipun jumlah umat Islam hanya sekitar 55 persen, tetapi menegaskan, bahwa Islam adalah “agama Persekutuan” (agama resmi negara). Berbagai negara lain, seperti India, Pakistan, Arab Saudi, Singapura, pun memiliki kekhasan sendiri.
Karena itu, Dunia Islam, misalnya, jelas-jelas tidak menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai “kitab suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam DUHAM. Pada tahun 1981, beberapa pemikir Islam terkemuka dari negara-negara anggota OKI mengeluarkan Universal Islamic Declaration of Human Rights. Dan pada tahun 1990, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam memunculkan Deklarasi Kairo tahun 1990.
Lihatlah Amerika Serikat! Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).
AS memang menerapkan tembok pemisah yang tingga antara Negara dan Gereja. Seorang penulis AS menggambatkan posisi agama dan negara dalam Amandemen Pertama: “Neither a state nor the federal government can set up a church. Neither can pass laws which aid one religion, aid all religions, or prefer one religion over another… No person can be punished for entertaining or professing religious beliefs or disbelief, for church attendance or non-attendance.” (Lihat, David Limbaugh, Persecution: How Liberals are Waging War Against Christianity, (New York: Perennial, 2004).
Posisi “netral agama” AS seperti ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia. sebab, kondisi ajaran Islam dan Kristen sangat berbeda dalam urusan publik. Kondisi AS juga dilatarbelakangi oleh sejarah bangsanya sendiri, yang banyak diantara tokoh-tokoh pendiri bangsa itu adalah aktivis Free Mason, yang berprinsip netral agama. Kaum Muslim memiliki berbagai hukum yang harus diterapkan baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Kini, dengan Konstitusi UUD 1945, negara masih terlibat aktif dalam campur tangan masalah haji, perkawinan, wakaf, zakat, dan lembaga keuangan syariat.
Meskipun menyatakan “netral agama”, apakah AS memperlakukan semua agama dengan sama? Jelas tidak! Melihat perkembangan yang pesat berbagai agama di luar Kristen, sebagian kalangan di AS mulai mengusulkan agar hari libur resmi juga diubah. Hari Raya Kristen diusulkan hanya Natal saja. Sedangkan Paskah dan Thanksgiving diganti dengan libur untuk Hari Raya orang Muslim dan Yahudi.
Hingga kini, usulan semacam ini masih sulit diwujudkan. Pengangkatan menteri orang Muslim juga masih belum terwujud. Bahkan, dalam soal Kebebasan Beragama ini, Indonesia jauh “lebih maju” dibandingkan AS. Menurut Prof. Diana L. Eck, baru pada tahun 1996, Gedung Putih, mengadakan Perayaan Idul Fithri. Tahun yang sama, untuk pertama kalinya, Angkatan Laut AS mengangkat seorang Imam, yaitu Letnan M. Malak Abd al-Muta Ali Noel. Dan baru pada tahun 1998, untuk pertama kalinya, dibuka sebuah Masjid di Angkatan Laut AS di Pangkalan AL Norfolk, Virginia. (Lihat, Diana L. Eck, Amerika Baru Yang Religius, (Terj.), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 15).
Jadi, pada akhirnya, sudah sewajarnya setiap orang berpikir menurut paham dan agamanya masing-masing. Sebagai orang liberal, sudah sewajarnya berpikir sebagai liberal. Sebagai orang ateis, wajar berpikir ateis. Sebagai Kristen, wajar berpikir sebagai Kristen. Dan sebagai Muslim, sudah sewajarnya ia berpikir sebagai Muslim; bukan berpikir sebagai orang liberal, ateis, Yahudi, atau ”sok tidak Muslim”.
Apalah artinya berbagai gelar dan sebutan indah di dunia, jika di akhirat nanti seorang tidak akan ditanya oleh Allah, apakah Anda seorang Pluralis atau bukan? Apakah Anda demokrat atau tidak? Apakah Anda moderat atau tidak? Kaum Muslim yakin, yang ditanya di akhirat nanti adalah: apakah Anda Muslim atau tidak? Apakah Anda mukmin atau tidak? Mengapa kamu kafir? Ini keyakinan umat Islam, yang dilindungi oleh UUD 1945. (***)
sumber: http://mustanir.net
Jumat, 25 Oktober 2013
Teror Kata Berkedok "Kasih"
- Ditulis oleh Dr Adian Husaini
(Henry Martyn, missionaries)
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam perlu resep lain: gunakan ‘kata, logika, dan kasih’. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, ‘Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.’
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk ‘menaklukkan’ dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai ‘beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen’.
Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, ‘Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati.’ Selanjutnya, dia berpidato, ‘... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya.’
Kasus Turki Utsmani
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.
Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan ‘korban teror’ sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa ‘tercerahkan’ sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan ‘pemikiran yang dianggap baru’ kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:
‘Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’
Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror ‘kata’ dan ‘kasih’. Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.
Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, ‘Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus’. Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).
Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan ‘kata-kata’. Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.
Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah ‘kiblat’ untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, ‘Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus.’
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, ‘Revolusi Kemal Atatturk’ mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, ‘Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan.’
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan ‘kata-kata’ untuk melumpuhkan :’kekuasaan’ Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
‘Freedom and Liberation’
Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ‘Liberty, Egality and Fraternity’. Di bawah jargon inilah, jutaan orang ‘tertarik’ untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian’.
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai ‘kekuatan tiran’. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ‘teks-teks Al-Quran dan Sunnah’, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ‘teks’, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai ‘tiran’ yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, ‘‘persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat.’
Kekuatan ‘kata’ dan ‘kasih’ terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti ‘ortodoks’, ‘beku’, ‘berorientasi masa lalu’, dan ‘emosional’. Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror ‘kata’ berselubung ‘kasih’, kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia’ Wallahu a’lam.* ( 25 Juni 2003).
sumber: http://mustanir.net
Strategi Pendidikan Imam al-Ghazali dalam Membangkitkan Peradaban Islam
Oleh: Kholili Hasib
Imam
al-Ghazali memiliki peran penting dalam memperbaiki pendidikan dan ilmu
pada masa berkecamuknya perang Salib I, dimana kaum Muslimin mengalami
kekalahan. Kritik utama yang diajukan oleh Imam al-Ghazali pada waktu
itu adalah tersebarnya penyakit-penyakit hati yang menyerang ulama dan
pelajar. Akibatnya mereka menjadi lemah dan tidak mampu menahan
tantangan dari luar.
Strategi dilakukan oleh Imam al-Ghazali dengan cara membangun kekuatan ilmu. Beliau menulis kitab berjudul “Ihya’ Ulumuddin” yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama.
Pendidikan pada zaman melemahnya umat
Islam itu, menurutnya, lebih mementingkan bagaimana mengeluarkan
alumni-alumni yang siap menjadi pegawai pemerintahan yang bisa
ditempatkan pada pos-pos tertentu seperti menjadi hakim, pegawai
perwakafan dan lain-lain. Lalu, Imam al-Ghazali melontarkan kritik
sistem tersebut yang terlalu mementingkan materialistik dan mengabaikan
pembentukan ulama akhirat.
Maka, ia berupaya merumuskan sistem yang
baik yang diharapkan dapat mencetak ulama-ulama akhirat yang mampu
memperjuangkan tujuan-tujuan agama dan mengusung misi amar ma’ruf nahi munkar. Ia membangun madrasah sekembalinya keliling ke negeri Syam, dan Irak.
Majid Irsan al-Kilani dalam buku Hakadza Dzahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds (edisi Indonesia Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib,
Kalam Aulia Mediatama: 2007), menulis ringkasan strategi-strategi imam
al-Ghazali dalam memperbaiki pendidikan Islam. Di antaranya:
- Filsafat Pendidikan
Pendidikan Islam harus mendasarkan pada
fislafat pendidikan yang benar. Landasan yang mendari filsafat
pendidikan al-Ghazali adalah mewujudkan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan
yang dimaksud adalah kebahagiaan akhirat karena sifatnya yang holistik
dan mencakup sesuatu yang diinginkan. Tujuan pendidikan adalah meraih
kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan tersebut dapat diraih jika tersedia
ilmu dan amal. Karena keberadaan ilmu dan amal akan membuat perubahan
perilaku.
Mengenai hal ini ia mengatakan: “Jika
engkau mengatakan alangkah banyaknya pelajar yang berakhlak jelek
berhasil menguasai berbagai macam ilmu, maka sebenarnya ia terlalu jauh
dari pemahaman ilmu agama hakiki yang dapat mendatangkan kebahagiaan
baginya. Keberhasilan pelajar yang jelek akhlaknya itu tidak lebih dari
ungkapan yang sesekali muncul dari lisannya dan kadang-kadang muncul
dari hatinya, serta hanya sekedar ucapan yang terus diulang-ulang
olehnya. Padahal jika cahaya ilmu menyinari hatinya niscaya akhlak
menjadi baik”.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum yang dicanangkan al-Ghazali
memiliki keistimewaan yang berbeda dengan kurikulum-kurikulum yang
berkembang pada zamannya. Dimana kurikulum sebelumnya bersifat parsial
yang berkembang dalam tradisi madzhabisme. Kurikulum imam al-Ghazali
tidak berhenti pada ilmu-ilmu fikih tertentu melainkan membentuk
kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tauhid,
tasawuf, fikih dan lain-lain. Imam al-Ghazali juga menggabungkan antara
ilmu agama dengan ketrampilan duniawi. Menggabungkan ilmu fardhu ‘ain
dan fardhu kifayah.
Menurutnya, orang yang hanya terfokus
mempelajari ilmu dunia tanpa disertai ilmu syar’i, maka ia telah
menghabiskan umurnya dalam aktivitas yang tidak memberi manfaat apapun
di akhirat. Sebaliknya, orang yang hanya terfokus pada ilmu-ilmu agama
saja, maka tidak mampu memahami agama kecuali sebatas kulit kasarnya,
atau lebih jauh lagi hanya gambaran kasus-kasusnya saja, tanpa menyentuh
substansi sesungguhnya. Dengan demikian, ilmu-ilmu syar’i akan dapat
dikuasai dengan baik jika disertai ilmu-ilmu aqliyah (empirik-rasional). Ilmu rasional ibarat obat yang berguna untuk penyembuhan, sedangkan ilmu syar’i ibarat makanan.
Adapun buku-buku yang ditulis oleh Imam
al-Ghazali yang diajarkan kepada murid-muridnya menunjukkan bahwa
karya-karya Imam al-Ghazali mencakup empat bidang penting, yaitu:
Pertama, Membangun akidah Islam.
Tujuannya adalah membentuk akidah yang jelas dan dinamis yang berperan
sebagai ideologi yang menjelaskan dan mengarahkan berbagai macam
kebijakan. Di antara karya al-Ghazali yang secara eksplisit menggarap
masalah pembinaan akidah adalah kitab al-Hikmah min Makhluqat Allah ‘azza wa Jalla.
Siapapun yang menelaah buku tersebut akan mendapati dirinya seolah-olah
sedang berhadapan dengan seorang dokter spesialis dalam bidang
pembedahan, atau astronom yang sangat pakar dalam masalah antariksa.
Buku tersebut mencakup beberapa bab yang diberi judul al-Tafkir fi Khalq al-Sama’ wa fi Hadza al-‘Alam, Hikmat as-Syams, Hikmat al-Qamar wa al-Kawakib, Hikmat Khalqi al-Ardh,
dan beberapa tema lain tentang laut, air, angin, api dan manusia.
Buku
tersebut membahas masalah susunan anatomi manusia, hewan, burung,
lebah, tumbuh-tumbuhan dan segenap makhluk lainnya. Al-Ghazali
memaparkan tema-tema di atas dengan metode empirik berdasarkan
pembedahan anatomi, analisis gerakan planet dan penjelasan keserasian
fungsi setiap bagiannya dengan tujuan menjelaskan bahwa seluruh makhluk
di alam raya ini tercipta dengan sangat teratur dan penuh hikmah serta
ketelitian.
Kedua, Bidang pendidikan jiwa dan
kemauan. Tujuan bidang ini adalah meningkatkan kualitas manusia dari
derajat tunduk kepada dorongan syahwat dan nafsu menuju derajat
‘ubudiyah kepada Allah, di mana seorang individu mampu membebaskan diri
dari belenggu nafsu atau takut agar dapat bertindak sesuai dengan
kehendak Allah swt dengan rasa puas dan suka hati. Al-Ghazali membuat
kajian cukup panjang mengenai analisa terhadap jiwa, fase-fase
perkembangan jiwa dan kondisi-kondisi yang menyertainya, faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran serta praktik-praktik
yang harus dilalui oleh pelajar.
Ketiga, Mengkaji ilmu-ilmu fikih
dan seluruh sistem serta prinsip yang diperlukan untuk mengimbangi pola
muamalat yang berlaku pada masa itu dan permasalahan-permasalahan
masyarakat yang ril dan senantiasa berkembang. Kajian-kajian al-Ghazali
di bidang ini bebas dari trend fanatisme madzhab.
Keempat, Bidang hikmah atau
persiapan fungsional. Menurut al-Ghazali, bidang ini mencakup seluruh
bentuk kebijakan, manajemen dan profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat
saat itu serta tatacara penempatan masyarakat di semua sektor sesuai
dengan kesiapan dan kemampuannya. Secara eksplisit, al-Ghazali
menyatakan bahwa ilmu-ilmu dalam ini tidak terbatas pada apa yang telah
diketahui oleh manusia saat itu, namunakan banyak lagi ilmu-ilmu yang
muncul di masa mendatang disebabkan oleh tabiat kehidupan yang terus
berlanjut dan kebutuhan manusia yang senantiasa berkembang.
Di antara jasa al-Ghazali dalam bidang ini adalah kitabnya yang berjudul al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk
yang memuat sejumlah riwayat yang menonjolkan urgensi keadilan,
kebijakan sultan dan kebijakan para menteri dengan cara mengetengahkan
fakta sejarah pemerintahan Persia, Romawi dan Khalifah-Khalifah Islam.
Buku ini bisa dianggap sebagai landasan-landasan tertentu untuk
menjelaskan konsep manajemen pemerintahan dari perspektif al-Ghazali.
Selain itu, al-Ghazali juga membahas
tema kemajuan dan perkembangan ilmu, teori-teori pembelajaran,
perkembangan budaya dan perkembangan berbagai macam masyarakat sepanjang
masa dan tema-tema lainnya yang berkaitan dengan paradigma pendidikan
baik yang berkenaan dengan masalah sosial, akidah maupun pendidikan itu
sendiri.
Imam Al-Ghazali mengaplikasikan ide-ide
pendidikannya tersebut di sekolah yang dia bangun sendiri dan mengajar
penuh di sana bersama beberapa koleganya. Sekolah tersebut menyumbangkan
pengaruh yang sangat besar dalam mencetak generasi baru yang memberi
kontribusi luar biasa kepada gerakan islah dan reformasi di kemudian hari. (diringkas dari kitab Hakadza Dzahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, karya Dr. Majid Irsan Kailani)
sumber: http://inpasonline.com
Jumat, 18 Oktober 2013
UGM Bertahan Jadi Kampus Ngetop Se-Indonesia
Lembaga 4 International College and University (4ICU) kembali melansir
pemeringkatan universitas terbaik di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dalam pemeringkatan Juli 2013, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta tetap mengukuhkan diri di peringkat pertama se-Tanah Air.
Menemani UGM di tiga besar, terdapat Universitas Indonesia (UI) di tempat kedua, bertukar tempat dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang harus puas berada di peringkat ketiga. Demikian, seperti disitat dari laman 4icu.org, Rabu (17/7/2013).
Beranjak ke posisi empat, terdapat pendatang baru. Dari peringkat 15 pada Januari lalu, kampus swasta asal Kota Gudeg, yakni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menanjak tajam ke ranking empat dari peringkat 15.
Pendatang baru juga hadir pada peringkat lima, yakni Universitas Kristen Petra Surabaya. Sementara di ranking enam terdapat kampus asal Kota Kembang, yakni Universitas Padjadjaran (Unpad), yang naik tujuh peringkat dari posisi sebelumnya.
Kemudian, Universitas Brawijaya (UB) Malang harus turun tiga peringkat dan kini menghuni posisi tujuh. Sedangkan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta masih tetap menempati peringkat delapan.
Di urutan kesembilan, terdapat Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang terpaksa turun dua peringkat dari posisi sebelumnya. Kemudian, menutup jajaran 10 besar universitas terbaik se-Indonesia, terdapat pendatang baru, yakni Universitas Sumatera Utara (USU).
4ICU melakukan pemeringkatan terhadap 11 ribu universitas yang diakui, terlisensi, dan terakreditasi oleh kementerian pendidikan di negaranya. Penilaian dilakukan pada universitas-universitas di lebih dari 200 negara di seluruh dunia.
Pemeringkatan tersebut didasarkan pada popularitas perguruan tinggi di dunia internet. Selain itu, juga dilakukan penilaian terhadap kekayaan produk akademik, staf pengajar, dan publikasi yang diterbitkan.
Penilaian 4ICU merupakan pemeringkatan berdasarkan popularitas website menurut perhitungan algoritma dari tiga web metriks yang diekstrak dari tiga search engine, yaitu Google Page Rank, Alexa Traffic Rank, dan Majestic SEO.
Berikut urutan 10 besar kampus terbaik se-Indonesia versi 4ICU periode Juli 2013.
1. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
2. Universitas Indonesia (UI)
3. Institut Teknologi Bandung (ITB)
4. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
5. Universitas Kristen Petra Surabaya
6. Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
7. Universitas Brawijaya (UB) Malang
8. Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
9. Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
10. Universitas Sumatera Utara (USU).
Menemani UGM di tiga besar, terdapat Universitas Indonesia (UI) di tempat kedua, bertukar tempat dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang harus puas berada di peringkat ketiga. Demikian, seperti disitat dari laman 4icu.org, Rabu (17/7/2013).
Beranjak ke posisi empat, terdapat pendatang baru. Dari peringkat 15 pada Januari lalu, kampus swasta asal Kota Gudeg, yakni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menanjak tajam ke ranking empat dari peringkat 15.
Pendatang baru juga hadir pada peringkat lima, yakni Universitas Kristen Petra Surabaya. Sementara di ranking enam terdapat kampus asal Kota Kembang, yakni Universitas Padjadjaran (Unpad), yang naik tujuh peringkat dari posisi sebelumnya.
Kemudian, Universitas Brawijaya (UB) Malang harus turun tiga peringkat dan kini menghuni posisi tujuh. Sedangkan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta masih tetap menempati peringkat delapan.
Di urutan kesembilan, terdapat Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang terpaksa turun dua peringkat dari posisi sebelumnya. Kemudian, menutup jajaran 10 besar universitas terbaik se-Indonesia, terdapat pendatang baru, yakni Universitas Sumatera Utara (USU).
4ICU melakukan pemeringkatan terhadap 11 ribu universitas yang diakui, terlisensi, dan terakreditasi oleh kementerian pendidikan di negaranya. Penilaian dilakukan pada universitas-universitas di lebih dari 200 negara di seluruh dunia.
Pemeringkatan tersebut didasarkan pada popularitas perguruan tinggi di dunia internet. Selain itu, juga dilakukan penilaian terhadap kekayaan produk akademik, staf pengajar, dan publikasi yang diterbitkan.
Penilaian 4ICU merupakan pemeringkatan berdasarkan popularitas website menurut perhitungan algoritma dari tiga web metriks yang diekstrak dari tiga search engine, yaitu Google Page Rank, Alexa Traffic Rank, dan Majestic SEO.
Berikut urutan 10 besar kampus terbaik se-Indonesia versi 4ICU periode Juli 2013.
1. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
2. Universitas Indonesia (UI)
3. Institut Teknologi Bandung (ITB)
4. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
5. Universitas Kristen Petra Surabaya
6. Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
7. Universitas Brawijaya (UB) Malang
8. Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
9. Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
10. Universitas Sumatera Utara (USU).
sumber: http://www.bimbelonlineindonesia.net
Cara membuka situs yang telah diblokir 100% Ampuh
Seperti yang anda ketahui bahwa situs - situs bergahaya sudah diblokir oleh menkominfo seperti situs-situs dewasa, selain itu bisa kita temukan juga bila kita berada di (Sekolah dan Tempat Kuliah,) akses menuju
jejaring sosial dan fasilitas chating di blokir pada waktu tertentu, nah..!! bagi kalian yang resah dengan keaadaan ini, saya kasih tips yang mudah-mudahan sampai sekarang masih bisa. Selamat Mencoba....!!!!
1.) Buka situs atau website yang diblokir menggunakan layanan Short URL
Alternatif lain untuk membuka situs yang diblokir adalah dengan memanfaatkan layanan short url seperti:
http://www.tinyurl.com
http://www.moourl.com
http://www.snipurl.com
http://www.shorturl.com
Caranya adalah masuk ke salah satu alamat shorting URL dulu, lalu masukkan alamat website yang diblokir. Setelah itu anda akan mendapatkan url baru yang telah di short, dan buka URL baru tersebut di web browser anda.
2.) Membuka situs yang diblok menggunakan Web Proxy
Banyak layanan web proxy saat ini baik yang berbayar maupun yang gratis. Diantaranya:
http://webproxy.to
http://hidemyass.com
http://webproxy.ca
http://www.freshproxylist.net
Caranya adalah coba masuk ke salah satu alamat web proxy di atas dan masukkan url atau alamat website yang diblokir.
3.) Membuka website yang diblokir menggunakan DNS Open
Biasanya para penyedia layanan internet menggunakan DNS khusus untuk proses pemblokirannya, seperti menggunakan DNS Nawala. Maka untuk mengatasinya agar website tidak diblokir lagi oleh DNS Nawala yaitu dengan cara mengganti DNS yang dipakai di komputer dengan DNS Open. Caranya:
- Tekan tombol berlogo Windows + R secara bersamaan di keyboard (Start > Run > ketik: cmd > Enter) dan ketikkan ncpa.cpl, OK.
- Akan muncul halaman Network Connections, Klik kanan pada Network Connection yang aktif, pilih Properties > Internet Protocol Service 4 (TCP/IPv4)
- Lalu beri centang Use the following DNS server addresses, lalu isi Preffered DNS server 8.8.8.8 dan Alternate DNS server 8.8.4.4. Selesai, dan tekan OK.
4.) Membuka situs yang diblokir dengan mengakses IP Adressnya
Terkadang yang pem-blokir-an website hanya pada domain name nya saja, apabila kasusnya seperti ini cara yang paling cepat adalah dengan menggunakan IP Address Website tersebut untuk membukanya. Misal http://google.com bisa diakses dengan http://74.125.135.103/.
Untuk mengetahui IP Address sebuah website caranya masuk ke command prompt (Start > Run > ketik: cmd > Enter) dan ketik ping nama_situs.com lalu tekan enter. Maka akan muncul alamat IP situs tersebut.
copas langsung dari: http://thecloudsproject.blogspot.com/2013/04/cara-membuka-situs-yang-telah-diblokir.html
TAPI,
Alloh pasti memberikan ganjaran bagi setiap kebaikan maupun kejahatan [baca Al-zalzalah: 2 ayat terakhirnya], so tolong jangan disalah-gunakan.
Cara Menghilangkan Iklan Flash Di Blog Atau Website
Oke sahabat clouds project kali ini saya akan membahas tentang bagaimana cara menghapus iklan flash di blog atau website.
pasti antara dari kalian pasti agak bosan dengan loading blog atau website yang anda akses, itu bisa di sebabkan oleh iklan-iklan yang pernah kita jumpai pada blog, tetapi bagi blogger iklan flash itu adalah penghasilan yang menguntungkan,,..
Oke langsung aja kita ke TKP...!
1. pertama pasang dulu extensi nya DISINI
2. Klik add to Firefox
3. Tunggu proses instalasi nya selesai..., kalau sudah klik kanan pada iklan yang ingin anda hapus, lalu pilih AdBlock Plus Block Image
SELESAI, MUDAH KAN...
SELAMAT MENCOBA....
copas dari: http://thecloudsproject.blogspot.com/2013/01/cara-menghilangkan-iklan-flash-di-blog.html
Sabtu, 12 Oktober 2013
Tryout UN SMK Online Gratis 2013
Sekarang para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di seluruh Indonesia bisa melakukan latihan ujian nasional (UN) secara mandiri melalui online dan gratis. Ayo silahkan dicoba !....
Mereka tinggal membuka latihan soal UN SMK bidang normatif di situs (web) siapbelajar.com atau tryout-un.com yang disediakan secara gratis atau free open acces.
Praktisi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari Direktorat TIK Universitas Pendidikan Indonesia Dr Cepi Riyana Jumat (29/3/2013) menjelaskan, pada latihan soal itu terdapat lebih dari 8 paket per mata pelajarannya dengan masing-masing 40 item soal.
Selain sistemnya random dengan pembahasan setiap item soal, hasilnya bisa muncul secara otomatis.
Situs ini merupakan hasil kerja sama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat, Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Harian Kompas - STV (Kompas TV) Bandung sebagai media partner.
Peluncuran try out berbasis internet ini dilakukan Kamis (28/3) di Balai Pertemuan Umum UPI Bandung oleh Kepala Diskominfo Jabar Dudi Sudrajat dan Wakil Rektor UPI bidang Kemahasiswaan dan Kemintraan Prof Dadang Sunendar
"Para siswa SMK bisa melakukan latihan bersama di sekolah, di rumah atau di warung-warung internet (warnet)," ujar Cepi yang juga Ketua tim teknis tryout online pertama di Indonesia ini. Menurut Dadang, try out ini sangat membantu para siswa untuk melatih diri dalam menghadapi Ujian Nasional.
Try out UN setiap tahunnya telah dilakukan semua sekolah baik tingkat SMP/sederajat maupun SMA dan SMK. Try out yang diselenggarakan pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota itu, biasanya dilakukan satu kali hasilnya belum menggembirakan.
Kemudian beberapa lembaga kursus dan bimbingan belajar juga tidak kalah geraknya melaksanakan try out bagi siswa-siswa yang mengecap pendidikan di lembaga yang bersangkutan.
Demikian pula lembaga-lembaga kursus terkenal juga memberikan kontribusi nyata dengan melaksanakan try out kepada siswa-siswa kelas terakhir untuk mengikuti program try out baik untuk tingkat SD, SLTP maupun SLTA/SMK. Namun pada umumnya, tryout dilakukan secara manual dan terbatas.
sumber:
http://regional.kompas.com/read/2013/03/29/20313548/Sekarang.Siwa.SMK.Bisa.Latihan.UN.Secara.Mandiri
Teladan Imam Nawawi dalam Menuntut Ilmu
Oleh: Kholili Hasib
Di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, ia dikenal salah satu guru besar madzhab Syafi’i. Di zamannya beliau diberi gelar “Ra’is al-Madzhab al-Syafi’i” (Pemimpin Madzhab Syafi’i). Salah satu yang menjadi kelebihannya adalah, ia seorang imam dalam ilmu hadis, sehingga mendapat gelar al-hafidz, sekaligus seorang mufti yang dikagumi.
Untuk urusan belajar, Imam Nawawi adalah disebut-sebut memiliki
semangat sangat tinggi. Ia tidak pernah puas belajar hanya satu bidang
ilmu. Ia dikenal mampu menggabungkan fikih dan hadis.
Ilmu fikihnya memiliki basis yang kuat
dari hadis. Sebab, beliau ulama ahli hadis sekaligus seorang mufti. Ia
mensyarah kitab Shahih Muslim, Syarh Shahih al-Muslim. Di bidang fikih ia terkenal karena menulis kitab fikih monumental, al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab, yang menjadi kitab induk di kalangan madzhab Syafi’i.
Di zaman Imam Nawawi, dunia Islam sedang
mengalami masa kejayaan di bidang ilmu. Imam Nawawi, adalah ulama haus
ilmu. Hidupnya bahkan, konon dikatakan, hanya untuk ilmu. Di antara
kelebihan Imam Nawawi adalah, kepakaran dalam fikih dan hadis, diakui
oleh para guru-guru besar pada zamannya dan sesudahnya.
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf
bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam
al-Nawawi. Dilahirkan di daerah bernama Nawa. Sebuah wilayah Hauran,
Damaskus pada bulan Muharram tahun 631 H. Ayahnya adalah seorang Syeikh
di Hauran. Murid Imam Nawawi, Ibn al-‘Attar menceritakan bahwa ayahnya
adalah seorang zuhud, wara’, wali Allah.
Di masa Imam Nawawi hidup, dunia Islam
mengalami peristiwa-peristiwa besar. Kota Baghdad diserang oleh bangsa
Tar-Tar. Umat Islam pada zamannya mengalami pasang-surut, terutama
karena sibuk dalam menghadapi perang Salib. Imam Nawawi mengalami masa
dimana umat Islam berhasil mengembalikan kejayaan di bawah Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi.
Meskipun umat Islam sedang mengalami
masa cobaan besar, di zaman Imam Nawawi, di beberapa wilayah Islam
tumbuh para ulama-ulama besar yang terkenal. Seperti Ibnu Sholah, Imam
al-Rofi’i, Ibn al-‘Adim, Ibnu Khallikan dan Ibnu ‘Arabi.
Imam Nawawi belajar pertama kali di kota
Nawa di bawah asuhan ayahnya. Sebelum usia baligh ia sudah menghafal
al-Qur’an. Ketia ia berumur 10 tahun, saat ia sedang menghafal
al-Qur’an, seorang ulama besar Damaskus, Syaikh Yasin bin Yusuf
al-Maraksyi datang ke rumahnya. Sang Syaikh berkata; “Anak ini semoga
menjadi seorang yang paling alim dan zuhud di zamannya serta orang-orang
akan mengambil manfaat ilmu darinya”.
Di usia tersebut hari-hari Imam Nawawi
dihabiskan dengan membaca dan menghafal al-Qur’an. Diceritakan oleh
seorang muridnya, bahwa Nawawi kecil dijauhi oleh teman-teman sebayanya,
karena tidak mau bermain-main, hanya sibuk membaca al-Qur’an. Ia tidak
suka bermain, seperti anak-anak lainnya. Ia lebih menyukai menghafal
al-Qur’an.
Menginjak usia 18 tahun, Imam Nawawi
diajak pindah oleh Ayahnya ke Damaskus, disebabkan kota Nawa tidak
kondusif lagi untuk memperdalam ilmu. Damaskus pada masa itu dipenuhi
para ulama dan menjadi tujuan para penuntut ilmu yang datang dari
berbagai penjuru Negara-negara Islam.
Di kota Damaskus dia bertemu dengan Imam
Masjid al-Umawiy, Syeikh Jamaluddin Abdul Kafi bin Abdul Malik
al-Dimasyqi. Imam Nawawi diberi petunjuk oleh Syeikh Abdul Kafi untuk
belajar di halaqah Mufti Syam, Syeikh Tajuddin Abdurrahman bin Ibrahim
bin Dhiya al-Fazariy yang terkenal dengan Syeikh Farkah. Dialah guru
pertama Imam Nawawi. Bersama Syeikh Farkah ia belajar beberapa tahun.
Atas petunjuk Syeikh Farkah ia tinggal di madrasah Rawahiyyah, yaitu
madrasah yang bersebelahan dengan Masjid Umawi.
Pada tahun pertama belajar di Damaskus beliau menghafalkan kitab At-Tanbih,
kitab fiqih madzhab Syafi’i karya Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi dalam
waktu 4 setengah bulan, beliau menyetorkan hafalan kitab Tanbih ini pada
Qodhil Qudhot Taqiyyuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Al-Husain bin Rozin
As-Syafi’i yang biasa disebut Syekh Ibnu Rozin. Lalu beliau
menghabiskan tahun pertama dengan menghafalkan seperempat awal kitab Al-Muhadzdzab yang juga karya Imam Syairozi.
Dikisahkan, di madrasah Rawahiyah
Damaskus, Imam Nawawi selama dua tahun tidak bisa tidur normal, seperti
layaknya manusia kebanyakan. Imam al-Dzahabi menceritakan ketekunan Imam
Nawawi dalam belajar, bahwa siang dan malam dihabiskan untuk belajar.
Tidak tidur kecuali memang mengantuk berat. Waktunya difokuskan untuk
membaca, menulis kitab, muta’lah dan mengunjungi para Syaikh.
Pada masa awal belajar itu, Imam Nawawi
sangat ketat mengatur jadwal mempelajari pelajaran di madrasah. Setiap
harinya ia membaca dua belas pelajaran dihadapan para masyayikh
Damaskus. Pelajaran yang ia baca misalnya, kitab al-Wasith, al-Muhadzdzab, al-Jami’ baina al-Shahihain, Shahih Muslim, al-Luma’, Ishlahu al-Mantiq, al-Muntakhob, kitab tashrif, kitab Asma’ Rijal, dan kitab Tauhid.
Seperti kebiasaan para ulama dahulu,
Imam Nawawi mencari banyak guru untuk beberapa bidang ilmu. Imam Nawawi
belajar kepada sejumlah Syaikh yang pakar di bidangnya. Ia tidak hanya
belajar pada satu dua guru, tapi tercatat ia belajar kepada duapuluh
tiga Syaikh. Di antaranya yang utama adalah; guru bidang fikih: Syaikh
al-Farkah, Syeikh Abdurrahman bin Nuh al-Maqdisi al-Dimasyqi (mufti
Damaskus), di bidang ilmu hadis: Syaikh Ibrahim bin Isa al-Andalusi,
Syaikh Abu Ishaq al-Wasithy, Syeikh Zainuddin Abul Baqa’ al-Nablusi,
Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad al-Anshari al-Syafi’i, Syeikh Zainuddin
Abul Abbas bin Abdul Da’im al-Maqdisi, guru di bidang Ilmu Ushul:
Syaikh Abul Fath Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi al-Syafi’i, di
bidang Ilmu Nahwu : Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, Syeikh al-Fakhr
al-Maliki dan lain-lain.
Di samping menguasai berbagai ilmu, ilmu
yang paling menonjol dikuasai adalah Fikih dan Hadis. Ia menjadi
seorang Imam di bidang hadis. Sehingga, di kalangan ulama’ ia dikenal
Muhaddis dan Faqih. Ia menguasai madzhab-madzhab para sahabat dan
tabi’in beserta ikhtilaf (perbedaan) di antara mereka. Kitab fikihnya yang terkenal adalah Majmu’ syarah kitab Muhadzdzab.
Imam Ibn Kastir mengatakan: “Imam Nawawi adalah seorang guru besar
madzhab Syafi’i, pembesar ulama’ fikih pada zamannya”. Di bidang hadis
ia mensyarah kitab Shahih Muslim dan Shahih Bukhari. Di bidang hadis ia
mendapat gelar al-Hafidz. Ilmu Hadis termasuk menjadi perhatian penting
Imam Nawawi. Dalam Syarh Muslim ia mengatakan bahwa termasuk ilmu yang
paling penting adalah ilmu mengetahui hakikat hadis, matan hadis,
mempelajari status shahih, hasan dan dhaifnya hadis dan hal-hal lain
terkait dengan ilmu hadis.
Ketinggian ilmunya diakui ulama-ulama
kenamaan. Imam Al-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang
berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok
manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah
(rasa selalu diawasi oleh Allah) baik di saat sepi maupun ramai. Beliau
tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah,
makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti
dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan
hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak”. Diceritkan, Imam Nawawi
enggan diberi gelar Muhyiddin, karena tawaddu’nya ia kepada Allah.
Beliau selalu berusaha untuk melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering
berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam
mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada
ahlinya. Abu al-Abbas bin Faraj berkata: “Ia telah berhasil meraih 3
tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk
meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang
dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan
ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi
munkar”.
Imam Nawai telah berhasil menulis karya
47 kitab. Ia sebenarnya menulis karya judul lebih dari 47, namun belum
sempat terselesaikan sampai beliau wafat pada usia 46 tahun. Karya
kitabnya adalah; Syarh Shahih Muslim, al-Raudhah, Minhaju
al-Thalibin, al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalam Sayyidi al-Abrar,
al-Tibyan fi Adabi Hamlati al-Qur’an, al-Tahrir fi Alfadzi al-Tanbih,
al-‘Umdah fi Tashihi al-Tanbih, al-Idhah fi al-Manasik, al-Irsyad,
al-Arba’in al-Nawawiyah, Bustan al-‘Arifin, Manaqib al-Syafi’i,
Mukhtashar Asadul Ghobah, al-Fatawa al-Musammah bi al-Mas’il
al-Mantsurah, Adabul Mufti wa al-Mustafti, Masail Takhmis al-Ghonaim,
Mukhtashor al-Tadzhib, Daqoiq al-Raudah, Tuhfah Tullabul Fadhail,
al-Tarkhish fi al-Ikhram wa al-Qiyam, Mukhtashar Adab al-Istisqa wa
Ru’usil Masail, Manarul Huda, al-Maqashid, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, Syarh al-Wasith, Syarhul
Bukhari, Syarh Abi Dawud, al-Imla’ ala Hadits al-A’mal binniyat, Kitabul
Amaliy, al-Khulashoh fi Ahadisil Ahkam, Thabaqatul Fuqoha’, al-Tahqiq,
Tuhfatul Thalib al-Nabih, Jami’ al-Sunnah, Muhimmatul Ahkam, al-Ushul wa
al-Dhawabith, al-Isyarat,Tuhfatul Walid wa Raghbatul Ro’I, Khulasotul
Ahkam fi Muhimmatis Sunan wa Qawaidul Islam, Ruhul Masa’il fi al-Furu’,
‘Uyunul Masa’il al-Muhimmah, Ghaitsu al-Naf’ fi Qiraati al-Sab’,
al-Mubham min Hurufil Mu’jam, Mir’atuz Zaman fi Tarikhil al-‘A’yan.
Imam Nawawi wafat pada 24 Rajab tahun
676 pada usia 46. Beliau belum sempat menikah. Ketika kabar wafatnya
beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan
sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa
kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh
bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk
menshalatkannya.
Dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab beliau menulis pesan bahwa keutamaan ilmu itu untuk para penuntut ilmu yang mencarinya karena ridha Allah. Hukumnya tercela (madzmum) menuntut ilmu dengan tujuan duniawi, mencari kedudukan, pangkat, kehormatan, atau menginginkan popularitas.
copas dari: http://inpasonline.com/new/teladan-imam-nawawi-dalam-menuntut-ilmu
Langganan:
Postingan (Atom)