Oleh:
KH Ihya’ Ulumiddin
Pada
dini hari Jum’at, tanggal 15 Romadhon tahun 1425 hijriyyah yang lalu,
seorang ulama besar, guru kita dan panutan kaum muslimin wafat. Innaa
Lillah wa Innaa ilaihi roji’uun. Berkaitan dengan wafatnya seorang alim,
Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْـبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثُلْـمَةٌ لاَ تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ مَوْتُ
قَبِـيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“
Meninggalnya seorang alim adalah malapetaka yang tidak bisa dipulihkan
dan merupakan kecacatan yang tidak bisa ditambal. Meninggalnya seorang
alim tak ubahnya bintang yang pudar sinarnya. Meninggalnya satu kelompok
manusia jauh lebih ringan dibanding meninggalnya satu orang alim. “ (
HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al Baihaqi dari sahabat Abu Darda’ ra. /
al Matjarur Rabih, al Hafizh ad – Dimyathi, hal – 17 )
Sahabat
Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhahu menegaskan pernyataan Baginda
Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam . tersebut dan berkata:
إِذَا مَاتَ الْعَالِمُ انْثَلَمَتْ فِى اْلإِسْلاَمِ ثُلْمَةٌ لاَ يَسُدُّهَا شَيْءٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“
Jika seorang alim meninggal maka terjadilah kecacatan dalam Islam yang
tidak bisa ditambal oleh apapun hingga hari kiamat “ ( HR al Khathib di
kitab al Jami’ / Ushulut Tarbiyah an – Nabawiyyah, Abuya as – Sayyid
Muhammad bin Alawi al – Maliki al Hasani , hal 22 )
Dalam
kesempatan ini kita menulis dan membaca bukan dalam rangka meratapi
wafat Beliau, karena setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, tapi
kita menulis dan membaca dalam rangka mengenang, mengingat dan
menuturkan kebaikan – kebaikan al Faqid ( yang telah hilang dari kita )
sebagai seorang ulama salaf besar dan mutsaqof ( terdidik ). rohimallohu
wa qoddasa sirrohu. Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:
أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِئِهِمْ
“
Tuturkanlah kebaikan – kebaikan orang – orang kalian yang sudah wafat,
dan tahanlah diri kalian dari menuturkan keburukan – keburukan mereka “ (
HR Abu Dawud, al - Hakim dan al - Baihaqi dari sahabat Abdulloh bin
Umar ra. Shahih / lihat Faidhul Qadir, Syarah al Jami’ as Shaghir. Al
Munawi : 1 / 457 )
Menuturkan
hasanat ( kebaikan – kebaikan ) Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al
Maliki al Hasani secara lengkap rasanya kita tidak mampu, apalagi di
lembaran tulisan yang amat singkat ini, karena tak terhitungnya kebaikan
– kebaikan itu. Beliau ibaratnya adalah “Khazanah majami’ul khoir “ (
gudang segala kebaikan ). Pertama, beliau adalah min ahlil bait (
keturunan baginda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ). Beliau
adalah pakar di berbagai bidang keilmuan islam. Beliau adalah seorang
yang masuk dalam kategori “ basthotan fil ilmi wal jismi “ ( perkasa
dalam ilmu dan fisik ). Berdomisili di tanah haram yang tak lepas dari
minum air zam – zam. Ayah Beliau, Sayyid Alawi al Maliki, yang menjadi
guru di madrasah al Falah dan Masjidil Haram selama kurang lebih 30
tahun, adalah guru Beliau yang pertama dan yang utama, yang mengajarnya
sendiri secara khusus. Kakek Beliau, Sayyid Abbas al Maliki adalah mufti
dan qodhi di Makkah serta imam dan khathib tanah suci Makkah, yang
menjabat sebagai imam dan khathib tersebut pada masa khilafah
Utsmaniyyah dan tetap menjabatnya hingga kerajaan Saudi Arabia berdiri.
Abuya
as – Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani adalah seorang yang
kaya raya yang dermawan dengan kekayaannya, sekaligus dermawan dalam
ilmu dan waktunya. Beliau produktif menelorkan tulisan – tulisan yang
mencapai hampir 100 buku. Beliau memiliki sanad – sanad keilmuan yang
tinggi ( sanad ali ). Beliau da’i kaliber internasional. Beliau
dijunjung tinggi dan disegani alim ulama di Makkah dan di seluruh
penjuru dunia. Beliau memiliki mulazim ( pengikut setia ) dan banyak
tersebar di berbagai negeri. Dan kebaikan – kebaikan Beliau lainnya
tidak bisa disebutkan. Sebuah keunggulan yang lengkap dan langka,
bifadhlillahi ta’ala.
Pada
kesempatan kali ini kita mudah - mudahan bisa menuturkan kebaikan
Beliau kaitannya dengan kepeloporan dan keterdepanan dalam
mempertahankan dan menyebar – luaskan paham ahlus Sunnah wal Jama’ah di
abad 21 ini. Beliau, Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al
Hasani, adalah seorang murobbi yang robbani. Cukuplah untuk membuktikan
hal itu pengalaman masing – masing ( para murid dan santri Beliau )
selama di Makkah al Mukarromah ketika bergaul bersama Beliau. Abuya
mentarbiyah kita ( para santri ) secara total mulai aspek aqliyyah,
ruhiyyah / khuluqiyyah, hingga aspek jasmaniyyah, yang dalam bahasa lain
adalah aspek kogntif, afektif, dan aspek psikomotorik. Abuya menempa
kita dari masalah – masalah kecil / remeh hingga masalah – masalah
besar. Beliau memberikan pemahaman kepada kita sesuai dan pas dengan
kemampuan dan kejiwaan kita.
Saat
ta’lim, kita mendapatkan kesempatan untuk didengarkan bacaan kita.
Ikatan ruhiyyah selalu terjalin. Saat ta’lim itu kita tahu betapa dalam
dan luas keilmuan Beliau. Alangkah bergairahnya Beliau mengajar. Saat
menjelaskan hal – hal berat, jadi terasa ringan karena di selingi humor.
Di saat duduk – duduk bersama santai, Abuya memaparkan situasi kondisi
masyarakat dan Beliau menelaahnya dari berbagai aspek dan sudut pandang.
Tanpa terasa, banyak hal baru yang kita dapatkan. Wawasan semakin
bertambah luas. Kita justru banyak mendapatkan ilmu dari kegiatan non –
formal seperti ini, berkah dari ber- mujalasah ( duduk bersama ) dengan
Beliau.
Abuya
banyak mencotohkan sesuatu dengan tindakan nyata. Kedisiplinan,
misalnya, tidak sekedar perintah, namun Beliaulah orang pertama yang
melakukan. Dalam melatih kesabaran, Beliua tidak memberikan banyak
retorika. Cukup, satu contoh, kita semua disuruh menunggu waktu sholat
dengan duduk satu jam sebelum adzan, sembari membaca wirid. Terkadang
rentang waktunya lebih lama lagi.
Kita
dilatih peka terhadap lingkungan, sekatan, serta di-didik menjadi
pribadi yang tidak malas. Kebersihan, keindahan dan kerapian adalah hal
yang tak lepas dari perhatian Beliau. Kita tidak diperkenankan
berpakaian asal – asalan. Kita dituntut tampil indah, segar, dan rapi.
Hal ini mengingatkan kita pada biogarafi Imam Malik bin Anas ra dan Imam
Ibnu Hajar al – Asqalani yang selalu tampil indah dan bersih, lahir
maupun batin.
Dari
segi ruhiyyah, kita dibina untuk selalu mengingat Alloh, dengan banyak
berdzikir baik lisan maupun hati. Begitu juga sholawat, tak bosan –
bosannya Beliau mengingatkan kita, karena sesungguhnya dzikir dan
sholawat itulah suplemen bagi jiwa kita, sumber ketenangan.
Beliau
memperlakukan kita tak ubahnya sebagai anak – anak Beliau sendiri.
Penuh dengan mahabbah dan kasih sayang. Beliau memperlakukan kita
sebagai seorang sahabat akrab, dekat dan tak ada jarak. Inilah yang
dalam prinsip pendidikan modern dikenal dengan istilah shuhbah atau
sistem pendidikan “ liberal “, yakni sistem pendidikan yang bebas tapi
bertanggung jawab.
Kerobbanian
Beliau dalam mentarbiyah juga tampak dari kenyataan bahwa masing –
masing di antara murid merasa paling dicintai oleh Beliau. Satu hal yang
menjadi tujuan besar Beliau dari tarbiyah model di atas adalah takwinur
rijaal, yaitu membentuk kader; membangun manusia yang siap dan mampu
terjun berjuang di bidang pendidikan dan dakwah. Dan alhamdulillah,
alumni – alumni Beliau betul – betul tumbuh menjadi rijal – rijal
tarbiyah dan dakwah di negerinya sendiri seperti Yaman, Mesir, Dubai,
Indonesia, Malaysia, dan negeri – negeri yang lain. Puluhan pesantren di
Indonesia, misalnya, berada di bawah isyrof ( pengawasan dan bimbingan )
Beliau.
Suatu
anugerah yang besar bila kita memiliki figur murobbi seperti Beliau.
Suatu keberkahan bila kita pernah berada dalam tempaan Beliau. Suatu
kebahagiaan bila kita pernah bergaul bersama Beliau.
إِنَّهُ وَصَلَ وَأَوْصَلَ
“Sungguh Beliau telah sampai ( kepada Alloh ) dan menyampaikan ( membawa orang sampai kepada Alloh )“
Jika para pengikut Imam Bukhori mengatakan:
لَوْلاَ الْبُخَارِى مَا رَاحَ مُسْلِمٌ وَلاَ جَاءَ
Seandainya tanpa Imam al Bukhori, Imam Muslim tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
Maka, kepada Abuya Sayyidana al Walid, kita katakan:
لَوْلاَ أَبُوْيَ مَا رُحْـنَا وَلاَ جِئْـنَا
Seandainya tanpa Abuya, kita semua tidak akan berangkat dan tidak akan hadir
لَوْلاَ أَنْتَ يَا أَبُوْيَ مَا اهْتَدَيْـنَا
Seandainya tanpa engkau, wahai Abuya, niscaya kita semua tidak memperoleh petunjuk
Maka
semoga Alloh memberikan balasan sebaik – baik balasanNya kepada para
hamba yang saleh. Engkau memiliki anugerah atas kami yang tidak bisa
dipungkiri. Sungguh Alloh sebaik – baik para saksi.
Beliau
telah menempa kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Alhamdulillah.
Dan lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya? Rasanya kita
tidak mungkin bisa membalas jasa besar ini. Namun, ada hal yang
barangkali bisa membuat Beliau gembira di alam barzakhnya manakala
melihat dan mendengarnya, yaitu bila kita masing – masing ( para santri )
menjadi orang – orang yang siap meneruskan perjuangan Beliau, mampu
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran – pemikiran Beliau, dan
tetap menjalin dan menyambung do’a terhadap Beliau selama – lamanya.
|
Abuya As - Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany |
Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21
Sebagai
ulama besar kaliber internasional, kita menyadari, Beliau bukan saja
milik kita, para santrinya, bahkan Beliau bukan saja milik Arab,
Indonesia, Malaysia, atau milik negara Islam yang lain. Beliau adalah
milik umat Islam sedunia, khususunya yang berpaham Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Mereka semua mengenal atau setidak – tidaknya pernah mendengar.
Hal ini bisa dibuktikan dari setiap kunjungan Beliau. Bila Beliau
berkunjung ke luar negeri, para pemimpin, ulama, dan masyarakat awam di
negeri tersebut menyambut Beliau dengan hangat dan gembira. Seringkali
Beliau disambut ratusan ribu orang. Di musim haji, sekian banyak jamaah
haji berziarah di kediaman Beliau yang selalu terbuka lebar untuk tamu.
Beliau dicintai dan dihormati di seluruh dunia Islam.
Bukti
itu semakin nyata saat Beliau wafat. puluhan ribu orang datang
berta’ziah di kediaman Beliau. Ratusan ribu orang mengantar jenazah
Beliau. Dan jutaan orang muslim di seluruh dunia mensholati ghoib,
mendo’akan serta merasakan kehilangan dan duka amat mendalam. Innaa
Lillah wa Innaa ilaihi rojiun. Wal Baqo’ Lillah.
Hidup
Beliau memang bukan untuk diri sendiri. Beliau hidup untuk ummat dan
dunia Islam. Beliau jelajahi Asia, Afrika, Eropa dan Amerika untuk
menyeru umat manusia menegakkan kalimat Alloh, mentaati RosulNya dan
berakhlak mulia. Hidup Beliau antara mengajar, beribadah, menulis dan
berdakwah.
Tahun
1970 Abuya Al Walid mengajar di Universitas Ummul Quro Makkah, dan pada
saat yang sama Beliau mendapatkan gelar doktor honoris causa dari al
Azhar. Tahun 1971, setelah ayah Beliau wafat, ulama – ulama Makkah
mendaulat Beliau untuk menggantikan sang ayah mengajar di tanah haram.
Awal
tahun 80 –an Beliau melepas semua posisi itu, dengan dilandasi hati
nurani dan akal bijaksana Beliau, karena fitnah yang demikian dahsyat
yang dilancarkan ulama – ulama fanatik dari paham Wahabi. Ajaran dan
keberadaan Beliau direspon mereka sebagai ancaman bagi ideologi dan
otoritas paham Wahabi dengan dalih bid’ah dan syirik. Sejak saat itu,
Beliau fokus mengajar di kediaman Beliau di Rushaifah. Namun, intan
tetaplah intan di manapun berada. Pengajian Beliau di Rushaifah malam
hari selalu dihadiri banyak orang setiap harinya, dan kian waktu kian
bertambah.
Ulama
– ulama Wahabi menyerang amaliah – amaliah keagamaan seperti dzikir
jahri, tawassul, ziarah kubur, dzikral maulid dsb yang dianggap mereka
sebagai bid’ah. Dan sasaran serangan itu yang utama adalah Abuya karena
Beliaulah sunni yang berada di garis terdepan dalam mempertahankan
prinsip – prinsip tasamuh ala Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sekian banyak
buku dan artikel ditulis untuk menghantam Beliau. Sekian banyak ceramah
dan kaset menghujat Beliau. Dan semua itu diekspos ke seluruh dunia
melalui beragam media seperti membagi buku – buku secara gratis pada
jamaah haji, internet dll. khususnya diarahkan kepada negeri – negeri
yang Beliua mempunyai tempat di hati para penduduknya. Namun, Beliau
tidak gentar dengan harus melakukan pembelaan diri, bahkan Alloh – lah
yang akhirnya menggerakkan pena – pena penulis yang menerangkan
pemikiran – pemikiran Abuya sekaligus pembelaan kepada Beliau. Di antara
mereka berasal dari Maroko, Kuwait, Dubai, Yaman, India, dan Tunisia,
seperti Dr Said Romdhon al Buthi, tokoh ulama Syiria. Di sinilah tampak
keberanian, ketangguhan. Ghairah, sekaligus ketabahan Beliau yang luar
biasa.
Seperti
prinsip paham Ahlus Sunnah wal Jamaah pada umumnya, Abuya As Sayyid
Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani berpandangan bahwa masalah yang
menjadi pertentangan sesungguhnya adalah masalah yang masih dalam
kategori masalah khilafiyyah furu’iyyah di antara para ulama. Namun,
oleh sebagian pihak, masalah tersebut dijadikan masalah besar, seakan –
akan sebagai aqidah, akibat dari mereka belajar secara doktrinal. Efek
dari hal ini adalah ghuluw ( melampaui batas kewajaran ). Karena itu,
pandangan Abuya, dalam menggali ilmu haruslah ditempuh jalur tatsqif,
yaitu membuka wawasan seluas – luasnya. Ayah Beliau As Sayyid Alawi al
Maliki pernah mengatakan:
إِنَّ
طَالِبَ الْعِلْمِ كُلَّمَا اتَّسَعَ أَفْقَهَ وَتَعَمَّقَ فِى
التَّفَـقُّهِ فِى الدِّيْنِ قَلَّ إِنْكَارُهُ فِى كَثِيْرٍ مِنَ
الْمَسَائِلِ
وَالْقَضَايَا الْوَاقِعِـيَّةِ ِلأَنَّهَا يَسَعُهَا اخْـتِلاَفُ ذَوِى النَّظَرِ
“
Sesungguhnya orang yang belajar ilmu manakala berpandangan luas, yakni
mendalam ilmunya dalam agama, maka sedikitlah keingkarannya terhadap
masalah – masalah dan kasus – kasus kekinian, karena masalah itu telah
ditampung oleh perbedaan pendapat dari para ulama yang mempunyai
pandangan luas “ ( al Ghuluw. Abuya As Sayyid Muhammad / 46 )
Beliau
mengkritisi para pembaharu abad 20 yang berupaya memutus umat Islam
dari rantai generasi – generasi terdahulu atas nama memurnikan Islam,
atas nama salafiyyah, atas nama ahli hadits, atas nama non madzhab, dsb.
Beliau berpandangan bahwa mencela para pengikut madzhab, seperti
dilakukan paham – paham ekstrim belakangan ini, berarti mencela seluruh
umat Islam pada ratusan tahun sebelumnya. Menurut Beliau, itu bukan
sikap seorang teman, namun merupakan sikap dan jalan yang ditempuh musuh
Islam sekaligus mencari musuh dalam agama Islam dan membuahkan
perpecahan. Beliau meyakini bahwa madzhab – madzhab besar yang mengikuti
ulama sunni dan sufi ratusan tahun silam merupakan penghubung kita
dengan Alqur’an dan as Sunnah.
Beliau
mengakui eksistensi madzhab empat dan menyerukannya, tetapi tanpa
fanatisme, agar ajaran Islam yang bak samudera tidak menjadi aliran
pemikiran yang sempit. Terhadap pendapat orang lain, betapapun Beliau
memiliki ilmu luas dan dalam, Beliau amat toleran. Beliau tidak menutup
diri. Beliau menerima pendapat lain, bila didapati pendapat itu memiliki
dalil yang kuat.
Abuya
memiliki dzauq ( perasaan ) yang tinggi terhadap nilai keimanan dan
keislaman seseorang. Aspek “ berbaik sangka kepada kaum muslimin “
Beliau amat besar, sehingga tidak mudah dan tidak sembarangan
mengkafirkan dan membid’ahkan orang. Beliau meyakini bahwa mayoritas
umat Islam ini adalah baik, hanya sedikit saja yang perlu diluruskan
akibat fanatisme dan ideologi ekstrim. Abuya memahami bahwa yang
diperlukan kaum muslimin dewasa ini adalah kerja- kerja nyata untuk
mengangkat derajat kaum muslimin secara spiritual, sosial dan meterial
serta bahu membahu memerangi kejahatan dan kemaksiatan, daripada
membuang – buang waktu yang berharga untuk bermusuhan dan berdebat
mengenai masalah – masalah yang telah disepakati perbedaannya oleh para
ulama. Pandangan Beliau yang lurus, moderat, dan toleran ini tentu
tumbuh dari sebuah kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang luar biasa.
Dan itu semuanya telah Beliau monumenkan dalam puluhan karya tulis
Beliau yang bisa dikaji, dibaca, dan disimak siapa saja.
Sementara
tumbuhnya fanatisme, ghuluw dan semacamnya banyak diakibatkan oleh tiga
hal, yaitu 1. kedangkalan ilmu dan atau belajar tanpa guru 2. bangga
diri terhadap pendapat sendiri ( ujub ) 3. kecenderungan mengikuti hawa
nafsu. Dari tiga hal inilah tumbuh takfir ( pengkafiran ), tabdi’ (
pembid’ahan ) dan tadhlil ( penyesatan ) terhadap pihak atau kelompok
yang dianggap tidak sama dengan pandangannya.
Abuya
menyuruh menghiasi dan memadu ilmu dengan ghairah ( semangat ) yang
tinggi. Beliau berharap kader-kadernya menjadi “ alim “ sekaligus “
ghayur “, berilmu sekaligus juga memiliki ghirah yang tinggi. Menurut
Beliau:
عِلْمٌ بِلاَ غَيْرَةٍ جَامِدٌ وَغَيْرَةٌ بِلاَ عِلْمٍ لاَ تَصْلُحُ لِلرِّيَاسَةِ
“ilmu tanpa ghirah beku sedang ghirah tanpa ilmu tidak layak menjadi pemimpin “
Di
samping itu, Beliau juga menyeru untuk menempuh suluk, yaitu hal – hal
yang berkaitan dengan prilaku, jiwa, dan hati, seperti mengamalkan
wirid-wirid, berjamaah, qiyamullail, berakhlak luhur, mengajar,
berdakwah, bisa hidup lebih bermanfaat bagi orang lain dsb. Tidak
sekedar ilmu dan ilmu belaka. Dalam hal ini Beliau memiliki rangkaian
sanad yang tinggi dan dekat dengan guru-guru besar tariqat-tariqat
terkenal di dunia di samping mempunyai jaringan komunikasi dengan
ulama-ulama besar dan dai-dai agung di dunia. Konsistensi Beliau membela
paham Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus menerus dan tak kenal lelah
itu pada akhirnya mendapatkan hasil. Beberapa tahun menjelang akhir
hayat Beliau, tampak buah-buah perjuangan Beliau. Pemikiran dan
pandangan Beliau bebas diakses. Beliau diakui sebagai ikon keterbukaan
pemikiran di Saudi Arabia yang terkenal konservatif. Hal ini tercermin
dari undangan untuk Beliau pada dialog nasional 5 -9 Dzul Qo’dah 1424 H
di Makkah al Mukarramah, dengan tema “Al Ghuluw al I’tidal: Ru’yah
Manhajiyyah Syamilah” yang diprakarsai oleh putera mahkota kerajaan
Saudi saat itu, Pangeran Abdulloh yang sekarang menjadi Raja Saudi. Saat
itu Beliau berhasil menyebarkan pemikiran – pemikiran Beliau ke segala
penjuru dunia melalui berbagai stasiun televisi. Penguasa Saudi Arabia
berubah mendamba figur Beliau yang moderat dan toleran. Beliau bahkan
diminta kembali mengajar di kawasan Masjidil Haram. Tetapi keberhasilan
itu setelah melalui masa – masa sulit, lebih dari 20 tahun, yaitu antara
1980 – 2000 –an. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Demikianlah,
betapa besar keterdepanan dan kepeloporan Beliau dalam mempertahankan
dan menyebarluaskan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, amat
beralasan bila Beliau disebut - sebut sebagai tokoh Ahlus Sunnah wal
Jamaah abad 21 ini. Mereka yang berseberangan pemikiran dan mabda’ (
prinsip ) dengan Beliau pun mengakuinya dengan suka atau terpaksa.
شَهِدَ اْلأَنَامُ بِفَضْلِهِ حَتىَّ الْعِدَا - وَالْفَضْلُ مَا شَهِدَتْ بِهِ اْلأَعْدَاءُ
“ Umat manusia bahkan lawan-lawan
bersaksi akan kebesarannya. Dan kebesaran yang mengesankan adalah
kebesaran yang diakui oleh para lawan “
Sekali
lagi kita katakan, alangkah besarnya jasa – jasa Beliau dan betapa
lemahnya kita membalas jasa- jasa besar itu. Tapi, ada hal – hal yang
bisa kita lakukan yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di
pembaringan, yaitu: 1) Kita meneruskan perjuangan Beliau 2) Kita
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Beliau 3) Kita
tetap jalin dan sambung do’a kepada Beliau. Dalam syair dikatakan:
فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ - إِنَّ التَّـشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ
Jika kamu tidak mampu menjadi seperti
mereka maka bertasyabbuhlah ( serupailah mereka ) .Sesungguhnya
menyerupai orang – orang mulia itu suatu keberuntungan
Mudah
–mudahan Alloh swt. senantiasa melimpahkan keluasan rahmat dan
maghfirohNya kepada Beliau, menempatkan Beliau pada derajat yang tinggi
di surgaNya bersama al Anbiya, ash shiddiqin, asy syuhada’, dan ash
shalihin. Amin. Wahasuna ulaika rofiiqo. Dan semoga Alloh mengembalikan
pancaran keberkahan, sirr, dan nur Beliau kepada khalifah Beliau, Sayyid
Ahmad bin Muhammad bin Alawi al Maliki dan pendampingnya Sayyid
Abdulloh bin Muhammad bin Alawi al Maliki, serta kepada kita semuanya.
Amin ya Rabbal alamin.
sumber: http://www.kabarpujon.blogspot.com